Rabu, 15 April 2009

Gerakan Mahasiswa Tak seperti Dulu


Gerakan Mahasiswa Tak seperti Dulu


Kompas, Senin, 29 Januari 2001

AKSI-aksi mahasiswa yang belum lama surut dalam beberapa hari terakhir muncul kembali. Akumulasi mahasiswa yang terlibat dalam aksi turun ke jalan terus bertambah, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di sejumlah kota besar lainnya. Gelombang mahasiswa yang bergerak menuju Gedung MPR/ DPR Senayan makin membesar dan diperkirakan akan terus memuncak dalam minggu ini. Mahasiswa dengan warna-warni jaket dan polah-tingkahnya kembali tampil di layar televisi, surat kabar, dan majalah-majalah. Akankah peristiwa dramatik yang masih sangat segar dalam ingatan kita, ketika mahasiswa berbondong-bondong menguasai gedung para wakil rakyat yang berakhir dengan tersingkirnya seorang presiden dari kekuasaannya, berulang kembali?

GERAKAN mahasiswa tahun 2001 tidak sama sebangun dengan gerakan yang muncul di tahun 1998. Pada awal tahun 1998 belum ada tanda-tanda yang cukup berarti yang bisa ditangkap bahwa mahasiswa akan bergerak dalam jumlah yang masif dan cukup kuat untuk menantang penguasa otoriter Orde Baru yang telah bercokol selama 32 tahun. Ketika Soeharto dikukuhkan kembali oleh MPR yang dipimpin mantan Menteri Penerangan Harmoko untuk ketujuh kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia, baru sejumlah kecil mahasiswa yang mulai resah dan melakukan konsolidasi. Namun, sekonyong-konyong gerakan itu muncul bagaikan bola salju, makin membesar dan makin cepat bergulir.

Diawali dengan bentrokan dengan aparat kepolisian dan militer yang masih represif pada 2 Mei 1998, gerakan itu dengan cepat menular ke semua kampus. Penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti 13 Mei 1998, yang hingga kini belum tuntas diungkap, semakin mengobarkan semangat perlawanan mahasiswa. Puluhan ribu mahasiswa pada 18 Mei menyerbu Senayan dan gelombang itu makin membesar hingga Soeharto terpaksa meletakkan jabatan kepresidenannya.

Aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut hingga terpilih duet Presiden Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputri melalui pemilihan umum yang dinilai cukup demokratis. Setelah itu gerakan mahasiswa tinggal riak-riak kecil yang tidak jelas lagi target dan tidak didukung oleh visi yang luas. Namun, dalam beberapa hari terakhir gelombang aksi mahasiswa marak kembali.

Berbeda dengan gerakan mahasiswa tahun 1998 yang lebih didominasi oleh gerakan di luar kampus, aksi-aksi mahasiswa saat ini diawali dengan keterlibatan para aktivis organisasi formal kampus, baik yang tergabung dalam senat mahasiswa, badan eksekutif mahasiswa, maupun keluarga mahasiswa. Mereka adalah para aktivis yang umumnya berafiliasi dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) atau Jaringan Mahasiswa Indonesia (JMI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Keterkaitan itu dapat dengan mudah ditangkap dengan mendengarkan yel-yel dan lagu-lagu yang dinyanyikan ketika aksi maupun dari ukuran yang dipergunakan, yakni enam visi reformasi. Enam visi reformasi yang dimaksud adalah pencabutan Dwifungsi TNI/Polri, amandemen UUD 1945, otonomi daerah, supremasi hukum, pembudayaan demokrasi, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya.

Sejak 15 Januari 2001, para aktivis lembaga formal kemahasiswaan ini bergerak dengan atribut-atribut kampusnya menyerukan dukungan terhadap Pansus Buloggate dan Bruneigate serta mengingatkan kembali enam agenda reformasi yang mereka perjuangkan. Para aktivis itu menolak dikategorikan dalam kelompok massa anti-Presiden Abdurrahman Wahid, meski dalam orasi mereka sangat kritis dan memberi nilai negatif kepada Abdurrahman Wahid. Bahkan dalam orasi maupun yel-yel mereka sering telontar tuntutan agar Abdurrahman Wahid mengundurkan diri.

KESATUAN-kesatuan aksi yang tidak berbasis agama, seperti Forum Kota, Jaringan Kota, Gerakan Mahasiswa dan Pemuda untuk Reformasi (Gempur), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), Jaringan Kota, dan berbagai kesatuan aksi lainnya yang muncul setelah Soeharto tumbang belum memberikan sumbangan signifikan dalam gelombang aksi mahasiswa hari-hari ini. Mereka tengah berkonsolidasi untuk menyuarakan kembali tuntutan penghancuran Orde Baru, pengadilan Soeharto dan kroninya dalam mahkamah rakyat, dan pembubaran Partai Golkar. Dalam gelombang aksi yang berlangsung hingga akhir pekan lalu, baru sejumlah kecil mahasiswa yang turun ke jalan, sebagian lagi masih bersikap menunggu.

Akan tetapi, Jumat 26 Januari, di tengah gelombang mahasiswa dan massa anti-Abdurrahman Wahid, muncul sebuah kesatuan aksi baru yang menamakan diri Komite Mahasiswa Indonesia (KOMI). Tidak berbeda dengan para aktivis organisasi formal mahasiswa yang dapat diidentifikasi dengan mudah dari kelompok mana, asal-usul mereka dapat ditebak dengan mudah dengan mendengarkan jargon-jargon, yel-yel, dan lagu-lagu yang dinyanyikan. Tokoh-tokoh gerakan yang ada dalam KOMI merupakan para pemain lama yang dulu bergabung dalam Forum Kota, Famred, dan lain-lain. Namun, sebagian besar yang terlibat dalam KOMI memiliki keterkaitan dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang memiliki hubungan erat dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Arif, aktivis KOMI, mengatakan bahwa kekisruhan politik yang terjadi selama ini dibuat oleh Orde Baru baik melalui teror bom, disintegrasi, maupun gerakan-gerakan politik lainnya. Orde Baru ingin agar kekuasaan kembali ke tangannya. Menurut Arif, mahasiswa yang terlibat dalam gerakan anti-Abdurrahman Wahid ada kaitannya dengan pudarnya organisasi kemahasiswaan berbasiskan agama dalam memonopoli sumber-sumber dana dari Bulog, Pertamina, dan badan-badan usaha milik negara lainnya. "Mereka lebih berorientasi pada kekuasaan," kata Arif yang juga ketua PMII Jakarta Timur itu.

Kaum "veteran" gerakan mahasiswa tahun 1998 masih sangat menentukan dalam aksi-aksi mahasiswa tersebut. Ada di antara mereka yang terlibat langsung dalam aksi namun ada juga yang sekadar menempatkan diri sebagai pengatur strategi dan sumber referensi. Sebagian besar di antaranya adalah tokoh-tokoh mahasiswa yang kelulusannya tertunda-tunda dan kuliahnya terkatung-katung atau mereka yang telah lulus tetapi tidak kunjung memperoleh pekerjaan.

"Gus Dur tidak bisa menjamin kehidupan saya. Sampai sekarang saya belum juga dapat pekerjaan," ujar seorang lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, yang ditemui saat berbincang-bincang dengan sejumlah aktivis mahasiswa yang akan menggelar aksi mendukung Pansus Buloggate dan Bruneigate.

KEKUATAN gerakan mahasiswa yang bergerak saat ini tidak banyak berbeda dengan polarisasi yang terjadi yang terjadi di tingkat elite politik. Mereka terpecah dalam kelompok anti-Abdurrahman Wahid, pendukung Abdurrahman Wahid, dan kelompok di tengah yang masih ragu-ragu. Kehadiran mereka dimeriahkan dengan sejumlah massa demonstran bayaran dan massa yang digerakkan oleh partai politik, yang mungkin akan terus bertambah dalam pekan ini. Kemurnian gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral makin diragukan. Mereka tidak banyak berbeda dengan massa rakyat yang mudah diombang-ambingkan oleh kepentingan elite politik yang mengutamakan kekuasan. Dalam keadaan seperti itu tidak mudah gerakan mahasiswa tahun 2001 dapat merebut hati rakyat pada umumnya. Peran sebagai gerakan moral jangan-jangan direduksi menjadi sekadar kerumunan massa pengikut.

Dulu gerakan mahasiswa yang terserpih-serpih, tanpa pemimpin, menjadi sebuah mozaik yang membentuk kesatuan gerakan untuk meruntuhkan sebuah rezim yang lalim. Serpihan-serpihan itu kini tidak membentuk sebuah mozaik yang membuat orang kagum tetapi menjadi bagian dari sebuah kekuatan dan masyarakat yang terbelah.
Agus Haryadi, mantan aktivis Forum Salemba, mencoba menjelaskan mengapa gerakan mahasiswa yang ada sekarang tidak satu seperti dulu. Gerakan Mei 1998, kata Agus, memiliki musuh yang jelas, yakni Soeharto. Apa yang terjadi sekarang tidak berbeda dengan gerakan tersebut. "Sama seperti dulu, semula banyak mahasiswa yang takut dan ragu-ragu. Sekarang ini kita tengah menuju kristalisasi pendapat di kalangan mahasiswa. Ketika angin berembus cukup kuat, saya yakin mereka juga akan ikut," kata Agus yang masih menjalin hubungan dekat dengan para aktivis organisasi formal kemahasiswaan.

Fanni, aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, mengemukakan, gerakan mahasiswa saat ini memang agak berbeda dengan gerakan tahun 1998. Pada tahun 1998 ada musuh bersama yang sama. Namun saat ini yang dipermasalahkan adalah tata nilainya. Namun, Fanni mengelak bahwa gerakan para aktivis organisasi formal kemahasiswaan yang ada saat ini terkait dengan KAMMI atau HMI. "Kami berjalan sendiri, kami punya visi sendiri, yang menjadi ukuran kami adalah enam visi reformasi. Ketika agenda itu tidak dijalankan, apakah oleh Presiden atau MPR, kami akan terus bergerak," ujarnya.

Masinton, aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), menuduh para aktivis organisasi formal kemahasiswaan telah menjadi partisan politik. Mobilisasi massa mahasiswa dengan isu Buloggate dan Bruneigate, menurut dia, patut dipertanyakan. Alasannya, kalau mau jujur DPR mestinya juga menuntaskan kasus penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai ratusan trilyun rupiah, bukannya terpaku pada penyimpangan dana Yanatera Bulog. "Mahasiswa sekarang memang sudah jadi partisan politik. Mereka itulah dulu para pendukung kekuasaan BJ Habibie," kata Masinton.

Namun, menurut Agus Haryadi, tuduhan itu tidak beralasan karena aktivis organisasi formal kemahasiswaan yang tergabung dalam Forum Salemba maupun badan-badan eksekutif mahasiswa bersikap kritis terhadap pemerintahan Habibie dan memperjuangkan terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Itu justru tidak dilakukan oleh Forkot dan lain-lainnya yang justru menyuarakan penolakan terhadap pemilu.

Fadjroel Rachman, anggota Presidium Forum Pascasarjana UI, berpendapat bahwa mayoritas mahasiswa yang menyuarakan pembubaran Orde Baru dan Golkar bukan berarti mereka pendukung Abdurrahman Wahid. Mahasiswa, kata Fadjroel, mengetahui bahwa dalang konflik elite politik saat ini adalah Golkar. Golkar memanfaatkan konflik politik untuk melindungi diri dari upaya-upaya semua elemen yang ingin menjalankan reformasi dan demokrasi.

"Bila Gus Dur terbukti secara hukum terlibat, mahasiswa tentu akan menuntut ia mundur. Namun bila tidak, seruan mahasiswa terhadap pembubaran Golkar akan makin gencar," kata Fadjroel.

Akan tetapi, Aznil, mahasiswa Universitas Mercu Buana yang pernah dihajar aparat saat bersama delapan kawannya hendak menerobos Istana semasa kekuasaan Habibie, menyatakan bahwa gerakan mahasiswa saat ini telah cacat. Mahasiswa terjebak dalam blok-blok politik, baik yang anti-Abdurrahman Wahid dengan dibungkus isu dukungan terhadap Pansus Buloggate dan Bruneigate ataukah para pendukung Abdurrahman Wahid. Mestinya gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral berpihak pada rakyat, independen, dan tidak ikut dalam blok-blok politik.

"Saya kira rakyat sudah muak dengan gerakan mahasiswa. Perjuangan mahasiswa selama ini hanya dimanfaatkan untuk kepentingan elite. Mereka lupa bahwa demokrasi ini dibangun di atas darah, keringat, dan nyawa teman-teman," kata Aznil. (wis/win)

1 komentar:

Kwardianto Noviandy mengatakan...

Ya...sejarah terus berulang, 65 ke 98, uang adalah segalanya, kekuasaan bagiannya rakyat hanya aksesoris untuk meraih semuanya!