Rabu, 27 Mei 2009

Globalisasi Pemiskinan

Oleh Yonky Karman

Setelah beberapa anak balita meninggal karena gizi buruk di Kabupaten Rote Ndao, tragedi kemiskinan kembali terulang di NTT. Ibu muda di Kabupaten Timor Tengah Selatan tewas menggantung diri setelah meracuni putri semata wayangnya, Kamis (3/7).

Magdalena terimpit biaya hidup yang melambung dan utang yang belum terbayar, sementara suaminya hanya penganggur. Ia tidak tega melihat buah hatinya menderita. Gagal hidup seperti itu pertanda kelalaian dan ketidakberdayaan pemerintah yang terjebak globalisasi pemiskinan. Tiada arti kedaulatan teritorial tanpa kedaulatan pangan dan energi.

Warga miskin terjepit di antara pasar (global) dan negara. Pemerintah bertanggung jawab melindungi warga miskin dari mekanisme harga pasar dan pada saat sama memperkuat basis ekonomi warga. Berhadapan dengan pasar, posisi tawar negara harus kuat untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan dasar warga. Ketika negara gagal merepresentasikan kepentingan warga lemah, rasionalitas bernegara digugat.

Keterbukaan gradual

Globalisasi bukan kambing hitam. Kini pihak pro-kontra kian merapat dalam tolok ukur keberhasilan globalisasi. Pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Meski demikian, penganjur liberalisasi perdagangan masih menggiring opini negara miskin dan berkembang bahwa indikator pertumbuhan adalah tingginya volume perdagangan, yang diyakini berdampak langsung pada pemerataan distribusi pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Berdasarkan itu juga, Bank Dunia membagi negara menjadi globalizers dan nonglobalizers.

Benar, selama 50 tahun terakhir tak ada negara dengan kebijakan ekonomi tertutup tumbuh lebih cepat dari yang terbuka. Namun, sama benarnya, tidak ada negara yang tumbuh hanya karena membuka diri kepada perdagangan luar negeri dan investasi asing. Pokok masalah bukan proteksi atau liberalisasi.

Fakta yang diabaikan, China baru belakangan serius meliberalisasi perdagangan dan menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001. Sebelum itu, China menerapkan banyak kebijakan yang bertentangan dengan liberalisasi perdagangan. Pasar keuangan tertutup bagi investor asing. Tiada privatisasi BUMN. Namun, China memanfaatkan peran pasar, insentif swasta, dan inovasi kelembagaan yang disesuaikan kondisi lokal.

Selama periode pertumbuhan tinggi di China tahun 1980-an, rata-rata tarif lebih tinggi daripada periode pertumbuhan rendah tahun 1970. Reformasi perdagangan baru dilakukan satu dekade sesudah ekonomi tumbuh lebih tinggi. Secara parsial dan gradual membuka diri kepada produk impor dan investasi asing. Demikian juga India. Hingga pertengahan 1990-an, restriksi perdagangan kedua negara itu tertinggi di dunia.

Kisah serupa juga terjadi dengan Vietnam (bukan anggota WTO) yang perdagangan luar negerinya dimonopoli negara. Tarif tinggi dikenakan untuk impor produk pertanian dan industri (30-50 persen). Meski demikian, Vietnam cepat terintegrasi dengan ekonomi global. Ekspansi perdagangan mencapai dua digit. Angka pertumbuhan PDB lebih dari delapan persen. Tingkat kemiskinan menurun tajam.

Sebaliknya, Haiti (anggota WTO) drastis menurunkan tarif impor hingga 15 persen dan meniadakan semua restriksi kuantitatif. Namun, ekonomi stagnan. Tingkat investasi asing rendah. Integrasi dengan ekonomi global hanya maju sedikit. Bahkan, indikator sosial memburuk.

Dengan demikian, tiada resep tunggal untuk pertumbuhan ekonomi (Dani Rodrik, One Economics, Many Recipes: Globalization, Institutions, and Economic Growth, 2007). Tiap negara harus menentukan prioritas kebijakan ekonominya dengan tepat, sesuai keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Kejelian memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan pasar global dikombinasikan dengan investasi dan pelembagaan kewirausahaan di dalam negeri.
Negara lemah

Negara-negara termiskin di Afrika gagal tumbuh. Mereka tak terisolasi dari proses globalisasi, tetapi terglobalisasi secara negatif (Paul Collier, The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, 2007). Semua sumber daya terkuras ke luar. Eksploitasi sumber daya alam. Investasi warga kaya di luar negeri. Migrasi kaum terpelajar ke negara-negara lain (brain drain).

Negara-negara gagal itu ada di posisi terbawah sistem ekonomi global. Mereka tak hanya terbelakang (falling behind), tetapi juga di ambang kehancuran (falling apart). Maka, dampak terintegrasi dengan ekonomi global bagai pedang bermata dua. Mengurangi tingkat kemiskinan atau mempercepat proses pemiskinan.

Indonesia boleh bernapas lega, meski harus dicatat, Sierra Leone dulu pernah lebih baik dari India dan China. Namun, ada sebuah indikator yang memprihatinkan sejak zaman kolonial, yaitu sumber daya alam kita terus terkuras. Daya tawar republik merdeka lemah berhadapan dengan kepentingan asing.

Rasa kurang percaya diri kita merupakan warisan mentalitas terjajah. Pejabat membiarkan kontrak karya jangka panjang yang merugikan bangsa. Tak terhindar kesan menghamba kepentingan asing. Lemah mental itu diperparah dengan lemahnya kemauan pejabat untuk pasang badan demi kepentingan bangsa. Birokrasi kita dipenuhi orang yang kekuatan integritasnya digerogoti mentalitas korupsi.

Efek negara lemah, pemerintah diam saja melihat rupiah tidak laku di lokasi resor yang disewakan kepada pihak asing. Bahkan, ada resor yang tertutup bagi WNI. Pemerintah diam saja atas insiden pembakaran puluhan kapal nelayan tradisional kita yang dituduh melanggar batas teritorial Australia. Nasib seperti itu belum pernah menimpa kapal asing modern yang jelas menjarah hasil laut di perairan kita.

Dalam indeks pembatasan tarif perdagangan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 125 negara. Namun, tingkat tarif yang kompetitif di kawasan regional itu tidak membawa hasil optimal karena buruknya layanan birokrasi, efisiensi pelabuhan, dan fasilitas perdagangan lain. Dengan ketidaksiapan internal seperti itu, sebenarnya keterbukaan Indonesia mengundang neokolonialisme ekonomi.

Maka, saatnya pemerintah mengkaji ulang keterbukaannya dan mundur selangkah (untuk maju) untuk jangka pendek. Reposisi kebijakan pasar demi keadilan dan pertumbuhan berkelanjutan. Proteksi dan restriksi demi kemandirian bangsa. Sementara itu, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi dilakukan radikal guna memperkuat daya saing bangsa. Langkah mundur seperti itu tentu bisa diterima pasar (market-friendly).

Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/08/00352319/globalisasi.pemiskinan

Evo Morales & Bolivia

Evo Morales
Juan Evo Morales Ayma



--------------------------------------------------------------------------------

Presiden Bolivia ke-80
Masa jabatan
22 Januari 2006 – Sekarang
Wakil Presiden Álvaro García Linera
Pendahulu Eduardo Rodríguez
Pengganti Sedang Menjabat

--------------------------------------------------------------------------------

Lahir 26 Oktober 1959 (umur 49)
Orinoca, Oruro, Bolivia
Kebangsaan Bolivia
Partai politik Movimiento al Socialismo (MAS)
Agama Katholik Roma[1] / Indigenous religions
Juan Evo Morales Ayma (lahir di Orinoca, Oruro, Bolivia, 26 Oktober 1959; umur 49 tahun), yang populer dikenal dengan nama Evo (IPA: [ˈeβ̞o]) adalah Presiden Bolivia dan menjadi orang pribumi pertama untuk jabatan kepala negara sejak penjajahan Spanyol lebih dari 470 tahun yang lalu.[2][3][4][5] Klaim ini menyebabkan kontroversi,[6] karena ada para presiden mestizo sebelumnya.[7]

Morales adalah seorang sosialis dan berasal dari suku Indian (Aymara) dan dilantik menjadi presiden pada tanggal 22 Januari 2006.

Morales adalah pemimpin sayap kiri gerakan cocalero Bolivia– sebuah federasi kendur dari campesino penanam daun koka yang melawan upaya-upaya pemerintah Amerika Serikat untuk membasmi koka di Provinsi Chapare di Bolivia tenggara. Morales juga adalah pemimpin partai politik Gerakan untuk Sosialisme (Movimiento al Socialismo, dengan singkatannya dalam bahasa Spanyol MAS, yang berarti "lebih"), yang terlibat dalam Perang Gas, bersama-sama dengan banyak kelompok lainnya, yang biasanya dirujuk sebagai "gerakan sosial".

Pada pemilihan presiden 2002, Morales menempati tempat kedua, suatu kejutan yang mengecewakan bagi partai-partai tradisional Bolivia. Hal ini langsung membuat sang aktivis pribumi ini terkenal di seluruh benua Amerika. Morales menyebutkan bahwa kemenangan yang hampir diperolehnya itu sebagian disebabkan oleh komentar-komentar membakar yang ditujukan kepadanya oleh duta besar AS di Bolivia Manuel Rocha, dan menyebutkan bahwa mereka menolong "membangkitkan hati nurani rakyat". Morales akhirnya terpilih sebagai presiden dalam pemilihan 2005, setelah beberapa krisis yang disebabkan oleh masalah industri gas.

[sunting] Karier politik
Ketika ia melihat bahwa perjuangan sosial di kalangan petani-petani koka ini perlu ditingkatkan menjadi gerakan politik, maka partai yang bernama MAS yang dipimpin Evo Morales menjadi kekuatan politik yang terbesar dan terkuat di Bolivia. Melalui kampanyenya yang terang-terangan mengutuk kejahatan-kejahatan perusahaan-perusahaan multinasional, mengkritik praktek-praktek neoliberalisme dan globalisasi yang dilakukan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO, Evo Morales juga banyak bicara tentang pentingnya negara Bolivia mengkontrol pengelolaan gas bumi, yang merupakan cadangan besar sekali di benua Amerika Latin. Morales juga mengatakan bahwa ia tidak menyukai kapitalisme. Sejarah penjajahan Spanyol di Bolivia menunjukkan bahwa penjarahan besar-besaran kekayaan bumi Bolivia yang berupa timah hanya untuk kekayaan kapitalis-kapitalis Spanyol, sedangkan orang-orang dari suku Indian, yang merupakan mayoritas penduduk, tidak mendapat apa-apa atau sedikit sekali.

Pada masa reformasi ekonomi di tahun 1990-an, para mantan petambang mulai juga menanam koka dan ikut menyumbang perekonomian Bolivia yang kian meningkat dalam produksi dan penyelundupan narkoba internasional. Hal ini menjadi tersendat dan tidak lancar ketika pemerintahan Presiden Hugo Banzer mengupayakan penghapusan narkoba yang didukung Amerika Serikat pada pertengahan 1990-an. Mulai saat itu muncul berbagai ketegangan disertai banyak bentrokan dan protes.

Sebagai pemimpin para cocaleros, Morales terpilih menjadi anggota Kongres Bolivia pada 1997. Ia mewakili provinsi Chapare dan Carrasco de Cochabamba dengan 70% suara di distrik itu. Ini merupakan jumlah terbanyak di antara 68 anggota parlemen yang terpilih langsung dalam pemilu tersebut.


[sunting] Kelahiran dan keluarga
Morales lahir di Orinco, sebuah kota pertambangan di Wilayah Oruro, di Altiplano (daerah Dataran Tinggi) Bolivia. Seperti banyak penduduk asli di Dataran Tinggi, keluarganya pindah ke dataran rendah di Bolivia timur pada awal tahun 1980-an. Keluarganya menetap di Chapare. Di sana mereka menjadi petani, termasuk menanam pohon koka, bahan mentah yang dibutuhkan untuk menghasilkan kokain.


[sunting] Pemilu 2002

Morales (kanan) dengan José Bové pada tahun 2002.
[sunting] Pemecatan dari anggota Kongres
Pada Januari 2002, ia dipecat dari kursinya di Kongres karena tuduhan terorisme yang berkaitan dengan berbagai kerusuhan. Demonstran menentang penghapusan penanaman koka di Sacaba pada bulan itu. Empat petani koka, tiga tentara dan seorang perwira polisi terbunuh. Tetapi, ada yang menyebutkan pemecatannya dikarenakan bermacam tekanan berat dari kedutaan besar Amerika Serikat yang menuntut agar ia disingkirkan dari pemerintahan.


[sunting] Pencalonan menjadi presiden
Ia mengumumkan pencalonannya kembali dalam pemilu presiden 2002 dan kongres yang diadakan pada 27 Juni 2002. Kongres sempat menyatakan bahwa pemecatannya tidak konstitusional pada bulan Maret. Tetapi, ia tidak menuntut kembali kursinya di Kongres hingga Kongres yang baru disumpah pada 4 Agustus 2002. Meskipun MAS hanya mengumpulkan 4% suara di dalam proses jajak pendapat umum, namun partai ini mampu menggunakan sumber-sumbernya yang terbatas untuk mengadakan kampanye yang imajinatif dan menarik banyak perhatian.

Partai ini meninggalkan taktik-taktik kampanye tradisional dengan membagi-bagikan T-shirt, topi bisbol, kalender, dan cendera mata politik lainnya. Sebuah iklan televisi menggambarkan seorang pelayan Bolivia dari suku Indian asli mengimbau massa agar memberikan suaranya sesuai dengan hati nurani, bukan seperti apa yang diperintahkan oleh majikan atau boss. MAS mengembalikan uang bantuan dari pemerintah sekitar US$ 200.000 yang diberikan kepada setiap partai politik.

Selain memanfaatkan ketidaksenangan rakyat terhadap kehadiran Amerika Serikat dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Bolivia (Manuel Rocha) khususnya, MAS juga membagikan poster dengan foto Morales yang besar di tengah. Di atasnya tertulis: "Bangsa Bolivia: Anda yang Memutuskan. Siapa yang Berkuasa, Rocha atau Suara Rakyat?" dengan huruf-huruf yang besar-besar. Poster itu mempunyai dampak yang sangat besar. Ratusan ribu poster dicetak.

Tak seorangpun dari kandidat partai politik arus utama Bolivia yang mau berdebat dengan Morales. Mereka mengejek MAS sebagai "partai gurem." Ia pun mengatakan bahwa tidak berminat berdebat dengan mereka. "Orang yang ingin saya ajak berdebat adalah Duta Besar Rocha — saya lebih suka berdebat dengan sang pemilik sirkus, bukan dengan badut-badutnya," tandasnya kepada media.

Dalam sebuah pidato yang disampaikan di hadapan Presiden Jorgue Quiroga, Rocha berkata, "Saya ingin mengingatkan para pemilih Bolivia bahwa bila Anda memilih mereka yang ingin menjadikan Bolivia negara pengekspor kokain utama lagi, hal ini akan mengancam bantuan Amerika Serikat di masa depan untuk Bolivia."[8] Khususnya mereka yang hidup di wilayah-wilayah Altiplano yang umumnya adalah masyarakat bumiputra tetap berbondong-bondong memilih MAS. Rakyat Bolivia memberikannya 20.94% suara. Selisih ini hanya beberapa angka di bawah total suara yang diperoleh partai yang menang. Setelah itu, Morales berkata, "Setiap pernyataan yang dibuat Rocha untuk melawan kita justru telah menolong kita berkembang dan membangkitkan hati nurani rakyat."


[sunting] Menjadi oposisi kuat di Kongres
Karena menolak berkompromi, bahkan sebagian orang menganggapnya bersikap ekstrem, Morales dan MAS tidak diikutsertakan dalam koalisi pemerintahan. Koalisi akhirnya menentukan Gonzalo Sánchez de Lozada) sebagai presiden. Sehingga, MAS di bawah pimpinan Morales masuk ke Kongres sebagai partai oposisi yang kuat.

Evo Morales dan MAS memang tidak mempunyai program yang jelas, tetapi jelas siapa yang ditentangnya. Ia seorang orator yang pandai membakar semangat. Namun proposal alternatifnya kurang begitu jelas. Betapapun juga, Morales tidak melihat banyak harapan dari pemerintahan. Ia menganggap pemerintah mudah dikorupsi dari dalam dan dimaniplasi dari luar oleh kepentingan-kepentingan asing. Baginya, yang paling dibutuhkan kaum campesinos Bolivia yang miskin adalah otonomi, kesempatan yang sama, dan akses kepada tanah.

Sebagai jawaban terhadap pembunuhan terhadap tujuh orang pengunjuk rasa oleh Angkatan Bersenjata pada waktu Perang Gas Bolivia, Serikat Buruh Bolivia (COB) menyerukan pemogokan umum tanpa batas pada 29 September 2003. Morales dan MAS menolak ikut serta. Mereka lebih memusatkan perhatian dalam upaya merebut kekuasaan dalam pemilu wilayah 2004. Dalam pemilu 2002, ia mendorong rakyat memberikan suaranya untuk MAS. Komentar-komentarnya yang tajam dari duta besar Amerika Serikat membuatnya meraih posisi kedua. Tentu ini merupakan sebuah kejutan bagi partai-partai tradisional. Morales hampir saja terpilih menjadi presiden. Peristiwa unik demikian tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini membuat sang aktivis masyarakat pribumi itu langsung menjadi selebiriti di benua Amerika Selatan.


[sunting] Pemilu 2005

[sunting] Percepatan pemilu
Morales terlibat dalam mengorganisasi protes-protes yang berlanjut di ibu kota pada Juni 2005. Karena tekanan, akhirnya memaksa Presiden Carlos Mesa mengundurkan diri. Sebagai akibat dari rasa ketidakpuasan yang kian meningkat dan kegelisahan rakyat, Kongres Bolivia dan Presiden Konstitusional Eduardo Rodriguez memutuskan mempercepat pemilu dari 2007 ke Desember 2005.

Carlos Mesa yang terpilih sebagai Wakil Presiden dan melayani di bawah pemerintahan Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada mundur dua kali meskipun yang pertama ditolak Kongres. Ia menjadi presiden ketika Sanchez de Lozada dipaksa mengundurkan diri pada 2003. Kedua peristiwa kebangkitan rakyat ini disebabkan terutama karena kepemimpinan Morales, khususnya setelah hampir selama setahun secara tidak resmi ia ikut serta sebagai sekutu dalam pemerintahan Presiden Mesa.

Dalam sebuah pertemuan para petani yang merayakan hari jadi ke-10 MAS pada Maret 2005, Morales menyatakan bahwa "MAS siap memerintah Bolivia," karena partai ini telah "mengkonsolidasikan posisinya sebagai kekuatan politik [utama] di negeri ini." Namun demikian, ia mengakui bahwa "masalahnya bukan lagi memenangkan pemilu, tetapi bagaimana memerintah negara ini."[9]

Pengumpulan pendapat awal telah menempatkan Morales dan Gerakan Menuju Sosialisme dalam kedudukan seimbang dengan dua tokoh lainnya, yaitu pemimpin sayap tengah dan kanan serta pemimpin mayoritas perkotaan, Jorge Quiroga dan Samuel Doria Medina, dengan sedikit saja angka perbedaan. Semua ini menunjukkan betapa sulitnya menerka hasil pemilu presiden Bolivia 2005 ini.

Pada 21 Agustus 2005, Morales telah memilih pendampingnya untuk pemilu presiden Desember 2005, seorang ideolog sayap kiri, sosiolog, matematikawan, dan analis politik, Alvaro García Linera, yang berjuang berdampingan dengan Felipe Quispe sebagai bagian dari Ejercito Guerrillero Tupac Katari (EGTK).

Pada 4 Desember 2005, Morales terus-menerus unggul di berbagai poling dengan sekitar 32% suara. Ada lebih dari 100.000 hakim pemilu yang telah disumpah sementara negara ini mempersiapkan diri untuk mengadakan pemilu pada 18 Desember 2005. Kandidat yang kedua, 'Tuto' Quiroga, dari Partai PODEMOS, mendapatkan sekitar 27% suara, sementara Samuel Doria Medina hanya memperoleh kurang dari 15% suara. Semua partai ini menjanjikan solidaritas nasional, nasionalisasi (dalam berbagai tingkatannya) terhadap hidro-karbon, dan kekayaan rakyat.


[sunting] Memenangkan pemilu presiden
Evo Morales muncul sebagai pemenang dalam pemilihan presiden Bolivia. Hasil penghitungan suara secara acak dari mereka yang selesai memberikan suaranya (exit poll) menunjukkan bahwa Morales telah melampaui batas minimum 50% suara yang dibutuhkan. Sebelumnya exit poll memperlihatkan bahwa ia telah merebut 42%-45% suara, jauh di atas bekas presiden Jorge Quiroga. Quiroga sendiri telah mengakui kekalahannya dan menyampaikan ucapan selamat kepada Morales.

Dalam pemilu hari Minggu itu, Bolivia juga memilih parlemen atau Kongres yang baru serta gubernur. Menurut undang-undang pemilu Bolivia, bila tak seorangpun kandidat memperoleh jumlah minimum suara 50%, maka pemilu tidak akan dilanjutkan dengan putaran kedua, melainkan keputusan akan diambil oleh Kongres.

Pada 21 Desember 2005, komisi pemilu mengumumkan bahwa Morales telah dipastikan menjadi pemenang pemilu. Ia mendapatkan 54,3 persen suara dengan 93 persen suara yang telah dihitung, menurut hasil resmi. Kemenangannya memperlihatkan dukungan rakyat lebih besar dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya sejak demokrasi dipulihkan di negara itu dua dekade lalu. Setelah terpilih, dia menyatakan akan memotong setengah gajinya untuk kepentingan perluasan lapangan kerja.

Pemerintahan Morales telah mendapat ucapan selamat dan dukungan politik dari semua presiden di wilayah itu, serta sejumlah pemimpin Eropa serta presiden AS, George W. Bush.


[sunting] Ideologi
Morales menguraikan kekuatan pendorong di belakang MAS,

“ Musuh paling jahat dari umat manusia adalah kapitalisme. Itulah yang mendorong pemberontakan seperti yang kita alami, pemberontakan melawan sebuah sistem, melawan sebuah model neo-liberal, yang merupakan representasi dari kapitalisme yang buas. Bila seluruh dunia tidak mengakui realitas ini, bahwa negara-negara nasional tidak memberikan bahkan yang paling minimal kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan gizi untuk rakyat, maka setiap hari hak-hak manusia yang paling asasi sedang dilanggar. ”

Ia pun pernah menyatakan,

“ ...prinsip-prinsip ideologis dari organisasi, anti-imperialis dan berlawanan dengan neo-liberalisme, jelas dan teguh, tetapi anggota-anggotanya masih harus mengubahnya menjadi realitas yang berprogram.[10] ”

Morales menyebutkan pentingnya pembentukan sebuah Dewan Konstituante untuk mentransformasikan negara Bolivia. Ia pun mengusulkan dibentuknya sebuah undang-undang hidro-karbon yang baru untuk menjamin 50% hasilnya untuk Bolivia, meskipun MAS juga telah menunjukkan minatnya untuk melakukan nasionalisasi total atas industri gas dan minyak Bolivia.

Morales pernah mengungkapkan rasa kagumnya terhadap aktivis pribumi Guatemala, Rigoberta Menchu Tum, dan Fidel Castro. Ia kagum terhadap Castro karena perlawanannya terhadap AS. Morales juga percaya bahwa masalah kokain harus dipecahkan pada sisi konsumsinya, bukan dengan mengatur tanaman koka, yang sudah legal di daerah-daerah tertentu di Bolivia.

Ideologi Morales tentang narkoba dapat diringkas dalam kata-kata "daun koka bukanlah narkoba". Kenyataannya, mengunyah daun koka telah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat (Aymara dan Quechua) dan pengaruh obatnya tidak sekuat kafein yang terdapat di dalam kopi, namun bagi banyak rakyat Bolivia yang miskin ini dianggap sebagai satu-satunya cara untuk bekerja terus sepanjang hari -- bagi sebagian orang itu bisa berarti 15 hingga 18 jam sehari. Praktek mengunyah daun koka oleh penduduk pribumi di Bolivia sudah berlangsung lebih dari 1000 tahun dan tidak pernah menimbulkan masalah narkoba di masyarakat mereka. Itulah sebabnya Morales percaya bahwa masalah kokain harus diselesaikan pada sisi konsumsinya, bukan dengan membasmi perkebunan koka.

Pemerintahan Morales sangat berbeda pendapat dengan Amerika Serikat dalam masalah undang-undang anti narkoba dan kerja sama antara kedua negara itu, namun para pejabat dari kedua negara telah mengungkapkan keinginan untuk bekerja sama dalam membasmi perdagangan narkoba. Sean McCormack dari Departemen Luar Negeri AS memperkuat dukungan terhadap kebijakan anti narkoba Bolivia, sementara Morales menyatakan:

“ Kami akan menerapkan kebijakan nol kokain, nol perdagangan narkoba, namun bukannya nol koka.[11] ”


[sunting] Kunjungan Kenegaraan

Morales dan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da SilvaSebelum dilantik sebagai presiden, ia sudah mengadakan kunjungan internasional di negeri-negeri penting di 4 benua. Antara lain ia telah mengunjungi Spanyol, Prancis, Belgia, Afrika Selatan, Tiongkok dan Brasil, untuk bertemu dengan berbagai kepala negara dan tokoh-tokoh dunia. Ia telah bertemu dengan presiden Prancis Jacques Chirac, pimpinan Uni Eropa Javier Solana, menteri luar negeri Belanda Ben Bot, presiden Tiongkok Hu Jintao, dan presiden Lula dari Brasil.

Pers internasional banyak memberitakan tentang kunjungan kilatnya ini, termasuk keistimewaan Evo Morales mengenai pakaiannya selama pertemuan dengan berbagai tokoh terkemuka di banyak negeri itu. Sebab, dalam kunjungannya ini ia selalu memakai pakaian yang sederhana, yaitu jaket kulit atau pakaian semacam sweater yang dibuat dengan alpaca (bahan pakaian tradisional yang banyak dibuat orang-orang Indian). Begitu sederhananya, sehingga soal pakaian Evo Morales disoroti oleh sebagian media massa berbagai negeri lebih banyak daripada politiknya. Ada yang menganggap bahwa pakaiannya yang sederhana ini, bahkan tanpa memakai dasi, kurang menghormati protokol.

Pada 29 Desember 2005, Evo Morales melakukan lawatan internasional yang digambarkan oleh media Amerika Latin luar biasa [1]. Selama 2 minggu, Morales mengunjungi beberapa negeri dalam mencari dukungan politik dan ekonomi untuk agendanya dalam transformasi Bolivia. Konon lawatan ini menjadi gebrakan tradisi selama beberapa dasawarsa di mana tujuan internasional pertama oleh presiden terpilih Bolivia adalah AS.


[sunting] Garis waktu perjalanan keliling dunia Morales
30 Desember 2005: Evo Morales berkunjung ke Kuba setelah merayakan kemenangannya di kotanya Orinoca. Di Havana Morales disambut dengan karpet merah dan mendapatkan kehormatan lengkap dari Presiden Fidel Castro. Morales menandatangani perjanjian kerja sama antara Bolivia dan Kuba yang berisi janji Kuba untuk membantu Bolivia dalam masalah-masalah seperti kesehatan dan pendidikan. Dalam pidatonya Morales menggambarkan Castro dan Chávez sebagai “kamerad dalam perjuangan pembebasan benua Amerika dan dunia”.[12]
3 Januari 2006: Bertemu dengan Hugo Chávez di Caracas. Chávez menawarkan Bolivia 150 000 barel minyak solar per bulan untuk menggantikan impor dari negara-negara lain. Sebagai gantinya, Bolivia akan membayar Venezuela dengan hasil pertanian dari Bolivia.[13]
4 Januari 2006: Perdana Menteri Spanyol José Luis Rodríguez Zapatero menerima Morales di Istana La Moncloa. Zapatero mengumumkan penghapusan utang Bolivia kepada Spanyol sebesar 120 juta euro.
5 Januari 2006: Raja Juan Carlos menerima Morales di istananya di La Zarzuela. Media Spanyol mengkritik Morales karena berpakaian tidak formal, dengan hanya mengenakan sweater yang terbuat dari wol alpaca dengan motif Amerindian dan warna-warna dalam pertemuannya dengan raja.[14] Pada saat yang sama José María Aznar mengumumkan bahwa ia akan menggunakan organisasi pengumpulan dana pribadinya untuk melawan Castro, Morales dan Chávez.[15]
6 Januari 2006: Bertemu dengan Presiden Perancis Jacques Chirac di Paris. Chirac menjanjikan bantuan ekonomi dan politik sejauh investasi Perancis di Bolivia dilindungi.[16] Pada hari yang sama ia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot yang menjanjikan bantuan sebesar €15 juta per tahun.
7 Januari 2006: Bertemu dengan Javier Solana di Brussels yang juga menjanjikan dukungan ekonomi untuk Bolivia sebagai ganti perlindungan untuk investasi-investasi Eropa di Bolivia.[17]
9 Januari 2006: Bertemu dengan Hu Jintao dan Menteri Perdagangan Tiongkok Bo Xilai. Morales mengundang pengusaha dan pemerintah Tiongkok untuk menanam modal di proyek-proyek eksplorasi dan eksploitasi gas alam dan ikut serta dalam pembangunan pengilangan gas di Bolivia.[18]
10 Januari 2006: Morales diterima di Pretoria oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki. Morales membandingkan kunjungan bangsa Afrika Hitam di masa Apartheid dengan kunjungan bangsa-bangsa Amerindian di benua Amerika.[19]
11 Januari 2006: Bertemu dengan uskup agung Desmond Tutu yang melukiskannya sebagai manusia yang ‘sangat rendah hati dan hangat’, serta dengan bekas presiden F.W. de Klerk.[20]
13 Januari 2006: Berkunjung ke Brasil dan bertemu dengan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva dan menggambarkannya sebagai "kamerad dan saudara." Morales dan Lula sepakat bekerja sama dalam program mengakhiri kemiskinan.[21]

Hugo Chavez & Revolusi Bolivarian

Hugo Rafael Chávez Frías (lahir 28 Juli 1954) adalah Presiden Venezuela saat ini. Sebagai pimpinan Revolusi Bolivar, Chávez mempromotori visi demokrasi sosialis, integrasi Amerika Latin, dan anti-imperialisme. Ia juga tajam mengkritik globalisasi neoliberal dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat

Ia adalah presiden sejak tahun 1998. Dia adalah putra seorang guru dan lulusan Akademi Militer. Chavez meraih gelar insinyur tahun 1975 dan ia penggemar berat olahraga bisbol.

Setelah terpilih sebagai presiden tahun 1998, ia berkali-kali mengalami guncangan pemerintahan. Ia diancam dibunuh (2000). Tetapi, ia mendapatkan mandat enam tahun masa jabatan pada tahun tersebut guna melakukan reformasi politik.

Pada 14 November 2001, Presiden Hugo Chavez mengumumkan serangkaian tindakan yang bertujuan merangsang pertumbuhan ekonomi termasuk di antaranya mengundangkan Undang-undang Reformasi kepemilikan tanah yang menetapkan bagaimana pemerintah bisa mengambil alih lahan-lahan tidur, tanah milik swasta, serta mengundangkan Undang-undang Hidrokarbon yang menjanjikan royalti fleksibel bagi perusahaan-perusahaan yang mengiperasikan tambang minyak milik pemerintah.

Kebijakan ekonomi yang dinilai kontroversial terutama menyangkut Undang-undang Reformasi kepemilikan tanah, di antaranya memberi kekuasaan pada pemerintah untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan real estate yang luas dan tanah-tanah pertanian yang dianggap kurang produktif mengundang protes jutaan orang di ibukota, Caracas (11 Desember 2001). Selain, mata uang Bolivar jatuh terpuruk 25% terhadap dolar AS setelah pemerintah menghapuskan kontrol terhadap nilai tukar uang yang sudah dipertahankan lima tahun.

Bulan April 2002, sekitar 150.000 orang berunjuk rasa, yang dipelopori oleh Carlos Ortega dan Pedro Carmona, yang bertujuan untuk mendukung pemogokan dan protes minyak. Sementara pada waktu yang hampir bersamaan, ribuan pendukung Chavez berada di sekitar istana, menunjukkan kesetiaan mereka pada presiden yang terpilih dengan demokratis tersebut.

Secara sepihak, pihak oposisi yang melancarkan demo pemogokan tersebut tiba-tiba merubah rute yang sudah ditentukan, berputar ke arah istana sehingga kekhawatiran akan terjadinya bentrokan memacu protes dari walikota Caracas pada Carlos Ortega sebagai orang yang dianggap bertanggung-jawab pada demonstran yang dibawanya.

Bentrokan pun terjadi diantara dua massa besar tersebut, yang dicoba lerai oleh pihak keamanan. Namun di tengah bentrokan, suara-suara tembakan terdengar. Jelas sekali di kemudian hari, dari hasil dokumentasi dan pengumpulan informasi, diketahui ada penembak gelap yang bersembunyi.

Pada saat tersebut, nyaris dari 25% penduduk Venezuela memiliki pistol. Tidak terkecuali dengan mereka yang berada dalam demonstrasi besar tersebut. Tembakan-tembakan pun diarahkan, baik oleh pendukung Chavez maupun pihak oposisi yang tidak tahu apa-apa, ke arah tembakan dari penembak gelap. Namun dalam tayangan yang ditampilkan oleh televisi swasta yang sebagian besar dimiliki oleh pihak yang beroposisi pada Chavez, dikesankan seakan penembakan dilakukan oleh pendukung Chavez dengan brutal pada pihak demonstran oposisi.

Kejadian itu menelan korban 10 orang tewas dan 110 lainnya cedera. Presiden Chavez bukannya melarang aksi-aksi kekerasan tersebut diliput televisi, bahkan aksi-aksi tersebut dibesar-besarkan oleh pihak media yang anti dengan Chavez sebagai kesalahan dan tanggung-jawab Chavez. Meskipun pada kenyataannya mereka menyembunyikan fakta bahwa baik pendukung Chavez maupun oposisi, pada saat tersebut sama-sama menjadi sasaran penembak gelap. Pada saat itu, para perwira militer pembangkang mengharapkan Chavez mengundurkan diri.

Mengkudeta

Hugo Chavez Satu dekade sebelum melakukan kudeta, Hugo Chavez membentuk sebuah gerakan bersama kelompok perwira militer bernama Simon Bolivar (Bapak Kemerdekaan Amerika Latin). Kebijakan Presiden Carlos Andres Perez menaikkan harga bensin dan pengetatan pinggang yang menuai protes dari massa rakyat sepertinya tepat kalau “alat” itu segera digunakan. Terlebih, setelah memperhatikan kerusuhan selama tiga hari (27 Februari 1989). Ratusan orang tewas. Banyak jenazah tetap tak teridentifikasi dalam sebuah makam.

Seperti tak bisa ditunda lagi, Letkol Hugo Chavez memimpin sekitar 5.000 tentara untuk melakukan kudeta berdarah pada 4 Februari 1992 meskipun menuai kegagalan. Revolusi bulan Februari oleh Gerakan Revolusioner Bolivarian menelan korban jiwa 18 tewas serta 60 orang lainnya cedera. Chavez kemudian menyerahkan diri. Ia kemudian mendekam di penjara militer saat para koleganya berupaya kembali merebut kekuasaan sembilan bulan kemudian.

Percobaan kudeta kedua pada bulan September 1992 juga gagal. Hugo Chavez dikurung dua bulan penjara. Sewaktu di dalam penjara, ia membentuk partai bernama Gerakan Republik Ke-5 (Movement of the Fifth Republic) dan melakukan transisi dari militer ke politikus. Setelah para pembangkang sempat menguasai sebuah stasiun televisi serta sempat menyiarkan rekaman Chavez yang mengumumkan kejatuhan pemerintah berkuasa, ia dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun. Chavez kemudian mendapatkan pengampunan.

Di luar penjara, ia melansir partainya sebagai Gerakan Republik Kelima dan menjalani transisi dari dunia tentara ke dunia politikus.

Chavez yang memimpin koalisi Patriotic Pole berhaluan kiri secara jelas menegaskan, mengikuti jejak tokoh legendaris Argentina (Jenderal Juan Peron) yang dipandang sangat peduli pada kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan persamaan hak.

[sunting] 48 Jam yang Dramatis

Chávez di Brasil pada tahun 2003.Presiden Hugo Chavez mengundurkan diri di bawah tekanan pemimpin-pemimpin militer Venezuela pada pagi-pagi di hari Jumat waktu setempat tanggal 12 April 2002. Kudeta dramatis yang dilakukan militer terhadap presiden mengembangkan situasi dilematis. Beberapa jam setelah Chavez mundur, Pedro Carmona diangkat sebagai presiden sementara (interim). Tetapi, Jaksa Agung Venezuela (Isaias Rodriguez) menyatakan bahwa penunjukan presiden interim Pedro Carmona adalah inskontitusional dan menandaskan bahwa Presiden Venezuela tetap Hugo Chavez.

Menurut Jaksa Agung, pengunduran diri presiden baru resmi setelah diterima Kongres. Chavez mengundurkan diri di bawah tekanan pemimpin-pemimpin militer. “Tuan Presiden, dulu saya loyal habis-habisan. Akan tetapi, kematian banyak orang yang terjadi, tak bisa ditoleransi,” kata Jenderal Efraim Vazguez Velasco (Panglima Angkatan Bersenjata) dalam pidatonya di televisi nasional yang dikutip pers Indonesia.

Di tengah mengalirnya kritik internasional terhadap tindakan kudeta, militer menunjuk seorang ekonom bernama Pedro Carmona yang merupakan salah satu pimpinan kamar dagang. Saat pelantikan sebagai presiden interim, Carmona mengumumkan segera melakukan pemilihan presiden dalam setahun. Kongres juga dibubarkan karena sebagai pendukung Chavez. Dalam salah satu dekrit yang diumumkan pemerintahan sementara juga diungkapkan dibentuknya sebuah Dewan Konsultatif yang terdiri 35 anggota. Mereka mengemban tugas sebagai badan penasehat presiden republik.

Dekrit juga menetapkan, presiden interim akan mengkoordinasikan kebijakan pemerintahan transisi dan keputusan lain yang diperlukan guna menjamin kebijakan, dengan otoritas pemerintah pusat maupun daerah. Dekrit tersebut mengundang banyak kritikan. Presiden Meksiko Vicente Fox secara tegas menyatakan tidak mengakui pemerintahan baru Venezuela sampai dilaksanakan pemilu baru. Demikian juga dengan pemimpin-pemimpin Argentina dan Paraguay menyatakan, pemerintahan baru Venezuela tidak sah.

Sehari setelah Hugo Chavez digulingkan melalui kudeta militer dan digantikan Pedro Carmona atas inisiatif sebagian perwira militer, Chavez kembali dikukuhkan menjadi Presiden Venezuela (14 April 2002). Pedro Carmona yang hanya menduduki sebagai presiden interim selama sehari dipaksa mengumumkan pengunduran dirinya setelah Jaksa Agung menyatakan bahwa kudeta tidak sah.

Berhasilnya Chavez kembali ke tampuk pemerintahan antara lain disebabkan militer terpecah. Sebagian jenderal memang mendukung Carmona, tetapi sebagian besar prajurit dan perwira menengah loyal terhadap Chavez. Selain itu, di kalangan kelompok masyarakat miskin pun Chavez sangat populer sehingga ketika ia digulingkan ribuan orang melakukan unjuk rasa agar Chavez dikukuhkan kembali menjadi presiden. Dalam aksi yang diwarnai penjarahan tersebut, belasan orang tewas.

Hugo Chavez sempat ditahan di Pulau La Orchila oleh para pejabat senior militer dan terbang kembali ke Caracas dengan menggunakan helikopter serta dielu-elukan ribuan pendukungnya. Dengan mengepalkan tangan ke atas, Chavez memasuki Istana Kepresidenan Miraflores yang berhasil direbut kembali oleh pendukungnya. Sementara, Jaksa Agung menegaskan bahwa para menteri di bawah pemerintahan interim ditahan dan sejumlah petinggi militer juga diadili dengan tuduhan pembangkangan militer, termasuk pimpinan interim mereka yang seorang ekonom bernama Pedro Carmona.

Referendum 8 Agustus 2004 sebagai upaya menggulingkan Presiden Hugo Chaves oleh oposisi kembali dilakukan, tetapi masih dimenangkan oleh Hugo Chavez dengan 58 persen suara. Kemenangan tersebut membuat dirinya berhasil mengatasi salah satu tantangan terbesar dalam masa pemerintahannya dan menjadikannya sebagai sebuah mandat yang lebih besar untuk melanjutkan “revolusi bagi kaum miskin-“nya.

Pada pemilu legislatif pada Desember 2005, partai pimpinan Chavez berhasil menyapu bersih seluruh kursi parlemen setelah pihak oposisi memboikot pemilu tersebut.

Sabtu, 09 Mei 2009

Kisruh DPT Komnas HAM Desak Pemilu Khusus

Jumat, 08/05/2009 14:39 WIB
M. Rizal Maslan - detikPemilu

Jakarta - Diperkirakan, sekitar 20 juta rakyat tidak bisa mengikuti Pemilu Legislatif kemarin karena namanya tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Komnas HAM meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertanggung jawab dengan meminta KPU untuk menyelenggarakan pemilu khusus bagi warga yang tidak masuk dalam DPT.

"Presiden harus segera mengeluarkan Perpu untuk memulihkan hak konstitusi warga negara yang hilang haknya dan segera meminta maaf. Dengan perpu tersebut KPU segera memaksimalkan untuk melakukan pemilu khusus bagi warga yang kehilangan haknya," kata Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh.

Hal tersebut dia sampaikan saat jumpa pers usai bertemu dengan Tim Penyelidikan Penghilangan Hak Sipil Politik Warga Negara dalam Pileg 2009 di Kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Jakarta, Jumat (8/5/2009).

Komnas HAM, menurut Ridha, juga merekomendasikan kepada pemerintah dan DPR untuk mengamandemen UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, serta PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006. Perubahan itu harus diajukan untuk mengganti prinsip stelsel pasif aktif menjadi aktif aktif. "Komnas HAM Juga merekomendasikan, dalam perekrutan anggota KPU, persyaratan perekrutan harus diperbaiki," imbuh Ridha.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, pemilu khusus tersebut harus dibarengi dengan Pilpres 2009 sehingga tidak terlalu memberatkan kerja KPU.

"Pemilu ulang ini hanya kepada mereka yang tidak terdaftar dalam DPT karena ini sistemik. Rekomendasi kami juga dilihat secara khusus dalam satu kesatuan," kata Ifdhal Kasim.

"Rekomendasi kami ini harus dilihat secara khusus dalam satu kesatuan, termasuk memperbaiki UU, termasuk orang yang hilang haknya karena tidak masuk DPT karena tidak punya KTP. Jadi warga yang tak punya KTP bisa masuk," pungkas pria berkacamata tersebut.

( anw / iy )
http://pemilu.detiknews.com/read/2009/05/08/143905/1128380/700/komnas-ham-desak-pemilu-khusus

Komnas HAM Sinyalir Ada Penghilangan Hak Konstitusi Pemilih Secara Masif

Jumat, 08/05/2009 15:10 WIB
Jakarta - Banyak warga negara kehilangan hak pilihnya pada Pileg 9 April lalu karena buruknya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Komnas HAM pun menilai telah terjadi penghilangan hak konstitusi pemilih secara masif.

"Komnas HAM menyimpulkan telah terbukti secara meyakinkan bahwa telah terjadi penghilangan hak konstitusi pemilih dalam Pileg tanggal 9 April lalu secara masif," jelas Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim dalam keterangan kepada pers di kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (8/5/2009).

Dalam memberikan keterangan tersebut, Ifdhal didampingi Wakil Ketua Komnas HAM M Ridho Saleh, anggota Stanley Joseph Adi Prasetyo, dan Ketua Tim Penyelidik Penghilangan Hak Sipil Politik Warga Negara dalam Pileg 2009 Nur Kholis.

Dikatakan Ifdhal, pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM di lapangan telah menemukan 7 masalah terkait hilangnya kesempatan sejumlah warga negara untuk mendapatkan hak pilihnya. Pertama, adalah carut marutnya sistem administrasi kependudukan Depdagri. Kedua, tidak adanya wawasan tentang pemenuhan hak isipol (sipil politik) sebagai kewajiban negara oleh aparat pemerintah dan penyelenggara pemilu.

Ketiga yaitu tidak ada kebijakan khusus untuk sistem penganggaran pemilu. Keempat, ketidakmampuan KPU. Kelima, terlalu sentralistiknya kewenangan KPU pusat. Keenam, kelemahan organisasi eksekusi, dan ketujuh adalah lemahnya perangkat lembaga pengawasan pemilu.

"Artinya 25 sampai 40 persen warga kehilangan hak pilihnya secara sistemik," lanjut Ifdhal.

Ifdhal mengatakan, bahwa negara, khususnya Presiden, Depdagri, Departemen Keuangan, DPR dan KPU gagal menunaikan kewajiban institusionalnya untuk memastikan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

Kegagalan Pileg lalu disebutkan karena 3 faktor. Yakni kelemahan sistem administrasi kependudukan, kelemahan KPU dalam memperlakukan kebutuhan unik dan mendesak, serta wawasan KPU yang sangat memprihatinkan terkait soal penyesuaian anggaran dan target waktu.

Penghilangan hak konstitusi ini, kata Ifdhal, bisa dikatakan sebagai bentuk kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya dalam undang-undang. Dan negara juga dianggap tidak menjamim kelompok rentan yang seharusnya mendapat perhatian khusus, tetapi malah tidak difasilitasi seperti penyandang cacat, masyarakat terpencil, napi dan pasien rumah sakit.

( Rez / nrl )
http://pemilu.detiknews.com/read/2009/05/08/151010/1128399/700/komnas-ham-sinyalir-ada-penghilangan-hak-konstitusi-pemilih-secara-masif