Masinton Pasaribu, SH Anggota Komisi III DPR-RI Fraksi PDI Perjuangan Dapil: DKI Jakarta II
Rabu, 15 April 2009
Kekhawatiran Kembalinya Sistem Orba Perlu Dijawab
Jakarta, Kompas - Munculnya sosok berlatar belakang militer sebagai calon presiden seperti Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono dan Jenderal (Purn) Wiranto disambut kelompok masyarakat dengan perasaan berbeda. Pada satu sisi terpilihnya pensiunan tentara patut disyukuri. Namun, di sisi lain, sebagian masyarakat yang pernah menjadi korban rezim Orde Baru mengkhawatirkan kembalinya sistem politik yang represif.
Dalam kaitan itu, para calon presiden perlu menjawab kekhawatiran sejumlah anggota masyarakat tersebut. "Tidak serta-merta sistem Orde Baru kembali dengan menguatnya sosok berlatar belakang militer seperti Yudhoyono dan Wiranto. Tetapi, banyak kalangan tetap khawatir kembalinya sistem Orde Baru lantaran keterkaitan erat tokoh berlatar belakang militer dengan masa lalu. Tokoh itu sedang menjabat dan merupakan pendukung sistem Orde Baru," ujar peneliti dan pengamat militer dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Edy Prasetyono, yang dihubungi di Surabaya, Rabu (21/4).
Kemarin, di Gedung Perpustakaan Nasional Jakarta, lebih dari seratus aktivis 1998 berkumpul dan berdiskusi. Mereka khawatir terpilihnya kandidat presiden dari kalangan militer membuat usaha penegakan hukum dan demokratisasi usai, sementara korupsi makin merajalela. Indonesia baru ditandai oleh babak otoritarianisme.
Pertemuan tersebut dihadiri antara lain oleh Safiq Alieha, Fadjroel Rahman, Adian Napitupulu, Anton Aritonang, Masinton Pasaribu, Eli Salomo, Sarbini, Abdullah, Eki, Ivan, Mixil, Upay, dan Jimbong. Mereka memimpin langsung aksi unjuk rasa puluhan ribu mahasiswa yang kemudian ikut memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Hadir pula orangtua dan keluarga para mahasiswa yang tewas dalam tragedi berdarah Trisakti, Semanggi I dan II, serta keluarga korban kerusuhan Mei.
Dalam kesempatan itu ditekankan bahwa sejauh ini upaya pengungkapan kasus kerusuhan penembakan mahasiswa Trisakti, kerusuhan Mei, peristiwa Semanggi I dan II terhambat oleh kekuatan politik di parlemen yang lebih berpihak kepada kekuatan lama.
Reaksi berbeda
Reaksi berbeda justru disampaikan oleh Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia (Pepabri). Pepabri justru bersyukur dengan terpilihnya Wiranto sebagai calon presiden dari Partai Golkar.
"Rasa syukur itu patut disampaikan lantaran purnawirawan dapat diterima baik oleh masyarakat luas. Pepabri menyebut Yudhoyono dan Wiranto telah ditetapkan oleh partai masing-masing sebagai calon presiden, sebagai putra terbaik. Pencalonan mereka itu merupakan wujud dari kepercayaan rakyat kepada purnawirawan," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pepabri Inspektur Jenderal (Purn) Putera Astaman.
Perlu beri penjelasan
Menjawab kekhawatiran sejumlah kalangan mengenai akan kembalinya sistem politik Orde Baru (Orba), menurut Edy, baik Wiranto maupun Yudhoyono perlu memberikan penjelasan kepada masyarakat luas mengenai masalah, posisi, dan peran tokoh berlatar belakang militer itu ketika Orba berkuasa. Masyarakat yang trauma dengan politik masa lalu itu harus diberi penjelasan.
"Jika ini tidak dilakukan, lawan politik mereka dapat menggunakan hal ini sebagai kesempatan melakukan serangan. Serangan itu selain memaksa adanya penjelasan bagi masyarakat juga merupakan kesempatan pendidikan politik. Diskursus secara sehat akan terjadi dan rakyat akan memiliki bekal yang lebih rasional untuk menetapkan pilihannya," kata Edy menjelaskan.
Kesempatan munculnya kekuatan lama, tutur Edy, merupakan peluang bagi lawan politik tokoh berlatar belakang militer untuk menaikkan kembali popularitasnya, seperti Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais. Dengan pemilihan presiden langsung yang menyandarkan pilihan pada sosok atau figur, pembeberan track record (latar balakang) menjadi penting.
Munculnya kembali tokoh yang berkuasa dan cukup memiliki masalah ketika Orba berkuasa lewat Pemilu 2004 dinilai sebagai kegagalan elite melakukan pendidikan politik kepada rakyat. Kegagalan pendidikan politik itu dipersubur dengan ajakan kepada rakyat untuk menjadi oportunis.
"Sejauh ini rakyat tidak cukup diberi pendidikan untuk mandiri menentukan pilihannya. Rakyat banyak selalu diberi insentif berupa uang untuk menentukan pilihan politiknya," ujar Edy.
Namun, lanjutnya, munculnya tokoh berlatar belakang militer dan masa lalu tidak bisa disalahkan begitu saja lantaran mereka sampai pada tahapan itu setelah melalui prosedur politik yang benar. "Karena itu, kesempatan yang kini dimiliki tokoh berlatar belakang militer dan masa lalu itu merupakan kesempatan bagi mereka untuk membuktikan komitmen pada demokrasi," ujar Edy.
Pengadilan HAM
Dalam pertemuan para aktivis di Gedung Perpustakaan Nasional kemarin, beberapa orang juga mendesak Presiden Megawati untuk menggelar pengadilan hak asasi manusia (HAM) ad hoc bagi anggota militer yang diduga keras terlibat langsung dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat tahun 1998.
"Di bawah kepemimpinan para loyalis Soeharto, Indonesia akan kehilangan banyak kawan. Tidak akan ada program tentang pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Tidak akan ada pengadilan HAM ad hoc terutama bagi Soeharto," ucap Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Hermawan.
Pengamat politik Bachtiar Effendi, sebagaimana dikutip Antara, menilai naiknya figur militer dalam bursa pemilihan presiden tidak akan mengembalikan Indonesia ke dalam percaturan politik era Orba yang otoriter dan sentralistik. Hal itu mengingat sistem politik nasional saat ini merupakan hasil konsensus bersama seluruh komponen bangsa, termasuk TNI, yang tidak boleh dilanggar. "Kalau ada yang bilang dengan munculnya figur militer menandakan bangkitnya kekuatan lama, menurut saya, itu sangat berlebihan," katanya.
Bachtiar mencontohkan, seluruh komponen bangsa ini telah sepakat untuk menjalankan sistem desentralisasi politik sejak era reformasi digulirkan, sesuatu yang sangat ditentang di masa Orba.
Kalau itu saja dihapuskan dan Indonesia kembali ke sistem sentralistik, siapa pun pemimpin bangsa ini, baik sipil maupun militer, akan mendapat kecaman dan tentangan keras dari masyarakat.
"Jadi, meski ada dua jenderal bertarung memperebutkan kursi presiden, sulit untuk mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru," kata Bachtiar. (win/inu/Ant)
Search :
Berita Lainnya :
·
Setelah Wiranto Menang, Koalisi Mulai Dipacu
·
Warga Jakarta Terjebak Kemacetan Berjam-jam
·
Kekhawatiran Kembalinya Sistem Orba Perlu Dijawab
·
Bom Mobil di Basra, Sedikitnya 60 Tewas
·
Pianis Rudy Laban Tutup Usia
·
"Good Morning", Selamat Pagi, Partai Golkar Menguasai Sehari
·
Menyelamatkan Bumi, Air, atau Manusia?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar