Rabu, 15 April 2009

Golput Warnai Pemilihan Presiden 2004 Juli 8, 2004

Aksi golput (golongan putih/tidak memilih) kembali menampilkan diri pada pemilihan presiden (pilpres) 5 Juli 2004. Di kantor YLBHI Jakarta, Sabtu (3/7) lalu sekelompok aktifis gerakan pemuda mendeklarasikan sikap golput. Mereka adalah Forum Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), HMI MPO, Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi (LS-ADI) dan Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS). Selain itu juga tergabung beberapa aktifis yang mengatasnamakan pribadi seperti Syafieq Alieha, Fadjrul Rahman dan Masinton Pasaribu.

Alasan mereka untuk bersikap golput karena lima pasangan capres-cawapres dianggap mengecewakan. Alasan lain semua capres-cawapres dianggap mengobral janji palsu, memutarbalikkan fakta sosial yang ada. Capres-cawapres yang punya latar belakang pernah memegang kekuasaan dianggap tidak pernah menggunakan jabatannya untuk kepentingan rakyat. Bahkan cenderung dinilai telah memanipulasi keterbelakangan rakyat untuk melegitimasi kekuasaan.

Tentu, alasan golput mereka tidak sama dengan Gus Dur yang juga punya sikap yang sama. Gus Dur bersikap golput karena dirinya dinyatakan tidak lolos seleksi persyaratan capres oleh KPU. Gus Dur kecewa terhadap KPU dan sikap golputnya sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dialaminya. Golputnya Gus Dur sebagai sikap pribadi dan tidak mewakili institusi PKB yang dipimpinnya.

Oleh karena itu di pelbagai kesempatan Gus Dur selain mensosialisikan sikap golputnya, juga menyatakan bahwa pasangan Wiranto-Gus Solah layak dipilih karena dianggap bisa menumbuhkan proses demokrasi. Pasangan capres-cawapres ini memang didukung Partai Golkar dan PKB. Mau tidak mau Gus Dur harus memberikan penilaian positip terhadap Wiranto dan Gus Solah (adik kandung Gus Dur).

Menilik ideologi gerakan golput di Indonesia, memang punya sejarah panjang. Gerakan ini lahir pada masa orde baru berkuasa menggelar pemilu 1971 (pemilu pertama) sampai dengan pemilu 1997 (pemilu terakhir). Mereka bersikap golput karena tidak setuju dengan sistem politik yang diterapkan pemerintah orde baru. Ketika pemerintahan reformasi pun gerakan golput tetap eksis pada pemilu 1999. Jumlah golput pada pemilu kali ini menurun cukup drastis. Karena sistem politik sudah mengalami perubahan sehingga ada 48 parpol peserta pemilu.

Setelah lima tahun berjalan, ternyata penguasa baru dinegeri ini (dari parpol) dinilai mengecewakan rakyat. Maka golput pun marak lagi pada pemilu (legislatif) 5 April 2004 yang diikuti 24 parpol itu. Jumlah golput melonjak sampai mencapai angka lebih dari 34,5 juta atau hampir 24 persen. Padahal jumlah golput pada pemilu 1999 hanya berkisar 11 persen.

Ternyata, pada pemilu presiden (pilpres) 5 Juli 2004 juga diwarnai maraknya sikap golput. Belum ada penelitian secara khusus tentang kesamaan personal pelaku golput pada pemilu legislatif dan pilpres. Secara umum harusnya jumlah golput pada pilpres bisa turun karena model pemilihannya secara langsung oleh rakyat. Untuk memastikan teori ini harus menunggu selesainya perhitungan suara secara nasional.

Mengingat pilpres 5 Juli 2004 lalu adalah putaran pertama, maka sangat menarik untuk memprediksi potensi golput pada pilpres putaran kedua yakni 20 September 2004 nanti. Pertama, pengikut golput yang sekarang ini tetap konsisten dengan sikap politiknya. Hal itu dilakukan karena alasan mereka bersikap golput tetap sama yakni tidak suka dengan figur lima pasangan capres-cawapres yang ada. Sedangkan yang lolos ikut pilpres putaran kedua nanti adalah dua pasangan diantara lima capres-cawapres itu juga.

Kedua, akan ada penambahan banyaknya golput baru yang berasal dari mantan pendukung tiga pasangan capres-cawapres yang kalah dalam pilpres putaran pertama. Sikap golput ini logikanya sederhana yakni jago capres-cawapres mereka sudah kalah maka tidak perlu ada lagi calon yang harus didukung. Menghadapi pemilih jenis ini tentu saja pasangan capres-cawapres dan elit parpol pendukungnya harus hati-hati.

Jenis golput baru ini pasti kecewa kalau capres-cawapres dan elit parpolnya melakukan kaolisi dengan bargaining “menjual” suara pendukungnya kepada salah satu capres di putaran kedua. Tentu mereka akan menghukum parpol tersebut pada pemilu berikutnya. Mereka tidak akan mendukung parpol itu lagi pada pemilu 2009. Bahkan capres-cawapres yang bakal dimunculkan parpol tersebut pada pilpres 2009 juga tidak bakalan didukung.

Ketiga, sebagain pengikut golput (putaran pertama) akan berubah tidak golput lagi pada pilpres putaran kedua. Realitas di lapangan memang menunjukkan ada kelompok pemilih yang bersikap seperti ini. Mereka akan memberikan dukungan kepada salah satu pasangan capres-cawapres yang tampil di putaran kedua. Bahkan tidak tertutup kemungkinan Gus Dur akan mencabut sikap golputnya pada pilpres putaran kedua karena suatu alasan politik tertentu.

Tidak ada komentar: