Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak menjadi isu sensitif di beberapa parpol. Rawan sebagai pemicu konflik.
MUHAMMAD Sholeh (34) tak menyangka jika gugatan sistem nomor urut caleg yang ia layangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) membuahkan hasil. Lembaga pimpinan Mahfud MD itu mengabulkan gugatan Sholeh dan tiga penggugat lain -Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima S- sehingga penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Namun, kader PDIP Jatim itu harus menanggung konsekuensi. Gara-gara gugatannya itu, ia yang awalnya masuk daftar caleg sementara (DCS) PDIP untuk DPRD Jatim dengan nomor urut 7, tiba-tiba di daftar caleg tetap (DCT) namanya lenyap.
Tak hanya itu. Mantan aktivis PRD itu juga harus siap-siap jadi musuh bersama (common enemy) elite-elite PDIP yang namanya bertengger di urutan nomor atas sebagai calon anggota DPR. Sebab, setelah MK mengabulkan gugatan Sholeh, penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, bukan lagi nomor urut. Padahal, PDIP adalah salah satu parpol yang “mendewakan” nomor urut. Selain PDIP, ada PKS, PPP, PBB, dan PDP yang sebelumnya menerapkan sistem nomor urut.
Penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak jelas meresahkan caleg-caleg dari kalangan elite partai yang nangkring di nomor urut kecil, seperti nomor 1 dan 2. Mereka yang tadinya bisa dengan mudah melenggang ke Senayan atau ke DPRD untuk daerahdaerah yang jadi kantong massa partai mereka, kini harus berjibaku dulu dengan kawan-kawan separtai di dapil (daerah pemilihan) yang sama.
Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) DPP PDIP Taufiq Kiemas (TK), misalnya. Dengan duduk di nomor urut 1 untuk dapil Jabar II, seharusnya ia sudah bisa dipastikan bisa melangkah ke Senayan dengan asumsi PDIP dapat 1 kursi di dapil tersebut. Namun, setelah keluar putusan MK, ia mesti was-was. Sebab, di nomor urut 2 ada Rieke Diah Pitaloka.
Pemeran “Oneng” di komedi situasi (komsit) Bajaj Bajuri itu pada awalnya dipasang di bawah TK selain untuk kepentingan quota perempuan 30 persen juga sebagai vote getter (pengumpul suara) untuk dapil tersebut. Dengan target, memastikan TK bisa ke Senayan. Namun, kini keduanya harus bersaing.
Di dapil DKI II, ada Eriko Sotarduga, Sekretaris DPD PDIP DKI, di nomor urut 1. Ia mesti bersaing dengan Syahriz Ferdian Aziz di nomor 2 dan mantan Ketua LBH Jakarta Apong Herlina di nomor urut 3. Di dapil DKI III, anggota DPR FPDIP Effendi MS Simbolon di nomor urut 1 harus bersaing dengan Judil Herry Justam (2), Hera Diah Tarto Sudiro (3), dan Masinton Pasaribu (10).
Di dapil Jateng I ada Ketua DPP PDIP Tjahjo Kumolo di nomor urut 1 yang harus bersaing dengan Daniel Budi Setiawan (2) dan Willem Max Tutuarima (6). Ada juga Sony Keraf di nomor urut 1 dapil Jateng III yang harus bersaing dengan Imam Suroso (3), paranormal kondang di dapil tersebut. Muhammad Prakosa yang maju di dapil Jateng IX nomor urut 1 harus siap menghadapi kader muda Dewi Aryani Hilman (3). Puan Maharani yang maju dari dapil Jateng V juga harus bersaing dengan anggota DPR Aria Bima (3).
Yang menjadi pertanyaan, jika yang mendapat suara terbanyak ternyata caleg di nomor bawah, maukah mereka menyerahkan kursinya ke elite partai yang duduk di nomor atas? Sebab, ada indikasi, PDIP akan tetap keukeuh menerapkan sistem nomor urut, tapi dengan “cara mereka”, yakni dengan pendekatan “kebijakan parpol”.
“Jika aturan mainnya (di partai) seperti itu dan sudah diputuskan DPP, kita sebagai kader yang loyal harus menaati keputusan itu, saya harus hormati,” ujar Masinton Pasaribu, caleg PDIP dapil DKI III dengan nomor urut 10, kepada Indonesia Monitor, Senin (12/1).
Jika Masinton yang mantan aktivis itu “tegak lurus” mengikuti kebijakan partainya, tidak demikian dengan Dhea Prekasa Yoedha, caleg PDIP untuk DPRD DKI dari dapil Jaktim nomor urut 8. Deklarator AJI (Aliansi Jurnalis Independen) ini menuturkan, semua partai terikat dengan putusan MK soal penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Makanya, jika sampai terjadi pengalihan perolehan kursi, ia akan menanggapinya secara kritis.
“Saya pikir tidak semudah itu. Tapi, bahwa DPP punya kebijakan, antara lain untuk pengamanan kepentingan partai, bisa saja ada caleg terpilih dengan suara terbanyak, ternyata orang itu inkompenten, maka DPP bisa menggantinya. Kita tidak bisa serta merta main ganti begitu saja. Artinya ada pertimbangan-pertimbangan khusus dari partai. Tidak semudah itu mengganti caleg jadi menjadi caleg tidak jadi,” papar Dhea Prekasa Yoedha kepada Indonesia Monitor, Senin (12/1).
Jika DPP tidak bijak dalam melakukan penggantian? “Itu bisa menimbulkan masalah. Risikonya sangat tinggi, konsekuensinya tinggi. Pertama, soal kompetensi, kedua soal tanggung jawab caleg kepada para pemilihnya. Tapi, saya yakin pimpinan partai, Megawati, cukup bijak, dan saya yakin ia tidak mau disebut sebagai pimpinan tidak tahu diri, apalagi menghadapi pilpres. Tidak segampang itu dia mendengarkan omongan orang-orang yang tidak jelas,” paparnya.
■ Sri Widodo
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=1192&Itemid=33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar