Kamis, 30 Oktober 2008

Masinton dan Rakyat

Rangkuman Dialog Masinton dengan Rakyat

Kami menyajikan pointers rangkuman berbagai dialog Masinton dengan warga masyarakat yang dia kunjungi diberbagai titik di wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
Melalui jaringan pertemanan Masinton diperkenalkan kepada masyarakat, berkumpul secara guyub, lesehan dirumah atau pekarangan warga sambil minum kopi, air mineral, dan makan-makanan ringan. Tua-muda berbaur sambil ngobrol-ngobrol, saling berkenalan, dan saling bercanda hingga suasana cair dan terkesan informil. Biasanya guyub-guyub tersebut dihadiri tidak lebih dari dua puluh orang yang difasilitasi oleh warga setempat. Setelah suasana kondusif dan mencair, barulah Masinton menyampaikan paparannya dengan bahasa yang sederhana, dalam suasana rileks agar dengan mudah dipahami oleh warga yang mendengarkannya.

Seluruh keluh kesah, pesimisme, bahkan apriori warga dia dengarkan dengan seksama, dijawab dengan solusi kritis, dan Masinton menjelaskannya sebagai bentuk pendidikan politik yang mencerahkan rakyat.

  • Tentang Janji-janji Palsu

Warga : sekarang apa-apa mahal bang, dari tahun ke tahun janji kampanye cuma janji doang, kenyataannya setelah terpilih, mahal semua, apa-apa susah.

Masinton : Benar bang, sekarang semuanya serba mahal. Apalagi sejak pemerintahan SBY-JK menaikkan harga BBM, praktis beban rakyat semakin berat. Padahal janjinya sejak menaikkan BBM pada tahun 2005 yang lalu SBY ngomong ke publik bahwa dia tidak menaikkan harga BBM hingga akhir jabatannya. Tapi kenyataannya janji tinggal janji, langkah pemerintahan yang berpihak pada rakyat adalah tidak menaikkan BBM dalam situasi ekonomi masyarakatnya sedang sekarat. Artinya, kenaikan BBM tahun 2005 lalu sudah membuat ekonomi dan kehidupan rakyat jatuh terpuruk, dan dengan dinaikkannya lagi harga BBM tahun 2008 kemarin berarti SBY-JK menimpakan tangga kepada rakyatnya yang sedang jatuh. Akhir-akhir ini melalui media massa entah itu televisi, koran, dan radio kita dikejutkan dengan berita-berita tentang saudara-saudara kita yang bunuh diri karena himpitan ekonomi. Bahkan ironisnya lagi ada yang bunuh diri satu keluarga, ada anak busung lapar, kurang gizi, dan anak sekolah bunuh diri karena ekonomi orang tuanya tak sanggup membiayai kebutuhan sekolahnya.

Inilah salah satu bukti nyata betapa janji sorga para politisi, entah itu caleg maupun capres pada saat kampanye hanya berisi kibulan dan bohong-bohongan belaka.

Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, kini saatnya kita harus sadar, kita jangan lagi mau dikibuli oleh orang-orang yang berpikiran picik, apalagi saat-saat menjelang pemilu 2009 nanti. Jangan heran bang, saat-saat sekarang ini kita akan menyaksikan sandiwara para politisi atau caleg yang tiba-tiba menjadi sok sangat peduli, sok ikut prihatin dengan kondisi kesusahannya rakyat, sok baik hati, dan berbagai macam lakon kepura-puraan yang ditampilkan. Mereka-mereka yang selama ini hidup diatas menara gading, hidup dengan fasilitas berkecukupan, hidup mewah, dan tidak pernah merakyat akan menggunakan kekuatan uangnya untuk mengibuli bapak-bapak, ibu-ibu, dan abang-abang. Mereka-mereka itu tiba-tiba hadir bagaikan pahlawan kesiangan ditengah-tengah rakyat, karena mereka berharap dapat dukungan suara dengan memilih mereka pada saat pemilu nanti.

Begitupun dengan para caleg yang sekarang masih duduk di DPR ataupun bekas pejabat lainnya. Pada saat mereka duduk terpilih sebagai DPR-RI hasil pemilu 2004 kemarin, khususnya yang berasal dari daerah pemilihan DKI Jakarta, entah yang berasal dari partai apapun, tidak banyak yang mereka perbuat untuk kemajuan warga Jakarta khususnya dan rakyat Indonesia umumnya. Bahkan pada saat rumah-rumah warga digusur dan dibongkar paksa oleh trantib, wakil-wakil rakyat kita yang berasal dari daerah pemilihan DKI Jakarta yang saat ini duduk di DPR-RI semuanya diam. Tidak ada upaya memperjuangkan hak-hak rakyat, misalnya menekan pemda DKI agar menyediakan pemukiman yang layak sebelum digusur.

Kini dengan kekuatan uang yang mereka punya, mereka berharap warga Jakarta akan memilih mereka kembali.

Inilah yang saya katakan sebagai bentuk kepicikan terhadap rakyat. Kita tidak boleh terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama. Jangan mau harapan-harapan kita ditukar dengan uang, atau sembako, apalagi janji-janji palsu.


  • Tentang Harapan

Warga : kalau kita ngobrol sama warga sekitar kita nih bang, banyak warga yang ngomong ”mending golput aja deh, sama aja milih gak milih, nasib kita gak bakal berubah, malah tambah susah”. Dan parahnya lagi nih bang, banyak yang ngomong ”milih yang ada duitnya aja deh”.


Masinton : Terima kasih bang. Cara pandang warga tidak bisa disalahkan, wajar aja pandangan tersebut muncul dalam masyarakat kita. Karena selama ini yang dirasakan oleh rakyat Indonesia tidak ada perubahan apapun selain kehidupan yang semakin sulit dan susah. Sudah berbagai priode pemilu dilalui tapi rakyat merasa tidak diperjuangkan. Para politisi yang duduk di legislatif seperti DPRD maupun DPR-RI, presiden ataupun gubernur setelah terpilih kemudian meninggalkan rakyat yang sudah memilihnya. Bahkan para pejabat ataupun penyelenggara negara yang duduk karena dipilih oleh rakyat malah melakukan tindakan tidak terpuji, seperti terlibat korupsi, suap, main perempuan, dan lain sebagainya. Hanya sedikit dari mereka yang mau mengabdikan dirinya untuk membangun harapan rakyatnya, sebagian besar dari mereka hanya mengabdi pada diri pribadinya, bahkan memperkaya diri dengan cara-cara curang.

Ketika politik tidak lagi mendatangkan harapan bagi rakyat, maka wajar kalau rakyat mengekspresikan kekecewaannya.

Saran saya jangan golput dalam pemilu 2009 nanti. Golput menjadi sah ketika tidak ada pilihan, namun dengan sistem pemilu 2009 nanti yang berbeda dengan sistem pemilu sebelumnya, sebaiknya rakyat menggunakan hak pilihnya. Karena sistem pemilu 2009 membolehkan pemilih untuk memilih calon legislatif secara langsung, artinya pemilih ataupun rakyat Indonesia tidak lagi sekedar disuguhkan ”kucing kurap dalam karung” oleh parpol. Undang-undang pemilu nomor 10 tahun 2008 memungkinkan calon yang berada pada nomor urut paling bawah terpilih duduk di parlemen, bila perolehan suaranya melampaui nomor urut diatasnya seperti yang diatur oleh undang-undang sebanyak 30 persen suara dari bilangan pembagi pemilih atau BPP, kalau dalam peraturan internal PDI Perjuangan sebanyak 15 persen suara dari bilangan pembagi pemilih. Misalnya BPP untuk satu kursi DPR-RI sejumlah 250.000 suara, maka saya sebagai caleg DPR-RI dari PDI Perjuangan yang berada dinomor urut paling bawah atau nomor 10 bisa memperoleh satu kursi DPR-RI, jika saya mencapai suara terbanyak sampai 30 persen dari BPP atau kira-kira sejumlah 75.000 suara yang memilih dengan mencontreng nama saya seperti yang diatur oleh undang-undang. Atau minimal memperoleh 15 persen suara atau 37.500 suara seperti aturan internal partai saya PDI Perjuangan.

Pilihan adalah harapan, artinya jangan pernah menitipkan harapan kepada orang-orang yang terbukti tidak memiliki komitmen kerakyatan, jangan pernah memberikan pilihan kepada orang-orang yang terindikasi terlibat praktek korupsi dan suap, jangan pernah memberikan pilihan kepada orang-orang culas dan berpikiran picik yang merendahkan rakyat.

Jangan mau harapan-harapan bapak, ibu, serta saudara-saudara sekalian dipertukarkan dengan iming-iming sembako, uang, apalagi janji-janji palsu. Kalau ada orang memberikan usahakan untuk ditolak, kalaupun akhirnya diterima, jangan sekali-kali memilihnya. Karena itu adalah bentuk politik transaksi yang mereka lakukan kepada rakyat, dan orang-orang yang bermentalitas culas begini biasanya setelah terpilih dan duduk di parlemen, mereka akan melakukan politik transaksi yang lebih besar. Artinya harapan-harapan perubahan yang lebih baik buat rakyat yang bapak, ibu, dan saudara titipkan kepada orang yang tidak tepat, dan harapan tersebut akan dipertukarkannya menjadi rupiah dalam jumlah besar untuk menambah pundi-pundi kekayaannya sekaligus mengembalikan modalnya saat kampanye, dan selanjutnya mereka tak akan pernah berani kritis memperjuangkan hak-hak rakyat.

Mengenali orang-orang yang sejatinya tidak memiliki komitmen terhadap rakyat akan mudah kita kenali asal kita jeli. Hal standar yang mereka lakukan pada saat mendatangi rakyat adalah mereka datang dengan janji kecap, akan begini dan akan begitu bila nanti terpilih. Berpura-pura sok baik, sok peduli, apapun mereka akan berikan karena mereka berharap dipilih, padahal sejatinya mereka sebelumnya tidak pernah membangun komunikasi kepada rakyat apalagi rakyat kecil.

Saya mengajak masyarakat untuk mengetahui latar belakang, sepak terjang ataupun jejak rekam sang calon selama ini. karena dengan mengenali latar belakang dan kiprahnya sang calon, kita akan mengetahui sejatinya orang tersebut, memiliki komitmen perjuangan dengan rakyat atau hanya sekedar mengibuli rakyat. Karena dengan mengetahui sepak terjangnya selama ini kita akan tahu bahwa sang calon tersebut sudah berbuat apa saja buat kemajuan rakyat dan negaranya. Kiprah dan sepak terjang sang calon haruslah diperkuat dengan bukti yang pernah dia lakukan selama ini, bukan dengan janji akan begini-akan begitu bila terpilih nanti.


Lanjutan pointers rangkuman dialog Masinton dan Rakyat akan kami sajikan dalam edisi berikutnya.

disunting oleh: tim media "Masinton-10"

Rabu, 29 Oktober 2008

Raih Suara, Bangun Harapan

Catatan perjalanan Masinton keluar masuk gang-gang sempit, dari rumah ke rumah menemui warga.

Sistem pemilu 2009 yang berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya, membuat para kader partai yang mendapat kesempatan mencalonkan diri mengikuti kontestasi penacalegan semuanya mendapatkan kesempatan untuk meraih kursi seperti yang diamanatkan dalam UU no.10 (30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih/BPP), aturan internal partai (PDI Perjuangan) 15 persen dari BPP.

Begitupun dengan Masinton Pasaribu, SH sejak namanya masuk dalam DCS (Daftar Calon Sementara) untuk DPR-RI dari PDI Perjuangan langsung melakukan konsolidasi bersama teman-teman aktivis pergerakan mahasiswa seangkatannya yang memperjuangkan reformasi tahun 1998, khususnya kawan-kawannya saat di
Famred (Front Aktivis Mahasiswa Reformasi dan Demokrasi), serta Repdem Jakarta.
Awalnya pada saat pra DCS, oleh partai, Masinton ditaruh di daerah pemilihan DKI-I atau Jakarta Timur. Oleh teman-teman dibentuklah tim untuk pemenangan Masinton yang disepakati bernama Mas-Tim yang artinya "Masinton dari Jakarta Timur".

Mapping
atau pemetaan wilayah dan potensi jaringan yang ada di wilayah Jakarta Timur coba digarap untuk mensosialisasikan Masinton sebagai caleg DPR RI yang layak untuk didukung oleh masyarakat.
Walaupun DCS belum diumumkan secara resmi oleh KPU, namun Masinton dan kawan-kawan "Mas-Tim"nya sudah langsung bergerak sosialisasi sekaligus memabangun infrastruktur pemenangannya di basis-basis masyarakat.
Pada saat Masinton mengikuti acara berbuka puasa yang diselenggarakan oleh pengurus partai tingkat PAC di Kecamatan Ciracas, Masinton dibisiki oleh Ketua Plh DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta bahwa dapilnya dipindah ke Dapil DKI-III yang meliputi wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu.

Sambil menunggu KPU mengumumkan daftar DCS dan DCT untuk DPR-RI, Masinton dan rekan-rekannya segera melakukan pemetaan di wilayah Dapil DKI-III, menyiapkan infrastruktur pemenangan seperti jaringan pemilih, fundrising, dan strategi pemenangan.
Berbekal kartu nama dan stiker tiap hari dan tiap malam Masinton dan kawan-kawannya mendatangi masyarakat di berbagai wilayah di Jakarta Barat maupun Jakarta Utara. Keluar masuk gang-gang sempit, keluar masuk rumah-rumah warga, dia mendatangi warga dan bercerita tentang pencalonannya, memberitahukan komitmen dan konsistensi perjuangannya yang selama ini telah dilakukan sejak semasa mahasiswa sampai dengan sekarang di PDI Perjuangan.
Masinton mengajak tiap-tiap warga maupun komunitas yang dia datangi untuk menjadikan pemilu 2009 sebagai momentum perjuangan bersama melahirkan legislatif yang berpihak pada kepentingan rakyat, tidak korupsi, dan mampu melakukan perubahan untuk kesejahteraan rakyat.
Tidak sedikit warga yang didatangi mengaku pesimis bahkan apriori dengan partai politik dan caleg-calegnya yang dianggap hanya bisa memberi janji-janji palsu, dan setelah terpilih melupakan rakyat, memperkaya diri sendiri dengan uang dan harta hasil korupsi, berbuat asusila, dan berbagai macam prilaku curang lainnya.

Kesinisan warga masyarakat tentang politik dan pejabat publik sebagai penyelenggara negara ditanggapi dengan sabar oleh Masinton, bahkan dengan runut Masinton memberikan penjelasan sambil melakukan kritikan yang sama seperti yang dikeluhkan masyarakat. Lantas dia memberikan tawaran ide dan solusi alternatif yang visioner, Masinton selalu tekankan kepada masyarakat bahwa "
Politik harus mendatangkan harapan, politik harus mendatangkan perubahan dan kesejahteraan buat masyarakat". Karena Pilihan adalah Harapan, Masinton mengajak masyarakat untuk menetapkan pilihannya kepada orang yang benar dan tepat pada pemilu 2009 nanti, mengajak masyarakat mengetahui track record (jejak rekam) masing-masing calon, dan menyerukan kepada masyarkat untuk tidak memilih para politisi ataupun caleg bermasalah (busuk, korup, tidak merakyat) serta tidak memilih orang-orang yang tidak memiliki komitmen nasionalisme, demokrasi, dan kerakyatan.

Dengan pendekatan ala Masinton yang bersahaja, bersahabat, dan merakyat. Masyarakat dapat menggali secara dekat komitmen dan harapan-harapan yang sedang dia perjuangkan selama ini.
Setelah mengetahui komitmen dan harapan yang sedang dia bangun, tiap masyarakat yang dia datangi mengapresiasi Masinton dengan sukarela menjadi bagian perjuangan pemenangan Masinton di wilayahnya, bahkan masyarakat tersebut secara berantai mengenalkan Masinton ke jaringan-jaringannya di wilayah yang berbeda.
"Perjuangan ini harus kita lakukan secara sadar dan secara bersama-sama, inilah saatnya kita rakyat kecil bangkit, karena pencalonan saya adalah bukan semata-mata karena jabatan, tapi sebagai pengabdian melanjutkan perjuangan untuk perubahan pro rakyat yang selama ini telah kami lakukan dari luar parlemen" ujar Masinton meyakinkan masyarakat.

Sejak pengumuman DCS hingga saat ini sudah puluhan titik yang didatangi Masinton di wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Dengan bekal tekad, semangat, dan keyakinan siang dan malam dia sisihkan waktu keliling di wilayah dapilnya, menemui masyarakat. Praktis dia tidak menggunakan struktur partai dalam melakukan sosialisasi dan perkenalannya dengan masyarakat pemilih. "aku memang sengaja tidak menggunakan struktur partai, karena menurut saya struktur seperti anak ranting, ranting, PAC, dan DPC agar difokuskan pada kerja-kerja penggalangan massa rakyat, menciptakan opini positif demi memenangkan partai dan Megawati sebagai capres dalam pemilu 2009 nanti" tandas Masinton.

Komitmen Masinton memperjuangkan hak rakyat kecil yang selama ini dia perjuangkan tampak pada saat dia tengah malam dia dihubungi Pak Aam seorang RT di wilayah Pesing, Kedoya Jakarta Barat yang warganya membutuhkan perawatan di rumah sakit, setelah ditolak dari RSUD Cengkareng, Masinton menyarankan supaya malam itu warga yang sedang sakit tersebut dibawa ke RSCM. Tengah malam Masinton menunggu di RSCM, sesampai di RSCM pihak dokter menolak dengan alasan klise, tidak ada ruang perawatan karena penuh. Masinton kemudian membawa pasien ke RSUD Duren Sawit untuk mendapatkan ruang rawat inap. Setelah melalui pembicaraan secara alot dengan petugas RSUD hingga pagi pengurusannya, pasien bisa mendapatkan ruang inap perawatan tanpa biaya.
Innalillahi wainallillahi, besok sorenya warga yang sakit tersebut akhirnya menghembuskan nafas terkhir di RSUD Duren sawit.
Masinton menyiapkan ambulans yang dia pinjam dari PDI Perjuangan Jakarta Timur mengantar jenazah ke rumah keluarganya di Pesing, Kedoya. Sebagai ciri khasnya Masinton selalu menampakkan keikhlasannya membantu warga.
"Aku senang bisa berbuat sesuatu membantu rakyat kecil, karena aku pernah mengalami betapa susahnya jadi rakyat kecil yang gak punya apa-apa, bahkan selalu dipandang remeh" ungkap Masinton dengan polos.

Dengan spirit membangun tradisi politik baru, membangkitkan harapan rakyat dan harapan Indonesia. Nomor urut 10 atau paling bontot tidak menyurutkan langkah perjuangan Masinton melakukan penggalangan pemilih,
"Kepercayaan dari partai yang memberikan kesempatan kepada saya sebagai caleg DPR-RI harus saya jawab dengan kerja keras dan sungguh-sungguh menggalang pemilih yang dapat saya kontribusikan untuk pemenangan partai dan Megawati" ujar Masinton dengan tegas.

Mudah-mudahan kerja keras dengan target suara sebanyak mungkin dapat mengantarkan Masinton ke Parlemen 2009, semoga ya Ton.

oleh : Tim Pemenangan "masinton-10"

Rabu, 22 Oktober 2008

Kekuatan Parpol pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti

Herbert Feith bisa disebut sebagai ”Bapak Studi Politik Indonesia Modern”.

Buku klasiknya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menelurkan banyak konsep, dari tipe kepemimpinan administrator dan solidarity maker, ”politik aliran,” pembagian ideologi parpol pada 1950-an, sampai ”demokrasi konstitusional” (berbasis konstitusi dan konstitusionalisme). Feith juga mewariskan model kajian pemilu, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.

Memperingati 10 tahun reformasi, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), The Habibie Center, dan The Herb Feith Foundation mengadakan seminar, 21-22 Mei 2008, bertema ”The Rise of Constitutional Democracy in Indonesia,” kebalikan judul buku almarhum. Ini pertanda, roh demokrasi konstitusional yang terkubur sejak tahun 1959 bangkit kembali sejak 1998.

Tipologi parpol

Feith membagi tipologi parpol di Indonesia atas dasar ideologi politik. Paling kiri dianut Partai Komunis Indonesia), agak ke tengah (komunis nasionalis) Partai Murba, ke kanan (sosial demokrat) Partai Sosialis Indonesia (PSI), di tengah ada nasionalisme kerakyatan Partai Nasional Indonesia (PNI), agak ke kanan ada partai-partai Islam modern (Masyumi dan Persis), tradisional (NU), dan yang bertipe solidarity maker bercampur traders (PSII).

Ada juga partai-partai nasionalis kecil, seperti PIR (Partai Persatuan Indonesia Raya), Parindra (Partai Indonesia Raya), PNI-Merdeka, SKI (Sarekat Kerakyatan Indonesia), Partai Buruh dan lainnya. Dua partai beraliran Kristen, Parkindo dan Partai Katholik, tidak dikategorikan partai agama, karena Kristianitas dan nasionalisme berbaur hanya untuk menunjukkan eksistensi kaum minoritas.

Dari peta dukungan politik, juga tampil gambaran yang jelas. PNI didukung priayi Jawa dan Bali. Masyumi didukung individu dan organisasi Islam (Muhammadiyah, NU, Persis), entrepreneurs, politisi berpendidikan tradisional Islam dan Barat, berbasis di pedesaan dan perkotaan Jawa, Sumbar, sebagian Kalimantan.

Basis NU setelah keluar dari Masyumi adalah Islam tradisional sinkretis, khususnya di Jawa, Kalimantan, Sulsel. Partai Murba didukung para mantan gerilya, buruh kerah putih tingkat rendah yang tidak terakomodasi politik mereka di PNI, PKI, atau PSI. PKI basisnya petani dan buruh di Sumatera dan Jawa. PSI adalah kumpulan sosial demokrat berpendidikan Barat karena itu faham sosialisme bercampur liberalisme dan kapitalisme Barat. PSII berbasis pedagang di Jawa dan Sumatera yang ingin eksis menandingi pedagang China.

Peta kekuatan politik 2009

Meski zaman telah berganti, dengan modifikasi dan minus komunisme, tipologi parpol Herb Feith tampaknya masih sahih. Indonesia belum beranjak dari sistem multipartai yang mencontoh Belanda atau Eropa Kontinental 1940-an. Rencana sistem partai tunggal era Soekarno, atau tiga partai di era Soeharto—PDI-Golkar-PPP—semua gagal.

Menjelang Pemilu 2009, tipologi partai mirip 1950-an. Misalnya, Sosialis kiri (Partai Buruh); sosial demokrat dianut Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB); nasionalis kerakyatan (PDI-P, PDP, PNI Massa Marhaen, PNBKI); nasionalis borjuis (Golkar, Hanura, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Barnas); Islam modernis (PAN, PMB, PKS, PBB dan separuh PPP); Islam dan Sosialis (PBR); Islam tradisionalis (PKB, PNU; separuh PPP plus partai beraliran NU); partai-partai kecil beraliran campuran, sosialisme dan nasionalisme.

Dari sisi kepemimpinan, ada yang menerapkan gaya demokratik egalitarian, aristokrasi Jawa (ada Dewan Pembina); saudagar besar atau eceran (partai ibarat perusahaan); fasis militeristik (gaya komando); tradisional/modern agamis, atau asas kekeluargaan. Namun, hampir semua tokoh parpol bertipe kepemimpinan solidarity maker, ketimbang administrator.

Dari sisi platform ekonomi, ada yang berbasis ekonomi pasar, ekonomi kerakyatan, atau ekonomi syariah. Hampir semua partai nasionalis—PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerinda, Partai Hanura, Partai Barnas—mengampanyekan ekonomi kerakyatan. Namun, partai mana yang menerapkan ekonomi kerakyatan dan kapitalistik, neoliberal dan tunduk pada ekonomi pasar, rakyatlah yang menilai. Tak ada satu partai Islam berani mengembangkan ekonomi syariah. Keuangan dan perbankan syariah yang kini berkembang tak beda jauh dengan perbankan umum. Anehnya, justru lembaga keuangan umum (asing dan nasional) lebih sukses menerapkan ekonomi syariah.

Dari platform bangunan masyarakat sipil Indonesia, semua parpol mendukung pluralisme dan multikulturalisme. Jika pun ada yang coba menerapkan homogenisme atau eksklusivisme agama, tidak akan laku pada tataran elite atau massa. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mendukung negara kebangsaan dan multikulturalisme.

Pengelolaan partai

Dari peta basis massa, partai berbasis nasionalis kerakyatan dan borjuis akan bertarung di antara sesamanya, juga yang berbasis Islam tradisionalis/modern. Untuk merambah massa berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan nasionalis mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah nasionalis. PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Hanya PBB yang secara ”jantan” mengampanyekan Syariat Islam. Semua pergeseran itu akan membawa konsekuensi politik para pendukung tradisionalnya.

Pemilu legislatif pada 9 April 2009 menjadi medan pertarungan demokratik yang menentukan, partai mana akan secara permanen terhapus dari peta politik Indonesia dan mana yang berjaya. Hanya partai-partai yang dikelola secara serius akan kian berjaya pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI


Ikrar Nusa Bhakti

PDI-P Siap Memenangi Pemilu Legislatif

Dhoni Setiawan
Pramono Anung, Sekjen DPP PDI Perjuangan.

JAKARTA, RABU — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menggelar rapat koordinasi nasional Badan Pemenangan (BP) Pemilu di Hotel Haris, Jakarta, Rabu (22/10).

Pada kegiatan itu terlihat hadir Sekjen PDI-P Pramono Anung dan Ketua Dewan Penasihat PDI-P Taufik Kiemas. Menurut Pramono Anung, rapat koordinasi itu bertujuan untuk menyamakan isu, persepsi, dan program Badan Pemenangan Pemilu dari pusat hingga cabang. "Ini merupakan persiapan untuk memenagi pemilu legislatif 2009," ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pada tahun sebelumnya BP Pemilu PDI-P tidak mempunyai program riil sehingga menyebabkan kekalahan PDI-P dalam pemilu legislatif. "Kita belajar dari kekalahan tahun lalu, di mana kita tidak memiliki program riil sehingga saat ini kita telah merencanakan berbagai program riil yang di-maintance sejak awal untuk memenangi pemilu legislatif," tuturnya.


KP (kompas.com)

Senin, 20 Oktober 2008

Parpol Gencar Calegkan Artis, Bentuk Irasionalitas Politik

Perekrutan artis oleh banyak partai politik demi mendongkrak popularitas partai dinilai sebagai suatu tindakan irasional. Indikasi gejala irasional politik untuk pemilu tahun 2009 pun dinilai meningkat dibanding pemilu sebelumnya.

Hal ini disampaikan Direktur Reform Insitute Yudi Latif dalam Dialektika Demokrasi bertajuk Caleg Muda Mendongkrak Suara Partai di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (12/9/2008).

"Kalau dulu (Pemilu 2004) banyak perekrutan caleg yang tidak bermutu karena persiapan partai politik itu sedikit. Kalau sekarang ada kesengajaan partai untuk mengabaikan mutu untuk memenangkan suara. Asal populer," ujar dosen Universitas Paramadina ini.

Dalam kesempatan itu, Yudi juga mengkritik pelatihan khusus yang dilakukan partai politik untuk membekali caleg artisnya menjadi wakil rakyat.

"Ada training khusus untuk caleg artis. Bagaimana bisa calon wakil rakyat ditraining untuk hal-hal yang elementer," tegasnya.

"Tentu tidak semua artis yang tidak mempunyai kualitas, tapi kalau partai sudah merekrut 28 artis, apa jadinya?" pungkasnya.(lrn/irw)

Sumber: detikNews (Laurencius Simanjuntak)

Rabu, 15 Oktober 2008

Indonesia Untuk Semua

Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!
( Soekarno, Pidato di Surabaya, 24 September 1955 )

Pidato Bung Karno di Kongres GMNI


Lenyapkan Sterilitiet Dalam Gerakan Mahasiswa
PIDATO TERTULIS PYM PRESIDEN SUKARNO PADA KONFERENSI BESAR GMNI DI KALIURANG JOGJAKARTA, 17 FEBRUARI 1959.

Terlebih dahulu saya mengucapkan selamat dengan Konferensi Besar GMNI ini.
Dengan gembira saya membaca, bahwa asas tujuan GMNI adalah Marhaenisme. Apa sebab saya gembira?
Tidak lain dan tidak bukan, karena lebih dari 30 tahun yang lalu saya juga pernah memimpin suatu gerakan rakyat -suatu partai politik- yang asasnya pun adalah Marhaenisme.
Bagi saya asas Marhaenisme adalah suatu asas yang paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia. Rumusannya adalah sebagai berikut: Marhaenisme adalah asas, yang menghendaki susunan masyarakat dan Negara yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen. Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya. Marhaenisme adalah dus asas dan cara perjuangan "tegelijk", menuju kepada hilangnya kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme. Secara positif, maka Marhaenisme saya namakan juga sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi; karena nasionalismenya kaum Marhaen adalah nasionalisme yang social bewust dan karena demokrasinya kaum Marhaen adalah demokrasi yang social bewust pula.
Dan siapakah yang saya namakan kaum Marhaen itu? Yang saya namakan Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat: yang telah dimelaratkan oleh setiap kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme.
Kaum Marhaen ini terdiri dari tiga unsur: Pertama : Unsur kaum proletar Indonesia (buruh) Kedua : Unsur kaum tani melarat Indonesia, dan Ketiga : kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
Dan siapakah yang saya maksud dengan kaum Marhaenis? Kaum Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap patriot Bangsa. Yang mengorganisir berjuta-juta kaum Marhaen itu, dan Yang bersama-sama dengan tenaga massa Marhaen itu hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imprealisme, kolonialisme, dan Yang bersama-sama dengan massa Marhaen itu membanting tulang untuk membangun Negara dan masyarakat, yang kuat, bahagia sentosa, adil dan makmur.
Pokoknya ialah, bahwa Marhaenis adalah setiap orang yang menjalankan Marhaenisme seperti yang saya jelaskan di atas tadi. Camkan benar-benar: setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama kaum Marhaen!
Apa sebab pengertian tentang Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu saya kemukakan kepada Konferensi Besar GMNI dewasa ini?
Karena saya tahu, bahwa dewasa ini ada banyak kesimpangsiuran tentang tafsir pengertian kata-kata Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu.
Saya harapkan mudah-mudahan kata sambutan saya ini saudara camkan dengan sungguh-sungguh, dan saudara praktikkan sebaik-baiknya, tidak hanya dalam lingkungan dunia kecil mahasiswa, tetapi juga di dunia besar daripada massa Marhaen.
Sebab tanpa massa Marhaen, maka gerakanmu akan menjadi steril! Karena itu:
Lenyapkan sterilitiet dalam Gerakan Mahasiswa! Nyalakan terus obor kesetiaan terhadap kaum Marhaen! Agar semangat Marhaenisme bernyala-nyala murni! Dan agar yang tidak murni terbakar mati!
Sekian dulu, dan sekali lagi saya ucapkan selamat kepada Konferensi Besar GMNI, dan mudah-mudahan berhasillah Konferensi Besar ini.
Jakarta, 17 Februari 1959
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/ PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
SUKARNO BAPAK MARHAENISME
sumber: http://marhaenis.org

Narsisme Politisi

2 September 2008 [Politik]

[Kedaulatan Rakyat, 2/9/2008]

Indonesia adalah sebuah negeri spanduk dan baliho. Itu barangkali sudah kita anggap lazim karena sudah berlangsung lama, sehingga mata kita terbiasa menatap jalanan yang hiruk-pikuk oleh spanduk dan baliho warna-warni. Jika diandingkan dengan suasana di negara lain — tak usah jauh-jauh, Malaysia atau Singapura misalnya — jalan raya kita memang sangatlah meriah. Baliho iklan, papan pengumuman, spanduk penuh jargon, dan semacamnya, adalah penghias yang membuat jalan raya kita tampak penuh sesak.

Spanduk-spanduk itu kerap mengundang senyum. Misalnya, tiap kali mudik dan keluar dari Bandara Juanda di Surabaya, saya sering melihat spanduk besar milik Polda Jatim, berisikan seruan (atau komitmen?) untuk memerangi narkoba. Spanduk semacam ini rada menggelikan, sebab siapapun tahu bahwa narkoba tak akan bisa dibasmi dengan spanduk, melainkan dengan membabat para pengedar yang sebagian dibekingi oleh aparat keamanan sendiri.

Belakangan di banyak daerah, kemeriahan jalan raya itu masih ditambah dengan baliho besar berpampangkan foto-foto para pejabat politik. Teknologi digital dan percetakan telah sangat memungkinkan setiap orang untuk membuat baliho dengan foto diri berukuran cukup besar, dengan biaya yang meski cukup mahal namun bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki cukup anggaran. Para pejabat daerah (bupati, gubernur, sekda), atau mereka yang sedang mengincar posisi-posisi publik baik sebagai anggota legislatif dalam pemilu mendatang, presiden RI tahun 2009, atau kepala daerah dalam pilkada, berlomba-lomba unjuk diri lewat baliho berpampangkan foto mereka, disertai kalimat-kalimat jargonis yang — seperti biasa — kerap minim makna.

Tujuan utama baliho semacam ini sangat jelas: mengenalkan para pejabat publik, atau mereka yang mengincar jabatan publik, kepada masyarakat yang telah atau akan menjadi target konstituen mereka. Oleh karena itu, terpampangnya wajah para tokoh ini jauh lebih penting ketimbang pesan ideologis atau program untuk disampaikan pada masyarakat.

Apa sajakah implikasi fenomena ini? Ada beberapa hal. Pertama, membanjirnya baliho dengan foto besar para tokoh ini sangat mungkin mengindikasikan masih jauhnya langkah untuk membangun sistem politik yang terstruktur dan impersonal. Pola komunikasi politik yang dibangun lewat baliho-baliho bergambar itu sangat jelas memampangkan politik yang masih belum beranjak dari mekanisme personal, dimana pribadi seorang tokoh lebih dipentingkan ketimbang visi dan programnya.

Baliho-baliho ini tanpa ragu berpijak pada misi utama untuk menonjolkan bentuk fisik seorang tokoh, serta penjejalan sosok sang tokoh ke dalam memori masyarakat luas. Tentu saja, para politisi ini belajar dari pengalaman pemilu, pilpres dan pilkada sebelumnya, dimana kerapkali kebagusan dan kecantikan tampang seorang tokoh jauh lebih menentukan kemenangannya ketimbang faktor-faktor lain. Dengan kata lain, baliho-baliho narsistik ini mengindikasikan masih belum matangnya perilaku politik para kandidat dan para pemilih.

Kedua, baliho-baliho jual tampang itu menambah lagi variabel yang menyebabkan mahalnya prosedur demokrasi di negeri tercinta. Prosedur-prosedur demokrasi yang kita pilih semenjak tahun 1998 memang membuka peluang partisipasi politik yang kian luas dan transparan. Sayangnya, prosedur-prosedur tersebut juga berbiaya sangat tinggi.

Pilpres secara langsung misalnya, jelas-jelas menguras anggaran negara secara luar biasa signifkan. Pilkada langsung juga demikian halnya. Dalam satu pemilihan bupati/walikota oleh DPRD misalnya, sebuah kabupaten mengeluarkan biaya sekian ratus juta rupiah. Tentu saja ini biaya formal yang belum termasuk anggaran para calon untuk urusan money politics. Biaya formal ini telah membengkak hingga puluhan kali lipat ketika rakyat memilih bupati/walikotanya secara langsung. Kita tentu sangat paham bahwa biaya pemilihan gubernur secara langsung di propinsi seperti Jabar dan Jatim menelan biaya ratusan milyar rupiah. Jika harus terjadi pemilihan putaran kedua seperti di Jatim, biayanya juga kian membengkak.

Sekali lagi, itu baru biaya formal yang terkait dengan logistik pilkada langsung. Biaya lain yang juga sangat besar terkait dengan upaya peraupan suara oleh para politisi dan calon politisi. Tingginya biaya kampanye mereka, baik yang resmi maupun yang tidak resmi, bisa mengundang decak heran yang tak ada habisnya. Salah satu yang menyumbang pada pembengkakan biaya peraupan suara itu adalah narsisme para politisi dan tokoh yang kini berlomba-lomba memasang tampang di baliho-baliho di jalan raya. Akan kian runyam kalau kita amati bahwa sangat boleh jadi, sebagian biaya baliho itu dibebankan pada anggaran negara. Para politisi yang tengah menjabat kerap muncul di balik unjuk prestasi pembangunan daerah, yang ditampilkan dengan foto mereka secara sangat dominan. Anggaran dinas telah digunakan untuk ditumpangi dengan tujuan-tujuan narsistik para politisi.

Kini, bukankah sudah waktunya bagi kita untuk memikirkan prosedur demokrasi yang lebih ramah anggaran?

Wallahu a’lam bissawab.

http://agkarim.staff.ugm.ac.id/2008/09/02/narsisme-politisi/

Senin , 22 September 2008 , 16:02:12 wib Bambang Hendarso Dapat Pertanyaan Soal Rizal Ramli

JAKARTA, TRIBUN - Salah satu topik pertanyaan yang diajukan kepada calon Kapolri, Komjen Bambang Hendarso Danuri tak lain terkait rencana penetapan mantan menteri perekonomian Rizal Ramli sebagai tersangka dalam aksi anarkis penolakan kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Termasuk, dugaan munculnya kasus ini menjadi pesanan penguasa sekarang.

Pertanyaan ini diungkapkan oleh salah seorang anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan Yasoa Laoli dalam fit and profer test calon Kapolri Bambang Hendarso di DPR, Senin (22/9)

Laoly menegaskan, Polri adalah alat negara, bukan alat kekuasaan. "Rencana penetapan Rizal Ramli sebagai tersangka menimbulkan kekhawatiran kami (PDIP), Polri akan dipergunakan penguasa untuk membungkam pihak-pihak yang kritis. Kami meminta independensi Polri terus dijaga," ujar Laoli dikutip Persda Network.

Laoli juga mempertanyakan terkait beberapa persoalan salah tangkap yang kerap terjadi. Tindakan tersebut, jelas Laoli, bertentangan dengan HAM apalagi orang yang tidak bersalah sampai dipenjarakan.

Saat memberikan penjelaskan calon Kapolri Komjen Polisi Bambang Hendrso Danuri menguraikan, masalah Rizal Ramli bermula dari demonstrasi menolak kenaikan harga BBM, yang kemudian berubah menjadi tindakan anarkis.

Kemudian dalam penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian, Polri akhirnya menangkap FY (Ferry Yuliantono) dan berkasnya sudah dilimpahkan ke pengadilan.

"Jika dalam perkembangannya ada tersangka baru, siapa saja bisa diambil tindakan hukum. Tetapi kami tegaskan bahwa tidak ada pesanan dari pemegang kekuasaan dan kami hanya mencari penegakan hukum," tandas Bambang Hendarso.

Sementara itu, salah seorang aktivis REPDEM Masinton Pasaribu mempertanyakan rencana Polri yang akan menjadikan Rizal Ramli sebagai tersangka dalam kasus kerusuhan penolakan harga BBM di depan DPR belum lama ini.

"Rencana penetapan Rizal Ramli sebagai tersangka dalam unjuk ras menilak kenaikan harga BBM adalah menampakkan bagwa sejatinya pemerintahan sekarang ini sama saja dengan pemerintahan jaman Orde Baru. Pemerintahan sekarang berusaha mengelabui kegagalannya dengan menangkapi oposin yang membongkar fakta-fakta kemiskinan" tendas Masinton. (*)

Sabtu, 04 Oktober 2008

Bila Aktivis Jadi Politisi

Media Indonesia
06 September 2008 00:01 WIB

Bila Aktivis Jadi Politisi
Dunia politik memang sangat menggiurkan. Sebab, status sebagai politisi membuat orang menjadi terkenal seperti selebritas. Posisi tersebut akan membuat orang menjadi dipentingkan. Ia memiliki 'prestise' yang tak dipunyai banyak orang.
Karena alasan itulah, hari ini orang berbondong-bondong memasuki dunia politik. Mulai dari politisi murni, individu biasa, profesional, akademisi, bahkan artis tertarik untuk meramaikan dunia politik dan menahbiskan diri mereka sebagai politisi atau calon politisi. Mereka berlomba-lomba mengadu peruntungan sebagai wakil rakyat.
Di antara antrean panjang menuju takhta kekuasaan tersebut, salah satu spesies yang banyak disorot adalah caleg dari kalangan aktivis (mantan aktivis 1998). Sejumlah aktivis 1998 yang menjadi caleg itu, antara lain mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko (PDIP), Sekjen Pena 1998 Adian Napitupulu (PDIP), mantan aktivis FPPI Masinton (PDIP), korban penculikan 1997-1998 Pius Lustrilanang dan Desmond J Mahesa (Gerindra), mantan aktivis UI Indra J Philiang (Golkar), mantan aktivis Famred Wahab Thalaohu dan Tenri (Golkar), mantan aktivis Forkot Lutfi (Golkar), mantan aktivis Pijar Haikal (Demokrat), mantan aktivis buruh Dita Indah Sari (PBR), mantan Ketua Umum HMI Anas Urbaningrum (Demokrat), dan sederet nama lainnya.
Dalam beberapa diskusi, tulisan, dan berita-berita, muncul sejumlah alasan mengapa mereka beramai-ramai masuk partai dan menjadi caleg. Menurut mereka, di zaman reformasi ini, pola gerakan sosial yang dulu mereka usung harus diubah menjadi 'gerakan politik'.
Sebab, hanya dengan gerakan politiklah kekuasaan dapat diraih. Dengan masuk ke sistem kekuasaan, mereka dapat mengawal, memberikan koreksi serta idealistis dalam memperjuangkan suara rakyat. Apa pun alasan dan pertimbangan mereka, dalam alam demokrasi seperti sekarang, sah-sah saja para mantan aktivis itu terjun ke politik praktis. Hal itu adalah bagian dari hak politik mereka
sebagai warga negara. Keputusan mereka terjun menjadi caleg itu pun dinilai penting bagi pengaderan kepemimpinan nasional.
Di sisi lain, ketika para mantan aktivis masuk ke sistem politik, ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, memperbaiki sistem dari dalam bukanlah pekerjaan yang gampang. Sebab, meminjam pandangan Edward Shils (1972), praktek politik di Indonesia bukanlah 'lahan subur' untuk memperjuangkan idealistis dan perjuangan. Oleh sebab itu, ketika masuk dan menjadi bagian dari sistem, para mantan aktivis tersebut dikhawatirkan akan 'mabuk' dan terlena dengan kekuasaan. Atau dengan kata lain, perjuangan dan idealistis yang mereka usung akan tenggelam dalam lingkaran setan (vicious circle) kekuasaan. Sejarah membuktikan, aktivis angkatan '66 yang masuk ke DPR tidak ada apa-apanya. Aktivis 1998 yang masuk ke DPR hasil Pemilu 2004 juga biasa-biasa saja.
Dalam hal ini, kita patut mengingat tulisan almarhum Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa, 'telah bersumpah kami menjadi gerakan angkatan muda'. Sebab, semua percuma, toh harus diperintah angkatan tua yang bodoh dan korup, tapi berkuasa dan harus ikut jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Sepandai-pandainya ahli yang berada dalam kekuasaan bodoh akan ikut jadi bodoh.
Kedua, ketika para aktivis masuk sistem politik, kita akan kehabisan manusia independen yang mendudukkan dirinya di posisi tengah antara rakyat dan pemerintah. Kita akan kekurangan manusia yang mampu menjaga jarak secara adil dan seimbang apabila terjadi konflik antarpenghuni bangsa ini. Sebab, walaupun politik adalah suatu karsa untuk menegakkan moralitas dan rasionalitas publik, kenyataan di negara kita masih jauh panggang dari api. Alih-alih para politisi menegakkan dan hidup dengan moralitas publik, mereka justru menempatkannya sebagai aksesori yang tak perlu diimani.
Dengan dua pertimbangan itu, ada baiknya para mantan aktivis tersebut memikirkan kembali pilihan mereka. Jika orientasi politik mereka hanyalah untuk memenuhi hasrat pragmatisme belaka atau hanya sebuah petualangan politik, lebih baik tenaga, pikiran, dan harta mereka diwakafkan untuk membuat barisan 'gerakan sosial baru' yang jelas visi dan keberpihakannya.

R Adie Prasetyo
Peneliti Nusantara Center Indonesia
nusantaracom@yahoo.com

dikutip dari: http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MjgyODM=