Rabu, 15 April 2009

14 April 2009 RAY RANGKUTI : Jutaan Surat Suara Rusak Tetap Dipakai

Meski akhirnya sesuai jadwal, pelaksanaan pemilu legislatif pada Kamis (9/4) ini sejatinya tak layak untuk dilaksanan.

INI terlalu dipaksakan,” ujar mantan Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti kepada Moh Anshari dari Indonesia Monitor, Kamis (2/4). Berikut ini wawancara dengan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) itu.

Mengapa dipaksakan?

Pertama, belum ada kepastian soal DPT (daftar pemilih tetap) yang valid. KPU sudah merevisi beberapa kali, tapi tidak diumumkan. Kita nggak mendengar berapa total dari keseluruhan pemilih dalam DPT. Kedua, soal surat suara. Surat suara yang rusak jumlah puluhan juta, tapi karena nampaknya menyulitkan KPU, surat suara rusak itu kayaknya diperbolehkan. Tapi sesuai standar pemilu, surat suara rusak itu nggak benar. Masak kita harus menerima surat suara yang sudah tercoret, tercontreng, dan distempel. Padahal, itu nggak boleh.

Kalau begitu keadaannya, apa bisa dibilang KPU melegalkan praktik kecurangan?

Kalau memang terbukti terjadi kecurangan di berbagai tempat, kita harus meminta pertanggungjawaban KPU. Termasuk, misalnya, kalau nanti masyarakat marah karena mendapatkan namanya sudah distempel pakai stiker. Sangat layak kalau caleg juga marah karena tahu namanya distempel pakai stiker. Mereka bisa menggugat KPU, karena memperlakukan mereka secara tidak adil. Yang lain namanya mentereng tanpa noda, malah sebagian namanya distempel pakai stiker.

Banyak aturan pemilu yang belum dipahami masyarakat, bahkan oleh politisi. Apa ini berpotensi menimbulkan permasalahan di belakang hari?

Ya. Pasti otomatis itu. Misalnya, soal penundaan pemilu. Yang dikatakan boleh itu seperti apa? Sekarang, satu-satunya yang mengerti dan paham aturan pemilu hanya penyelenggara. Padahal, ini sangat berbahaya. Karena nanti akan banyak gugatan dari masyarakat. Mereka berpatokan pada undangundang, padahal kenyataannya berbeda. Setidaknya itu menyulitkan kalau sosialisasi aturan baru itu tidak sampai ke masyarakat luas. Itu akan menimbulkan tindakan-tindakan yang tidak sehat.

Anda memprediksi KPU akan panen gugatan?

Ya pasti.

Apa ada kemungkinan chaos?

Agak susah memprediksinya. Tapi kita sekarang harus lebih hati-hati.

Kalau terjadi sengketa dan tindak kecurangan, bagaimana penyelesaian yang adil?

Tentu melalui pengadilan. Mereka yang dikecewakan dan merasa diperlakukan tidak adil oleh KPU, mereka bisa melakukan gugatan ke pengadilan. Tapi, sangat tergantung materinya. Kalau materinya berkenaan dengan pidana, tentunya ke polisi. Kalau berkaitan dengan perdata, bisa ke MK dan MA.

Apakah penyelesaian lewat MK bisa dijamin fair?

Itu di luar. Itu soal kemampuan lembaga peradilan dalam menyelesaikan berbagai persoalan.

Bagaimana sebaiknya sikap elite parpol yang nanti kecewa?

Saya pikir mereka jangan menunggu masalah sampai nanti. Hal-hal yang bisa dipersoalkan dari sekarang, ya mereka harus cepat persoalkan. Kalau hal yang bisa digugat sekarang, gugatlah sekarang. Jangan digugat di akhir. Kebiasaan kita menyelesaikan masalah di akhir itu harus dihindari, karena kenyataannya kalau nanti sudah ditetapkan pasti akan sulit untuk dilakukan pembelaaan.

Dengan banyaknya potensi kecurangan dan sengketa pemilu, bagaimana kinerja Bawaslu saat ini?

Bawaslu sami mawon (sama saja). Tidak ada fungsinya. Saya justru merekomendasikan Bawaslu dibubarkan saja. Ke depan nggak perlu lagi. Coba lihat, Bawaslu hanya sibuk ngurusi yang kecil-kecil, sepele-sepele saja. Nggak ada yang serius. Soal DPT, mereka memersoalkan secara tegas. Kita amat meragukan, apakah Bawaslu masih dianggap perlu lagi.

Bagaimana tanggapan Anda soal sistem undi bagi peserta pemilu yang perolehannya suaranya sama?

Itu nggak benar. Itulah yang saya sebut KPU sekarang kacau. Kalau pakai undian, ya nggak usah pakai pemilu. Pemilu kan harus kompetisi. Ini kok orang menang pakai diundi. ■
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=1878&Itemid=33
Comments (0)Add Comment

Tidak ada komentar: