Rabu, 15 April 2009

Membahas biaya kampanye

Jumat, 2009 Maret 1
oleh: masykur

Menarik sekali tema yang diangkat oleh SUN TV, sebuah televisi lokal jakarta, anak perusahaan RCTI. Tema yang diangkat adalah tentang biaya kampanye bagi calon DPR. acara ini dinamai “contreng” yang menghadirkan syafii hasan dari partai demokrat, yudi latif sebagai pakar politik, dan masinton pasaribu dari partai PDI.

Acara ini diadakan di mall menara kebun sirih pada 4 maret 2009. Acara yang sedianya dimulai pukul 19.00 WIB. baru bisa dimulai pada pukul 20.30 karena hujan mengguyur lokasi. Semua peralatan syouting sudah ditata dan dipersiapkan. Meja dan 4 kursi di seting berada di depan tangga. Musisi juga sudah siap dengan peralatanya, kamera dan lampu sudah stanby. Para pasukan BK (benteng kedaulatan) yang diundang sebagai audiens sudah berada pada posisi duduk di tangga berjejer sekitar 11 orang. Mereka memakai pakaian hitam semua dengan baju bertuliskan “Benteng kedaulatan” di punggung. Namun ketika produser akan memulai, hujan tiba-tiba datang tanpa permisi. Akhirnya si produser yang baru menata segelas kopi di meja membatalkan acara tersebut. “cut,..cut,..” perintahnya.

Semua kru langsung berlarian untuk menyelamatkan peralatannya. ada yang lari ke atas tangga megambil lampu yang sudah ditata rapi, ada yang mengemasi kamera yang sudah stanby, ada yang menggulung kabel dan ada yang berteriak dengan nada perintah karena masih ada peralatan yang masih tertinggal. Panggung alami dipelataran mall disulap menjadi sepi lagi seperti biasanya. Hanya air yang mengisi. Pasukan BK—salah satu organisasi masa pendukung cucu menantu sudirman—langsung menyelamatkan diri dihalaman mall. Mereka saling bertanya apakah gagal atau tetap dimulai karena kayaknya hujan juga tidak kunjung reda. Padahal para panelis sudah datang. Disini ada yang sempat nclekop “ga sewa pawang hujan sih”?

Salah satu pasukan BK sedang sms ke salah stu kru tv menanyakan keberlanjutanya, “dilanjutkan atau tidak mba” itu isi dari smsnya karea waktu ngetik dia sambil ngomong. Tidak lama kemudian ada kru dari tv dengan perawakan kecil memakai jilbab dan sambil senyum menjawab. “Nanti mas ya karna baru seting tempa” kata kru tadi sambil memberi senyum. Pasukan BK langsung menganggukkan kepala dan membalas senyuman.

Melihat sibuknya kru Sun Tv, acara “contreng” kelihatanya dilanjutkan, namun seting tempat mungkin berbeda. Dari kejauhan, beberapa lampu tampak sudah terang. Sebagian kru juga terlihat menarik kable kesana kemari.

Setelah menunggu lama, akhirnya semua audiens dan panelis dipanggil dan dipersilahkan duduk di tempat yang sudah disediakan. Seting tempat memang berbeda dari sebelumnya. Sekarang berada di halaman yang relatif sempit tapi memang tidak kena hujan.

Panggungnya alami seperti biasa, hanya dikasih empat kursi untuk pembicara. Sekitar tiga meter serong ke kanan kamera sudah stanby, serong ke kiri, kamera juga sudah stanby, dan lurus kedepan juga ada kamera. Posisi duduk pembicara adalah dari kiri masinton, calon DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Seperti tema yang diangkat tentang dana kampanye bagi caleg, masinton hanya memakai kemeja merah celana biasa dan sandalan. Berbeda dengan pembicara yang berada pada posisi ketiga setelah masinton, karena posisi kedua diduduki oleh Yudi latif sebagai pembanding. Caleg satunya ini dari gaya pakaianya sudah meyakinkan kalau dia dari caleg kaya. Memakai jaz, dasi, dan bersepatu mengkilap.

Di posisi paling kanan adalah moderator pemandu acara. Dan disamping kamera juga terlihat wanita cantik dengan terus memberi senyum dan sesekali mengahafal rangkaian kata-kata yang nantinya akan disapaikan untuk menhantarkan acara dialog tersebut. Produser mulai memberikan kode untuk segera mulai, wanita yang mempunyai nama riska sebagai Host tersebut segera kedepan setelah dikasih aba-aba oleh pemandu kamera dibelakang. Acara tidka sekali jadi, beberapa kali diulang-ulang karena masih ada kesalahan, entah dari host, musik yang mengiringi, atau dari moderatornya. Sampai mereka siap semua, baru dimulai. Semua di atur, bahkan tepuk tangan pun di atur dan dikasih kode.

Pemandu acara mulai memperkenalkan pembicara. Masinton dari caleg DPR RI PDIP nomor 10, syarif hasan caeg DPR RI dari partai demokrat nomor 1, dan pembandingnya adalah Yudi latif dari pakar politik. Pembahasan pertama moderator memberi prolog tentang metode berkampanye, karena untuk kampanye saja biaya sangat tinggi, bahkan mencapai berjuta-juta. Bagaimana masing-masing calon legislatif ini mensiasati. Kalau yang punya uang tidak masalah, namun yang tidak punya uang ini bagaimana.

Lontaran pertama ini diberikan kepada syarif hasan, dan langsung ditanggapi. Bahawa untuk biaya kampanye sangat mahal, membuat baliho saja yang agak besar bisa mencapai satu setengah juta, itu satu. Belum bikin kaosnya. Tapi itu adalah salah satu strategi kampanye.
Bagi masinton, strategi yang dipakai dalam berkampanye berbeda dari yang dikatakan syarif. Masinton bermodal sosial, mengandalkan modal tersebut untuk bersialisai mendatangi masyarakat. Dia beserta masyarakat membahas dan meminta doa restu. Karena bagi masinton, tidak mau terjebak dengan logika politik lama, yaitu bagi-bagi uang atau sembako. Karena demokrasi adalah partisipasi. Kunci partisipasi ini yang akan dipakai dengan melibatkan semua masyarakat. “saya terus terang saja tidak mempunyai uang. Bahkan saya meminta sumbangan kepada temen-temen untuk membiayai bikin spanduk dan kartu nama” kata masinton.

Masyarakat memang harus diajak membahas, karena tidak punya uang. Misalkan kaos, mereka disuruh untuk menyablon sendiri, begitu juga alat-alat kampanye yang lain. Karena kalau memakai kampanye media, itu sangat mahal costnya.
……………………..[bersambung]
Diposkan oleh maskur hasan di 01:27

1 komentar:

Masinton Pasaribu mengatakan...

Musim Paceklik Caleg Warung Kopi Print E-mail
Nilai pembaca: / 0
KurangBagus

ImagePACEKLIK dana kebanyakan dialami kalangan aktivis yang menjadi caleg dalam Pemilu 2009. Kampanye dengan modal uang saweran habis di warung kopi.



Cekaknya logistis untuk ongkos politik menjadi caleg dirasakan aktivis Famred Masinton Pasaribu. Anggota Baguna (Badan Penanggulangan Bencana) DPP PDI Perjuangan itu mengaku cuma mengantongi dana Rp 50 juta. Dana minim itu dikumpulkan dari hasil saweran donator aktivis 98.



Idealnya, menurut hitungannya, untuk mengejar target maksimal 30 persen di daerah pemilihan DKI Jakarta III (Jakarta Barat, Utara dan Kepulauan Seribu) sekitar 90 ribu suara setidaknya dibutuhkan dana sekitar Rp 1 miliar.



Celakanya, saat ini kocek untuk kampanyenya tinggal tersisa Rp 20 juta.



Menurutnya, selama beberapa bulan menggalang konstituen, door to door dari satu gang ke gang habis sekitar Rp 30 juta. Itu pun, katanya, sudah berhemat dengan roadshow menggunakan sepeda motor.



’’Sekali datang ke satu komunitas, saya minimal harus mengeluarkan dana 500 ribu, untuk kopi-kopi dan cemilan, belum bicara program. Bisa nambah lagi,’’ kata aktivis Front Rakyat Menggugat ini.



Karenanya, mantan aktivis mahasiswa UKI ini sedang gundah mencari dana karena kesulitan melakukan fund rising. Karenanya, ia mengenyampingkan untuk kampanye menggunakan spanduk dan poster.



’’Siapa pula yang tertarik? Nomor urut saya sepuluh, otomatis untuk fund rising pun sangat susah. Pengusaha enggan nyumbang karena tidak prospektif dibanding caleg-caleg urut nomer jadi,’’ ujarnya.



Tidak berbeda dengan Iwan Sumule yang mencoba mengadu nasib politik menjadi caleg Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan). Aktivis Forkot (Forum Kota) ini dipercaya partai besutan Letjen Purn M Yasin di Dapil Jakarta

Timur nomor urut 2.



Aktivis mahasiswa 1998 ini mengatakan hanya mengantongi modal sebesar Rp 25 juta. Untuk mengantisipasi modal cekak ini, strategi sosialisasi secara langsung dengan konstituen menjadi pilihan.



‘’Lebih irit dan efektif. Bersentuhan langsung rakyat akan lebih mudah mengenal kita,’’ katanya. Media spanduk dan poster tak menjadi pilihannya. Sebagian dananya dihabiskan untuk mencetak kartu nama dan biaya sosialisasi. Hampir setiap hari, mantan Ketua BMI (Banteng Muda Indonesia) DKI Jakarta ini berkeliling di daerah pemilihannya sambil membagikan kartu nama.



‘’Saya turun dengan teman-teman di tempat yang bersentuhan dengan saya. Saya ajak masyarakat berdiskusi sambil ngopi. Ini strategi perjuangan saya,’’ paparnya.



■ Dimas Ryandi, Thantri Kesumandari