Rabu, 15 April 2009

18 November 2008 Caleg Modal Besar Incar Balik Modal

Demi merebut kursi di Senayan setiap caleg membutuhkan dana besar. Bagaimana dengan caleg bermodal kecil?

UNTUK meraih simpati dan popularitas dari pemilih calon legislatif dalam Pemilu 2009 tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi enam bulan menjelang pemilu legislatif digelar sejumlah caleg mengaku kewalahan karena hampir setiap hari harus berurusan dengan proposal yang disodorkan masyarakat. Mulai dari acara kawinan, kegiatan sosial hingga perbaikan
masjid.

Seorang caleg di daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur VIII mengatakan, kebutuhan dana kampanye Pemilu 2009 dua kali lebih besar daripada Pemilu 2004. Saat itu semua harga kebutuhan logistik masih relatif murah. Selain itu, katanya, dalam Pemilu 2009 yang disosialisasikan adalah calegnya. Dengan sistem penentuan suara terbanyak, otomatis dana yang dikeluarkan caleg sangat tinggi.

’’Biaya yang paling tertinggi, adalah untuk alat peraga dan sosialisasi caleg,’’ ujarnya.

Dia mengalkulasi, untuk caleg di dapil Jatim VIII yang meliputi enam kabupaten/kota minim dibutuhkan biaya sekitar Rp 500 juta. Dana itu untuk backdrop kampanye di setiap kecamatan, serta 100 spanduk sekitar Rp 106 juta. Belanja 10 ribu kaos dan 20 ribu kalender menghabirkan Rp 90 juta.

Sedangkan untuk ongkos sosialisasi atau temu konstituen di enam kabupaten/kota terkuras sekitar Rp 376 juta.

’’Belum lagi untuk biaya tak terduga, misalnya untuk sumbangan bisa mencapai Rp 100 juta,’’ ungkapnya kepada Indonesia Monitor.

Besarnya dana kampanye disadari Pius Lustrilanang yang sudah dua kali nyaleg di tahun 1999 dan 2004. Menurutnya, kesulitan mencari dana (fund rising) kampanye akan dialami aktivis-aktivis yang mencoba nasib menjadi caleg. Apalagi, jika tidak memiliki keluasan komunikasi politik dan networking sosial
selama berkecimpung di dunia akitivis.

’’Mereka (aktivis) harus belajar karena memasuki dunia yang berbeda. Harus cerdas melakukan kampanye yang efektif, karena kampanye jelas menelan biaya yang tidak sedikit,’’ tegasnya.

Jebolan pascasarjana Ilmu Kepolisian UI ini menambahkan, para aktivis yang nyaleg di partai-partai kecil akan semakin sulit menjaring dana.

Soalnya, para donator politik akan berhitung peluang kecilbesarnya keberhasilan masuk Senayan. Contohnya, aktivis buruh Dita Indah Sari (Caleg PBR Jateng V) yang diprediksi sedang kesulitan menggalang dana.

’’Saya bisa katakan dia kesulitan soal dana. Dita salah pilih partai. Sorry to say itu kan bagi saya Dita sama saja ‘bunuh diri’. Tapi, mudah-mudahan Dita sudah melakukan kalkulasi untuk hal itu,’’ paparnya.

Kegundahan beratnya mencari dana politik 2009 dirasakan aktivis Famred (Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi) Masinton Pasaribu. Untuk maju menjadi caleg DPR , Masinton tak tahu lagi harus mencari dana untuk kelangsungan kampanyenya. Hal itu hampir semuanya dialami 200 aktivis mahasiswa 1998 yang menjadi caleg dalam Pemilu 2009.

Idealnya kampanye semakin kecil modal semakin baik. Artinya calon legislatif mampu memobilisasi dukungan tanpa harus dengan uang.

Adanya kenyataan untuk menjadi caleg harus mengeluarkan biaya besar, menurutnya, dicurigai sebagai pemicu banyak caleg tersangkut masalah hukum. Ibaratnya keluar modal harus kembali modal.

Hal itu dikemukakan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow, kepada Indonesia Monitor. Memang untuk urusan dana, menurutnya, sangat relatif. Namun, idealnya semakin minim modal semakin baik.

’’Itu menunjukkan caleg tersebut mampu memobilisasi dukungan tanpa harus dengan uang,’’ katanya. Kendati begitu, Jeirry tetap tak menyampingkan faktor modal. Menurutnya, bagaimana pun modal perlu namun tidak harus banyak. Semakin banyak uang, katanya, sangat memungkinkan untuk munculnya potensi politik uang.

’’Karena semakin banyak uang yang dikeluarkan oleh seorang caleg maka semakin besar kemungkinan untuk korupsi. Logikanya, setelah caleg tersebut menduduki posisi yang diharapkanya ia akan berpikir untuk mengembalikan modalnya. Namun tidak bisa dipukul rata juga semua akan melakukan hal itu,’’ papar Jeirry.

Jeirry menyarankan, caleg hendaknya menggunakan kampanye turun langsung ke masyarakat. Setidaknya jenjang waktu enam bulan untuk kampanye cukup memadai. ’’Pastinya lebih efektif dibanding dengan kampanye iklan di media dan spanduk,’’ katanya.

■ Dimas Ryandi
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=766&Itemid=34

Tidak ada komentar: