Sabtu, 25 April 2009

Pemilu Curang, SBY Bungkam Suara



Rabu, 22 April 2009, 22:47:38 WIB
Laporan: Bisman Pasaribu

Jakarta, RMonline. Kubu oposisi yang digawangi Megawati balik mempertanyakan keberanian calon presiden Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono terkait buka suaranya soal kebobrokan pemilu 2004.

Seperti dikemukakan Ketua Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Mashinton Pasaribu kepada RMonline, Rabu (22/4).

“Kenapa kecurangan pemilu tahun 2004 itu baru dibuka saat ini,“ tanya Mashinton.

Ia bahkan menilai SBY dalam hal ini justru terkesan menikmati dan melegalkan kecurangan-kecurangan yang terjadi pada pemilu waktu itu (2004).

Lebih lanjut Mashinton mengatakan saat SBY berkuasa kecurangan dan kesalahan dalam pemilu semakin terang untuk dilegalkan.

Untuk itu, ia mendesak sebaiknya Pilpres yang berlangsung pada 8 Juli mendatang itu ditunda saja.

Pasalnya, banyak keluhan masyakarat dan fakta-fakta di lapangan yang tidak bisa diselesaikan.

Bahkan sambung aktivis demokrasi ini, ada ketidak-fair-an pemerintah yang memperlihatkan ketidaknetralan Polri dalam mengawal pemilu.

Ia mencontohkan, laporan Baswalu dan masyarakat tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian.

“Polri tidak berani menindaklanjuti kecurangan yang terjadi dalam pemilu baik itu laporan dari Bawaslu maupun dari masyarakat, disinilah ketidaknetralan aparat kepolisian,” katanya.

Ia pesimis pilpres mendatang bisa berjalan dengan baik karena sistem yang berlaku masih amburadul.

“Masa pembenahan hanya tinggal beberapa minggu lagi, apakah memungkinkan,” tekannya.

Padahal lanjut caleg PDIP ini, agenda pemilu maupun Pilpres itu sudah dipersiapkan dalam satu tahun.

Ia menuding hal itu hanyalah tambal sulam.

Untuk itu, ia menyarankan kalau ingin Pilpres 2009 berjalan dengan baik, seluruh jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) termasuk Ketuanya, Abdul Hafiz Anshary harus diganti yang baru.

Hal ini, tambah Mashinton terkait kinerja KPU yang saat ini dinilainya mempengaruhi netralitas pelaksanaan Pileg lalu dan Pilres nanti karena abal-abal. [wid]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=74093

HENTIKAN KEMISKINAN !!

Kamis, 16 April 2009

Sejarah kota Medan

Sejarah kota medan - 02-27-2009, 08:47
Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.

Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.

Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.

Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.

Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.

Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.

Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.

Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli In Woord en Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak diseberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.

Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.

Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.

Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.

Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.

Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.

Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".


Menurut legenda di zaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli lama kira-kira 10 Km dari Kampung Medan yakni di Deli Tua sekarang seorang Putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan Putri ini tersohor kemana-mana mulai dari Aceh sampai ke ujung Utara Pulau Jawa.

Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh saudara kedua laki-laki Putri Hijau. Sultan aceh sangat marah karena penolakan itu dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Deli.

Menurut legenda yang tersebut diatas, dengan menggunakan kekuatan gaib seorang dari saudara Putri hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya.

KesultananDeli lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa Putra Mahkota yang menjelma menjadi meriam itu meledak sebagian, bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo kira-kira 5 Km dari Kabanjahe.

Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat kedalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur dan permohonan tuan Putri dikabulkan. Tetapi baru saja uapacara dimulai tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat disusul gelombang-gelombang yang sangat tinggi.

Dari dalam laut muncullah abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dan dengan menggunakan rahangnya yang besar itu diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.

Legenda ini samapai sekarang masih terkenal di kalangan masyarakat Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia.

Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan Benteng dan Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedang sisa meriam penjelmaan abang Putri Hijau itu dapat dilihat di halaman Istana Maimun Medan.

Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih setengah abad namun untuk menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda juga berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Sisingamangaraja di daerah Tapanuli.

Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal Belanda J.Van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti ditengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu J.C.Baud menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama perang Paderi ( 1821-1837 ).

Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggeris dengan pimpinannya bernama Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya terbatas maka Sultan Ismail meminta perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu terbukalah kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Kerajaan Siak Sri Indrapura yang rajanya adalah Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan Serdang di Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli telah masuk kekuasaan Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, tapi kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.

Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah taklukan kerajaan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung Medan Putri.

Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887,Ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.

Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.

Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.

Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).

Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.
DIKUTIP DARI: http://medancity.com/forum/mdn1/showthread.php?t=5248
=======================================================================================
Labuhan Ibu Kota Tua Deli
June 6, 2006

Bertandang ke Medan tak lengkap rasanya bila tak berkunjung ke Labuhan. Sebuah kota kecil 20 Km utara Medanyang merupakan Ibukota pertama dari Kesultanan Deli. Labuhan ini didirikan pada tahun 1669 oleh Panglima Perunggit yang memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli atas Aceh. Di kotaini kabarnya banyak sekali bangunan tua, kampung pecinan, dan vihara pertama yang didirikan di wilayah Deli. Konon istilah Cina Medanuntuk kaum keturunan yang berasal dari Sumatera Utara berasal dari kaum pendatang Cina yang mendiami wilayah ini yang kelak di kemudian hari bermigrasi ke Medan.

Untuk mencapai Labuhan sebenarnya cukup mudah mengingat kota ini terletak di jalur jalan utama yang menghubungkan Medan dengan pelabuhan Belawan. Namun rasanya kurang afdol kalau kita tidak mencoba jalur kereta api yang menghubungkan Medan dengan Belawan yang melewati kota Labuhan. Setelah kasak-kusuk mengumpulkan informasi dan dibantu oleh Kepala Stasiun Besar Medan Bapak Bachtiar Sihite, kami diberitahu bahwa hanya kereta barang yang melalui jalur ini. Rangkaian pengangkut CPO/Minyak Sawit Mentah dengan tujuan akhir Belawan/Ujung Baru, sementara rangkaian BBM Pertamina berakhir di Dipo Pertamina Labuhan. Bapak PPKA yang kami hubungi juga tidak bisa memberitahu dengan pasti jadwal keberangkatan kereta barang dari stasiun Medan. Karena tergantung dari jadwal kedatangan dari Rantau Prapat. Akhirnya kami mendapat informasi akan ada rangkaian BBM menuju Labuhan yang diperkirakan berangkat jam 15.00.

Tunggu punya tunggu sampai hampir jam 16.00 tidak ada tanda-tanda ada kereta ke arah utara. Akhirnya kami diberitahu akan ada Loks (Lok Sendiri) yang bertugas menjemput rangkaian BBM di Belawan. Mata kami yang semula terkantuk-kantuk karena terlalu lama menunggu mendadak menjadi segar. Tanpa membuang waktu kami bersiap di peron 2 dan dari kejauhan tampak sebuah lok BB30602 sedang langsir. Setelah mendapat ijin dari crew dengan menunjukkan surat T 23, kami pun diijinkan untuk ikut di dalam kabin masinis.

Selepas stasiun Pulu Brayan perjalanan jauh dari menyenangkan. Bantalan kayu yang sudah lapuk dan patah di sana-sini ditambah rel R 25 menjadikan kereta berguncang-guncang walaupun berjalan lambat. Kami tidak bisa membayangkan kalau setiap hari jalur ini dilewati rangkaian BBm dan CPO yang sangat berat. Menjelang stasiun Labuhan kondisi lintasan berangsur membaik. Bantalan beton dan rel R 42 telah terpasang rapi sampai stasiun Belawan. Kami pun mengakhiri perjalanan di stasiun yang lebih mirip dengan gereja ini.

Inilah stasiun Labuhan. Sebuah stasiun dengan langgam Art Deco yang kental. Mengelilingi stasiun ini membuat mulut tidak henti-hentinya berdecak kagum. Bangunan yang masih kokoh terawat, sampai ke setiap detail ornamen-nya nampak begitu indah tanpa ada cacat yang berarti. Puas berkeliling stasiun, kami menjelajah jalan-jalan kecil di pecinan yang dipenuhi bangunan-bangunan ruko tua. Di ujung jalan kami bahkan menemui sebuah vihara yang tampak sudah cukup kuno. Inikah yang dimaksud vihara tertua di Deli itu? Sayangnya tak ada orang yang bisa kami konfirmasi.

Matahari sudah condong ke barat saat kami mulai meneruskan dengan menggunakan angkot menuju tujuan akhir kami Stasiun Belawan. Cukup 10 menit saja dari Labuhan kami pun tiba di Belawan.
DIKUTIP DARI: http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://spoorsoni.blogs.friendster.com/spoorblog/images/labuhan1_2.JPG&imgrefurl=http://spoorsoni.blog.friendster.com/2006/06/&usg=__4_K1tVx37WVyaLNOez-4ZM53_zM=&h=133&w=100&sz=6&hl=id&start=24&um=1&tbnid=AI9FVrjjy483tM:&tbnh=92&tbnw=69&prev=/images%3Fq%3Dkampung%2Bbesar%2Blabuhan%2Bdeli%26ndsp%3D18%26hl%3Did%26sa%3DN%26start%3D18%26um%3D1

Rabu, 15 April 2009

Rakyat Kuasa

Gerakan Mahasiswa Tak seperti Dulu


Gerakan Mahasiswa Tak seperti Dulu


Kompas, Senin, 29 Januari 2001

AKSI-aksi mahasiswa yang belum lama surut dalam beberapa hari terakhir muncul kembali. Akumulasi mahasiswa yang terlibat dalam aksi turun ke jalan terus bertambah, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di sejumlah kota besar lainnya. Gelombang mahasiswa yang bergerak menuju Gedung MPR/ DPR Senayan makin membesar dan diperkirakan akan terus memuncak dalam minggu ini. Mahasiswa dengan warna-warni jaket dan polah-tingkahnya kembali tampil di layar televisi, surat kabar, dan majalah-majalah. Akankah peristiwa dramatik yang masih sangat segar dalam ingatan kita, ketika mahasiswa berbondong-bondong menguasai gedung para wakil rakyat yang berakhir dengan tersingkirnya seorang presiden dari kekuasaannya, berulang kembali?

GERAKAN mahasiswa tahun 2001 tidak sama sebangun dengan gerakan yang muncul di tahun 1998. Pada awal tahun 1998 belum ada tanda-tanda yang cukup berarti yang bisa ditangkap bahwa mahasiswa akan bergerak dalam jumlah yang masif dan cukup kuat untuk menantang penguasa otoriter Orde Baru yang telah bercokol selama 32 tahun. Ketika Soeharto dikukuhkan kembali oleh MPR yang dipimpin mantan Menteri Penerangan Harmoko untuk ketujuh kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia, baru sejumlah kecil mahasiswa yang mulai resah dan melakukan konsolidasi. Namun, sekonyong-konyong gerakan itu muncul bagaikan bola salju, makin membesar dan makin cepat bergulir.

Diawali dengan bentrokan dengan aparat kepolisian dan militer yang masih represif pada 2 Mei 1998, gerakan itu dengan cepat menular ke semua kampus. Penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti 13 Mei 1998, yang hingga kini belum tuntas diungkap, semakin mengobarkan semangat perlawanan mahasiswa. Puluhan ribu mahasiswa pada 18 Mei menyerbu Senayan dan gelombang itu makin membesar hingga Soeharto terpaksa meletakkan jabatan kepresidenannya.

Aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut hingga terpilih duet Presiden Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputri melalui pemilihan umum yang dinilai cukup demokratis. Setelah itu gerakan mahasiswa tinggal riak-riak kecil yang tidak jelas lagi target dan tidak didukung oleh visi yang luas. Namun, dalam beberapa hari terakhir gelombang aksi mahasiswa marak kembali.

Berbeda dengan gerakan mahasiswa tahun 1998 yang lebih didominasi oleh gerakan di luar kampus, aksi-aksi mahasiswa saat ini diawali dengan keterlibatan para aktivis organisasi formal kampus, baik yang tergabung dalam senat mahasiswa, badan eksekutif mahasiswa, maupun keluarga mahasiswa. Mereka adalah para aktivis yang umumnya berafiliasi dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) atau Jaringan Mahasiswa Indonesia (JMI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Keterkaitan itu dapat dengan mudah ditangkap dengan mendengarkan yel-yel dan lagu-lagu yang dinyanyikan ketika aksi maupun dari ukuran yang dipergunakan, yakni enam visi reformasi. Enam visi reformasi yang dimaksud adalah pencabutan Dwifungsi TNI/Polri, amandemen UUD 1945, otonomi daerah, supremasi hukum, pembudayaan demokrasi, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya.

Sejak 15 Januari 2001, para aktivis lembaga formal kemahasiswaan ini bergerak dengan atribut-atribut kampusnya menyerukan dukungan terhadap Pansus Buloggate dan Bruneigate serta mengingatkan kembali enam agenda reformasi yang mereka perjuangkan. Para aktivis itu menolak dikategorikan dalam kelompok massa anti-Presiden Abdurrahman Wahid, meski dalam orasi mereka sangat kritis dan memberi nilai negatif kepada Abdurrahman Wahid. Bahkan dalam orasi maupun yel-yel mereka sering telontar tuntutan agar Abdurrahman Wahid mengundurkan diri.

KESATUAN-kesatuan aksi yang tidak berbasis agama, seperti Forum Kota, Jaringan Kota, Gerakan Mahasiswa dan Pemuda untuk Reformasi (Gempur), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), Jaringan Kota, dan berbagai kesatuan aksi lainnya yang muncul setelah Soeharto tumbang belum memberikan sumbangan signifikan dalam gelombang aksi mahasiswa hari-hari ini. Mereka tengah berkonsolidasi untuk menyuarakan kembali tuntutan penghancuran Orde Baru, pengadilan Soeharto dan kroninya dalam mahkamah rakyat, dan pembubaran Partai Golkar. Dalam gelombang aksi yang berlangsung hingga akhir pekan lalu, baru sejumlah kecil mahasiswa yang turun ke jalan, sebagian lagi masih bersikap menunggu.

Akan tetapi, Jumat 26 Januari, di tengah gelombang mahasiswa dan massa anti-Abdurrahman Wahid, muncul sebuah kesatuan aksi baru yang menamakan diri Komite Mahasiswa Indonesia (KOMI). Tidak berbeda dengan para aktivis organisasi formal mahasiswa yang dapat diidentifikasi dengan mudah dari kelompok mana, asal-usul mereka dapat ditebak dengan mudah dengan mendengarkan jargon-jargon, yel-yel, dan lagu-lagu yang dinyanyikan. Tokoh-tokoh gerakan yang ada dalam KOMI merupakan para pemain lama yang dulu bergabung dalam Forum Kota, Famred, dan lain-lain. Namun, sebagian besar yang terlibat dalam KOMI memiliki keterkaitan dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang memiliki hubungan erat dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Arif, aktivis KOMI, mengatakan bahwa kekisruhan politik yang terjadi selama ini dibuat oleh Orde Baru baik melalui teror bom, disintegrasi, maupun gerakan-gerakan politik lainnya. Orde Baru ingin agar kekuasaan kembali ke tangannya. Menurut Arif, mahasiswa yang terlibat dalam gerakan anti-Abdurrahman Wahid ada kaitannya dengan pudarnya organisasi kemahasiswaan berbasiskan agama dalam memonopoli sumber-sumber dana dari Bulog, Pertamina, dan badan-badan usaha milik negara lainnya. "Mereka lebih berorientasi pada kekuasaan," kata Arif yang juga ketua PMII Jakarta Timur itu.

Kaum "veteran" gerakan mahasiswa tahun 1998 masih sangat menentukan dalam aksi-aksi mahasiswa tersebut. Ada di antara mereka yang terlibat langsung dalam aksi namun ada juga yang sekadar menempatkan diri sebagai pengatur strategi dan sumber referensi. Sebagian besar di antaranya adalah tokoh-tokoh mahasiswa yang kelulusannya tertunda-tunda dan kuliahnya terkatung-katung atau mereka yang telah lulus tetapi tidak kunjung memperoleh pekerjaan.

"Gus Dur tidak bisa menjamin kehidupan saya. Sampai sekarang saya belum juga dapat pekerjaan," ujar seorang lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, yang ditemui saat berbincang-bincang dengan sejumlah aktivis mahasiswa yang akan menggelar aksi mendukung Pansus Buloggate dan Bruneigate.

KEKUATAN gerakan mahasiswa yang bergerak saat ini tidak banyak berbeda dengan polarisasi yang terjadi yang terjadi di tingkat elite politik. Mereka terpecah dalam kelompok anti-Abdurrahman Wahid, pendukung Abdurrahman Wahid, dan kelompok di tengah yang masih ragu-ragu. Kehadiran mereka dimeriahkan dengan sejumlah massa demonstran bayaran dan massa yang digerakkan oleh partai politik, yang mungkin akan terus bertambah dalam pekan ini. Kemurnian gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral makin diragukan. Mereka tidak banyak berbeda dengan massa rakyat yang mudah diombang-ambingkan oleh kepentingan elite politik yang mengutamakan kekuasan. Dalam keadaan seperti itu tidak mudah gerakan mahasiswa tahun 2001 dapat merebut hati rakyat pada umumnya. Peran sebagai gerakan moral jangan-jangan direduksi menjadi sekadar kerumunan massa pengikut.

Dulu gerakan mahasiswa yang terserpih-serpih, tanpa pemimpin, menjadi sebuah mozaik yang membentuk kesatuan gerakan untuk meruntuhkan sebuah rezim yang lalim. Serpihan-serpihan itu kini tidak membentuk sebuah mozaik yang membuat orang kagum tetapi menjadi bagian dari sebuah kekuatan dan masyarakat yang terbelah.
Agus Haryadi, mantan aktivis Forum Salemba, mencoba menjelaskan mengapa gerakan mahasiswa yang ada sekarang tidak satu seperti dulu. Gerakan Mei 1998, kata Agus, memiliki musuh yang jelas, yakni Soeharto. Apa yang terjadi sekarang tidak berbeda dengan gerakan tersebut. "Sama seperti dulu, semula banyak mahasiswa yang takut dan ragu-ragu. Sekarang ini kita tengah menuju kristalisasi pendapat di kalangan mahasiswa. Ketika angin berembus cukup kuat, saya yakin mereka juga akan ikut," kata Agus yang masih menjalin hubungan dekat dengan para aktivis organisasi formal kemahasiswaan.

Fanni, aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, mengemukakan, gerakan mahasiswa saat ini memang agak berbeda dengan gerakan tahun 1998. Pada tahun 1998 ada musuh bersama yang sama. Namun saat ini yang dipermasalahkan adalah tata nilainya. Namun, Fanni mengelak bahwa gerakan para aktivis organisasi formal kemahasiswaan yang ada saat ini terkait dengan KAMMI atau HMI. "Kami berjalan sendiri, kami punya visi sendiri, yang menjadi ukuran kami adalah enam visi reformasi. Ketika agenda itu tidak dijalankan, apakah oleh Presiden atau MPR, kami akan terus bergerak," ujarnya.

Masinton, aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), menuduh para aktivis organisasi formal kemahasiswaan telah menjadi partisan politik. Mobilisasi massa mahasiswa dengan isu Buloggate dan Bruneigate, menurut dia, patut dipertanyakan. Alasannya, kalau mau jujur DPR mestinya juga menuntaskan kasus penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai ratusan trilyun rupiah, bukannya terpaku pada penyimpangan dana Yanatera Bulog. "Mahasiswa sekarang memang sudah jadi partisan politik. Mereka itulah dulu para pendukung kekuasaan BJ Habibie," kata Masinton.

Namun, menurut Agus Haryadi, tuduhan itu tidak beralasan karena aktivis organisasi formal kemahasiswaan yang tergabung dalam Forum Salemba maupun badan-badan eksekutif mahasiswa bersikap kritis terhadap pemerintahan Habibie dan memperjuangkan terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Itu justru tidak dilakukan oleh Forkot dan lain-lainnya yang justru menyuarakan penolakan terhadap pemilu.

Fadjroel Rachman, anggota Presidium Forum Pascasarjana UI, berpendapat bahwa mayoritas mahasiswa yang menyuarakan pembubaran Orde Baru dan Golkar bukan berarti mereka pendukung Abdurrahman Wahid. Mahasiswa, kata Fadjroel, mengetahui bahwa dalang konflik elite politik saat ini adalah Golkar. Golkar memanfaatkan konflik politik untuk melindungi diri dari upaya-upaya semua elemen yang ingin menjalankan reformasi dan demokrasi.

"Bila Gus Dur terbukti secara hukum terlibat, mahasiswa tentu akan menuntut ia mundur. Namun bila tidak, seruan mahasiswa terhadap pembubaran Golkar akan makin gencar," kata Fadjroel.

Akan tetapi, Aznil, mahasiswa Universitas Mercu Buana yang pernah dihajar aparat saat bersama delapan kawannya hendak menerobos Istana semasa kekuasaan Habibie, menyatakan bahwa gerakan mahasiswa saat ini telah cacat. Mahasiswa terjebak dalam blok-blok politik, baik yang anti-Abdurrahman Wahid dengan dibungkus isu dukungan terhadap Pansus Buloggate dan Bruneigate ataukah para pendukung Abdurrahman Wahid. Mestinya gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral berpihak pada rakyat, independen, dan tidak ikut dalam blok-blok politik.

"Saya kira rakyat sudah muak dengan gerakan mahasiswa. Perjuangan mahasiswa selama ini hanya dimanfaatkan untuk kepentingan elite. Mereka lupa bahwa demokrasi ini dibangun di atas darah, keringat, dan nyawa teman-teman," kata Aznil. (wis/win)

Student rally turns violent, two injured and three missing

Jakarta Post - May 15, 2001

Jakarta -- A rally by students demanding the dissolution of the former ruling Golkar Party turned violent on Monday when demonstrators clashed with police in front of the Ministry of Defense, leaving two students injured and three others missing.

The violence continued when the police chased the demonstrators, riding in minibuses, to Jl. Kyai Tapa in West Jakarta, according to student activist Masinton of the Indonesian Fighters Youth Forum (FPPI).

The students took shelter on the nearby campus of the College of Management and Computer Science. The demonstrators, helped by locals, then proceeded to search for vehicles belonging to the military and police, burning one police motorcycle.

West Jakarta Police chief Sr. Comr. Iwan N. Ismet confirmed the destroyed motorcycle belonged to the West Jakarta Police, which deployed six motorcycle officers to Jl. Kyai Tapa.

"The students attacked one military officer who was walking on the street. The police fired tear gas to stop the action," Iwan told The Jakarta Post and Metro TV at his office.

"The students who were on the campus then ran out and attacked the police. One of the six motorcycle officers fell and the students burned his motorcycle," Iwan said.

A crowd of about 3,000 people gathered at the scene, creating a massive traffic jam and making the situation more chaotic, according to the officer.

To restore order and disperse the crowd, two companies of police officers, including 80 personnel from the West Jakarta Police, were deployed to the scene. By 6:30 p.m. the situation had returned to normal. Iwan said no arrests were made, but he vowed to investigate the incident to discover who was responsible for the attacks on the officers.

The demonstration began peacefully when hundreds of students in 15 minibuses arrived in front of the House of Representatives in Central Jakarta at about noon.

The demonstrators came from FPPI, the Jakarta Student Association, the City Front (Forkot), the Trisakti Student Action Forum and the Pancasila Student Movement for Reform.

The students demanded the dissolution of the Golkar Party and the establishment of a tribunal for Indonesian generals suspected of committing human rights violations. The students left the House for the Ministry of Defense at about 2:30 p.m.

The demonstrators, barred from entering the ministry, held a free speech forum on the street in front of the ministry. As the students were preparing to depart, two trucks transporting police officers passed the scene. "We became involved in a war of words. The police got angry and started hitting the windows of our busses, injuring two students," Masinton said.

He identified the injured students as Andi Baylo and Rizal, both students of Trisakti University. They were taken to Pertamina General Hospital in Cempaka Putih, East Jakarta, for treatment.

When the police fired tear gas, the students got onto the minibuses and fled along Jl. Harmony to Jl. Roxy and then to Jl. Kyai Tapa, with the police pursuing them.

"We were angry so, with the help of locals who sympathized with us, we started to search for military and police vehicles passing along the street," Masinton said, admitting that the students were responsible for burning the police motorcycle.

Masinton said three students went missing in the melee. He identified the three as Agung of Satyanegara University and Nabil and Doly of Trisakti University.

14 April 2009 RAY RANGKUTI : Jutaan Surat Suara Rusak Tetap Dipakai

Meski akhirnya sesuai jadwal, pelaksanaan pemilu legislatif pada Kamis (9/4) ini sejatinya tak layak untuk dilaksanan.

INI terlalu dipaksakan,” ujar mantan Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti kepada Moh Anshari dari Indonesia Monitor, Kamis (2/4). Berikut ini wawancara dengan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) itu.

Mengapa dipaksakan?

Pertama, belum ada kepastian soal DPT (daftar pemilih tetap) yang valid. KPU sudah merevisi beberapa kali, tapi tidak diumumkan. Kita nggak mendengar berapa total dari keseluruhan pemilih dalam DPT. Kedua, soal surat suara. Surat suara yang rusak jumlah puluhan juta, tapi karena nampaknya menyulitkan KPU, surat suara rusak itu kayaknya diperbolehkan. Tapi sesuai standar pemilu, surat suara rusak itu nggak benar. Masak kita harus menerima surat suara yang sudah tercoret, tercontreng, dan distempel. Padahal, itu nggak boleh.

Kalau begitu keadaannya, apa bisa dibilang KPU melegalkan praktik kecurangan?

Kalau memang terbukti terjadi kecurangan di berbagai tempat, kita harus meminta pertanggungjawaban KPU. Termasuk, misalnya, kalau nanti masyarakat marah karena mendapatkan namanya sudah distempel pakai stiker. Sangat layak kalau caleg juga marah karena tahu namanya distempel pakai stiker. Mereka bisa menggugat KPU, karena memperlakukan mereka secara tidak adil. Yang lain namanya mentereng tanpa noda, malah sebagian namanya distempel pakai stiker.

Banyak aturan pemilu yang belum dipahami masyarakat, bahkan oleh politisi. Apa ini berpotensi menimbulkan permasalahan di belakang hari?

Ya. Pasti otomatis itu. Misalnya, soal penundaan pemilu. Yang dikatakan boleh itu seperti apa? Sekarang, satu-satunya yang mengerti dan paham aturan pemilu hanya penyelenggara. Padahal, ini sangat berbahaya. Karena nanti akan banyak gugatan dari masyarakat. Mereka berpatokan pada undangundang, padahal kenyataannya berbeda. Setidaknya itu menyulitkan kalau sosialisasi aturan baru itu tidak sampai ke masyarakat luas. Itu akan menimbulkan tindakan-tindakan yang tidak sehat.

Anda memprediksi KPU akan panen gugatan?

Ya pasti.

Apa ada kemungkinan chaos?

Agak susah memprediksinya. Tapi kita sekarang harus lebih hati-hati.

Kalau terjadi sengketa dan tindak kecurangan, bagaimana penyelesaian yang adil?

Tentu melalui pengadilan. Mereka yang dikecewakan dan merasa diperlakukan tidak adil oleh KPU, mereka bisa melakukan gugatan ke pengadilan. Tapi, sangat tergantung materinya. Kalau materinya berkenaan dengan pidana, tentunya ke polisi. Kalau berkaitan dengan perdata, bisa ke MK dan MA.

Apakah penyelesaian lewat MK bisa dijamin fair?

Itu di luar. Itu soal kemampuan lembaga peradilan dalam menyelesaikan berbagai persoalan.

Bagaimana sebaiknya sikap elite parpol yang nanti kecewa?

Saya pikir mereka jangan menunggu masalah sampai nanti. Hal-hal yang bisa dipersoalkan dari sekarang, ya mereka harus cepat persoalkan. Kalau hal yang bisa digugat sekarang, gugatlah sekarang. Jangan digugat di akhir. Kebiasaan kita menyelesaikan masalah di akhir itu harus dihindari, karena kenyataannya kalau nanti sudah ditetapkan pasti akan sulit untuk dilakukan pembelaaan.

Dengan banyaknya potensi kecurangan dan sengketa pemilu, bagaimana kinerja Bawaslu saat ini?

Bawaslu sami mawon (sama saja). Tidak ada fungsinya. Saya justru merekomendasikan Bawaslu dibubarkan saja. Ke depan nggak perlu lagi. Coba lihat, Bawaslu hanya sibuk ngurusi yang kecil-kecil, sepele-sepele saja. Nggak ada yang serius. Soal DPT, mereka memersoalkan secara tegas. Kita amat meragukan, apakah Bawaslu masih dianggap perlu lagi.

Bagaimana tanggapan Anda soal sistem undi bagi peserta pemilu yang perolehannya suaranya sama?

Itu nggak benar. Itulah yang saya sebut KPU sekarang kacau. Kalau pakai undian, ya nggak usah pakai pemilu. Pemilu kan harus kompetisi. Ini kok orang menang pakai diundi. ■
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=1878&Itemid=33
Comments (0)Add Comment

20 January 2009, Palu Mahfud Penabuh Konflik

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak menjadi isu sensitif di beberapa parpol. Rawan sebagai pemicu konflik.

MUHAMMAD Sholeh (34) tak menyangka jika gugatan sistem nomor urut caleg yang ia layangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) membuahkan hasil. Lembaga pimpinan Mahfud MD itu mengabulkan gugatan Sholeh dan tiga penggugat lain -Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima S- sehingga penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Namun, kader PDIP Jatim itu harus menanggung konsekuensi. Gara-gara gugatannya itu, ia yang awalnya masuk daftar caleg sementara (DCS) PDIP untuk DPRD Jatim dengan nomor urut 7, tiba-tiba di daftar caleg tetap (DCT) namanya lenyap.

Tak hanya itu. Mantan aktivis PRD itu juga harus siap-siap jadi musuh bersama (common enemy) elite-elite PDIP yang namanya bertengger di urutan nomor atas sebagai calon anggota DPR. Sebab, setelah MK mengabulkan gugatan Sholeh, penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, bukan lagi nomor urut. Padahal, PDIP adalah salah satu parpol yang “mendewakan” nomor urut. Selain PDIP, ada PKS, PPP, PBB, dan PDP yang sebelumnya menerapkan sistem nomor urut.

Penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak jelas meresahkan caleg-caleg dari kalangan elite partai yang nangkring di nomor urut kecil, seperti nomor 1 dan 2. Mereka yang tadinya bisa dengan mudah melenggang ke Senayan atau ke DPRD untuk daerahdaerah yang jadi kantong massa partai mereka, kini harus berjibaku dulu dengan kawan-kawan separtai di dapil (daerah pemilihan) yang sama.

Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) DPP PDIP Taufiq Kiemas (TK), misalnya. Dengan duduk di nomor urut 1 untuk dapil Jabar II, seharusnya ia sudah bisa dipastikan bisa melangkah ke Senayan dengan asumsi PDIP dapat 1 kursi di dapil tersebut. Namun, setelah keluar putusan MK, ia mesti was-was. Sebab, di nomor urut 2 ada Rieke Diah Pitaloka.

Pemeran “Oneng” di komedi situasi (komsit) Bajaj Bajuri itu pada awalnya dipasang di bawah TK selain untuk kepentingan quota perempuan 30 persen juga sebagai vote getter (pengumpul suara) untuk dapil tersebut. Dengan target, memastikan TK bisa ke Senayan. Namun, kini keduanya harus bersaing.

Di dapil DKI II, ada Eriko Sotarduga, Sekretaris DPD PDIP DKI, di nomor urut 1. Ia mesti bersaing dengan Syahriz Ferdian Aziz di nomor 2 dan mantan Ketua LBH Jakarta Apong Herlina di nomor urut 3. Di dapil DKI III, anggota DPR FPDIP Effendi MS Simbolon di nomor urut 1 harus bersaing dengan Judil Herry Justam (2), Hera Diah Tarto Sudiro (3), dan Masinton Pasaribu (10).

Di dapil Jateng I ada Ketua DPP PDIP Tjahjo Kumolo di nomor urut 1 yang harus bersaing dengan Daniel Budi Setiawan (2) dan Willem Max Tutuarima (6). Ada juga Sony Keraf di nomor urut 1 dapil Jateng III yang harus bersaing dengan Imam Suroso (3), paranormal kondang di dapil tersebut. Muhammad Prakosa yang maju di dapil Jateng IX nomor urut 1 harus siap menghadapi kader muda Dewi Aryani Hilman (3). Puan Maharani yang maju dari dapil Jateng V juga harus bersaing dengan anggota DPR Aria Bima (3).

Yang menjadi pertanyaan, jika yang mendapat suara terbanyak ternyata caleg di nomor bawah, maukah mereka menyerahkan kursinya ke elite partai yang duduk di nomor atas? Sebab, ada indikasi, PDIP akan tetap keukeuh menerapkan sistem nomor urut, tapi dengan “cara mereka”, yakni dengan pendekatan “kebijakan parpol”.

“Jika aturan mainnya (di partai) seperti itu dan sudah diputuskan DPP, kita sebagai kader yang loyal harus menaati keputusan itu, saya harus hormati,” ujar Masinton Pasaribu, caleg PDIP dapil DKI III dengan nomor urut 10, kepada Indonesia Monitor, Senin (12/1).

Jika Masinton yang mantan aktivis itu “tegak lurus” mengikuti kebijakan partainya, tidak demikian dengan Dhea Prekasa Yoedha, caleg PDIP untuk DPRD DKI dari dapil Jaktim nomor urut 8. Deklarator AJI (Aliansi Jurnalis Independen) ini menuturkan, semua partai terikat dengan putusan MK soal penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Makanya, jika sampai terjadi pengalihan perolehan kursi, ia akan menanggapinya secara kritis.

“Saya pikir tidak semudah itu. Tapi, bahwa DPP punya kebijakan, antara lain untuk pengamanan kepentingan partai, bisa saja ada caleg terpilih dengan suara terbanyak, ternyata orang itu inkompenten, maka DPP bisa menggantinya. Kita tidak bisa serta merta main ganti begitu saja. Artinya ada pertimbangan-pertimbangan khusus dari partai. Tidak semudah itu mengganti caleg jadi menjadi caleg tidak jadi,” papar Dhea Prekasa Yoedha kepada Indonesia Monitor, Senin (12/1).

Jika DPP tidak bijak dalam melakukan penggantian? “Itu bisa menimbulkan masalah. Risikonya sangat tinggi, konsekuensinya tinggi. Pertama, soal kompetensi, kedua soal tanggung jawab caleg kepada para pemilihnya. Tapi, saya yakin pimpinan partai, Megawati, cukup bijak, dan saya yakin ia tidak mau disebut sebagai pimpinan tidak tahu diri, apalagi menghadapi pilpres. Tidak segampang itu dia mendengarkan omongan orang-orang yang tidak jelas,” paparnya.


■ Sri Widodo
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=1192&Itemid=33

18 November 2008 Caleg Modal Besar Incar Balik Modal

Demi merebut kursi di Senayan setiap caleg membutuhkan dana besar. Bagaimana dengan caleg bermodal kecil?

UNTUK meraih simpati dan popularitas dari pemilih calon legislatif dalam Pemilu 2009 tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi enam bulan menjelang pemilu legislatif digelar sejumlah caleg mengaku kewalahan karena hampir setiap hari harus berurusan dengan proposal yang disodorkan masyarakat. Mulai dari acara kawinan, kegiatan sosial hingga perbaikan
masjid.

Seorang caleg di daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur VIII mengatakan, kebutuhan dana kampanye Pemilu 2009 dua kali lebih besar daripada Pemilu 2004. Saat itu semua harga kebutuhan logistik masih relatif murah. Selain itu, katanya, dalam Pemilu 2009 yang disosialisasikan adalah calegnya. Dengan sistem penentuan suara terbanyak, otomatis dana yang dikeluarkan caleg sangat tinggi.

’’Biaya yang paling tertinggi, adalah untuk alat peraga dan sosialisasi caleg,’’ ujarnya.

Dia mengalkulasi, untuk caleg di dapil Jatim VIII yang meliputi enam kabupaten/kota minim dibutuhkan biaya sekitar Rp 500 juta. Dana itu untuk backdrop kampanye di setiap kecamatan, serta 100 spanduk sekitar Rp 106 juta. Belanja 10 ribu kaos dan 20 ribu kalender menghabirkan Rp 90 juta.

Sedangkan untuk ongkos sosialisasi atau temu konstituen di enam kabupaten/kota terkuras sekitar Rp 376 juta.

’’Belum lagi untuk biaya tak terduga, misalnya untuk sumbangan bisa mencapai Rp 100 juta,’’ ungkapnya kepada Indonesia Monitor.

Besarnya dana kampanye disadari Pius Lustrilanang yang sudah dua kali nyaleg di tahun 1999 dan 2004. Menurutnya, kesulitan mencari dana (fund rising) kampanye akan dialami aktivis-aktivis yang mencoba nasib menjadi caleg. Apalagi, jika tidak memiliki keluasan komunikasi politik dan networking sosial
selama berkecimpung di dunia akitivis.

’’Mereka (aktivis) harus belajar karena memasuki dunia yang berbeda. Harus cerdas melakukan kampanye yang efektif, karena kampanye jelas menelan biaya yang tidak sedikit,’’ tegasnya.

Jebolan pascasarjana Ilmu Kepolisian UI ini menambahkan, para aktivis yang nyaleg di partai-partai kecil akan semakin sulit menjaring dana.

Soalnya, para donator politik akan berhitung peluang kecilbesarnya keberhasilan masuk Senayan. Contohnya, aktivis buruh Dita Indah Sari (Caleg PBR Jateng V) yang diprediksi sedang kesulitan menggalang dana.

’’Saya bisa katakan dia kesulitan soal dana. Dita salah pilih partai. Sorry to say itu kan bagi saya Dita sama saja ‘bunuh diri’. Tapi, mudah-mudahan Dita sudah melakukan kalkulasi untuk hal itu,’’ paparnya.

Kegundahan beratnya mencari dana politik 2009 dirasakan aktivis Famred (Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi) Masinton Pasaribu. Untuk maju menjadi caleg DPR , Masinton tak tahu lagi harus mencari dana untuk kelangsungan kampanyenya. Hal itu hampir semuanya dialami 200 aktivis mahasiswa 1998 yang menjadi caleg dalam Pemilu 2009.

Idealnya kampanye semakin kecil modal semakin baik. Artinya calon legislatif mampu memobilisasi dukungan tanpa harus dengan uang.

Adanya kenyataan untuk menjadi caleg harus mengeluarkan biaya besar, menurutnya, dicurigai sebagai pemicu banyak caleg tersangkut masalah hukum. Ibaratnya keluar modal harus kembali modal.

Hal itu dikemukakan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow, kepada Indonesia Monitor. Memang untuk urusan dana, menurutnya, sangat relatif. Namun, idealnya semakin minim modal semakin baik.

’’Itu menunjukkan caleg tersebut mampu memobilisasi dukungan tanpa harus dengan uang,’’ katanya. Kendati begitu, Jeirry tetap tak menyampingkan faktor modal. Menurutnya, bagaimana pun modal perlu namun tidak harus banyak. Semakin banyak uang, katanya, sangat memungkinkan untuk munculnya potensi politik uang.

’’Karena semakin banyak uang yang dikeluarkan oleh seorang caleg maka semakin besar kemungkinan untuk korupsi. Logikanya, setelah caleg tersebut menduduki posisi yang diharapkanya ia akan berpikir untuk mengembalikan modalnya. Namun tidak bisa dipukul rata juga semua akan melakukan hal itu,’’ papar Jeirry.

Jeirry menyarankan, caleg hendaknya menggunakan kampanye turun langsung ke masyarakat. Setidaknya jenjang waktu enam bulan untuk kampanye cukup memadai. ’’Pastinya lebih efektif dibanding dengan kampanye iklan di media dan spanduk,’’ katanya.

■ Dimas Ryandi
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=766&Itemid=34

Membahas biaya kampanye

Jumat, 2009 Maret 1
oleh: masykur

Menarik sekali tema yang diangkat oleh SUN TV, sebuah televisi lokal jakarta, anak perusahaan RCTI. Tema yang diangkat adalah tentang biaya kampanye bagi calon DPR. acara ini dinamai “contreng” yang menghadirkan syafii hasan dari partai demokrat, yudi latif sebagai pakar politik, dan masinton pasaribu dari partai PDI.

Acara ini diadakan di mall menara kebun sirih pada 4 maret 2009. Acara yang sedianya dimulai pukul 19.00 WIB. baru bisa dimulai pada pukul 20.30 karena hujan mengguyur lokasi. Semua peralatan syouting sudah ditata dan dipersiapkan. Meja dan 4 kursi di seting berada di depan tangga. Musisi juga sudah siap dengan peralatanya, kamera dan lampu sudah stanby. Para pasukan BK (benteng kedaulatan) yang diundang sebagai audiens sudah berada pada posisi duduk di tangga berjejer sekitar 11 orang. Mereka memakai pakaian hitam semua dengan baju bertuliskan “Benteng kedaulatan” di punggung. Namun ketika produser akan memulai, hujan tiba-tiba datang tanpa permisi. Akhirnya si produser yang baru menata segelas kopi di meja membatalkan acara tersebut. “cut,..cut,..” perintahnya.

Semua kru langsung berlarian untuk menyelamatkan peralatannya. ada yang lari ke atas tangga megambil lampu yang sudah ditata rapi, ada yang mengemasi kamera yang sudah stanby, ada yang menggulung kabel dan ada yang berteriak dengan nada perintah karena masih ada peralatan yang masih tertinggal. Panggung alami dipelataran mall disulap menjadi sepi lagi seperti biasanya. Hanya air yang mengisi. Pasukan BK—salah satu organisasi masa pendukung cucu menantu sudirman—langsung menyelamatkan diri dihalaman mall. Mereka saling bertanya apakah gagal atau tetap dimulai karena kayaknya hujan juga tidak kunjung reda. Padahal para panelis sudah datang. Disini ada yang sempat nclekop “ga sewa pawang hujan sih”?

Salah satu pasukan BK sedang sms ke salah stu kru tv menanyakan keberlanjutanya, “dilanjutkan atau tidak mba” itu isi dari smsnya karea waktu ngetik dia sambil ngomong. Tidak lama kemudian ada kru dari tv dengan perawakan kecil memakai jilbab dan sambil senyum menjawab. “Nanti mas ya karna baru seting tempa” kata kru tadi sambil memberi senyum. Pasukan BK langsung menganggukkan kepala dan membalas senyuman.

Melihat sibuknya kru Sun Tv, acara “contreng” kelihatanya dilanjutkan, namun seting tempat mungkin berbeda. Dari kejauhan, beberapa lampu tampak sudah terang. Sebagian kru juga terlihat menarik kable kesana kemari.

Setelah menunggu lama, akhirnya semua audiens dan panelis dipanggil dan dipersilahkan duduk di tempat yang sudah disediakan. Seting tempat memang berbeda dari sebelumnya. Sekarang berada di halaman yang relatif sempit tapi memang tidak kena hujan.

Panggungnya alami seperti biasa, hanya dikasih empat kursi untuk pembicara. Sekitar tiga meter serong ke kanan kamera sudah stanby, serong ke kiri, kamera juga sudah stanby, dan lurus kedepan juga ada kamera. Posisi duduk pembicara adalah dari kiri masinton, calon DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Seperti tema yang diangkat tentang dana kampanye bagi caleg, masinton hanya memakai kemeja merah celana biasa dan sandalan. Berbeda dengan pembicara yang berada pada posisi ketiga setelah masinton, karena posisi kedua diduduki oleh Yudi latif sebagai pembanding. Caleg satunya ini dari gaya pakaianya sudah meyakinkan kalau dia dari caleg kaya. Memakai jaz, dasi, dan bersepatu mengkilap.

Di posisi paling kanan adalah moderator pemandu acara. Dan disamping kamera juga terlihat wanita cantik dengan terus memberi senyum dan sesekali mengahafal rangkaian kata-kata yang nantinya akan disapaikan untuk menhantarkan acara dialog tersebut. Produser mulai memberikan kode untuk segera mulai, wanita yang mempunyai nama riska sebagai Host tersebut segera kedepan setelah dikasih aba-aba oleh pemandu kamera dibelakang. Acara tidka sekali jadi, beberapa kali diulang-ulang karena masih ada kesalahan, entah dari host, musik yang mengiringi, atau dari moderatornya. Sampai mereka siap semua, baru dimulai. Semua di atur, bahkan tepuk tangan pun di atur dan dikasih kode.

Pemandu acara mulai memperkenalkan pembicara. Masinton dari caleg DPR RI PDIP nomor 10, syarif hasan caeg DPR RI dari partai demokrat nomor 1, dan pembandingnya adalah Yudi latif dari pakar politik. Pembahasan pertama moderator memberi prolog tentang metode berkampanye, karena untuk kampanye saja biaya sangat tinggi, bahkan mencapai berjuta-juta. Bagaimana masing-masing calon legislatif ini mensiasati. Kalau yang punya uang tidak masalah, namun yang tidak punya uang ini bagaimana.

Lontaran pertama ini diberikan kepada syarif hasan, dan langsung ditanggapi. Bahawa untuk biaya kampanye sangat mahal, membuat baliho saja yang agak besar bisa mencapai satu setengah juta, itu satu. Belum bikin kaosnya. Tapi itu adalah salah satu strategi kampanye.
Bagi masinton, strategi yang dipakai dalam berkampanye berbeda dari yang dikatakan syarif. Masinton bermodal sosial, mengandalkan modal tersebut untuk bersialisai mendatangi masyarakat. Dia beserta masyarakat membahas dan meminta doa restu. Karena bagi masinton, tidak mau terjebak dengan logika politik lama, yaitu bagi-bagi uang atau sembako. Karena demokrasi adalah partisipasi. Kunci partisipasi ini yang akan dipakai dengan melibatkan semua masyarakat. “saya terus terang saja tidak mempunyai uang. Bahkan saya meminta sumbangan kepada temen-temen untuk membiayai bikin spanduk dan kartu nama” kata masinton.

Masyarakat memang harus diajak membahas, karena tidak punya uang. Misalkan kaos, mereka disuruh untuk menyablon sendiri, begitu juga alat-alat kampanye yang lain. Karena kalau memakai kampanye media, itu sangat mahal costnya.
……………………..[bersambung]
Diposkan oleh maskur hasan di 01:27

PDI-P Protes Bawaslu

Harian BERITA KOTA
Kamis, 02 April 2009 04:18
JAKARTA-PDIP menyatakan protes keras kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena memasukkan partainya dalam daftar partai politik yang dicoret oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan diumumkan Bawaslu pada Selasa (31/3) lalu. Padahal, menurut anggota Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP Masinton Pasaribu kepada Berita Kota di Jakarta, Rabu (1/4), tidak ada satu pun struktur partainya yang lupa menyerahkan rekening kampanye maupun dana awal kampanye. Karena itu, politisi PDIP itu meminta agar Bawaslu kembali melakukan cek silang terhadap informasi yang telah mereka sampaikan itu. Bahkan, PDIP menuntut Bawaslu agar melakukan validasi data mereka dan mengonfirmasikannya dengan PDIP sehingga dapat diketahui kebenarannya. Setelah itu, baru mereka boleh mengumumkannya kepada publik dan bukannya langsung diumumkan dengan begitu saja. Masinton menambahkan, pihaknya akan menuntut agar Bawaslu minta maaf dan meralat informasi yang telah mereka sampaikan kalau terbukti salah. “Harusnya mereka lakukan cek silang ke bawah dan juga ke partai agar informasinya valid. Jangan main umumkan saja. Karena itu kami minta Bawaslu minta maaf kalau terbukti salah,” tandasnya. O cr-6

Golput Warnai Pemilihan Presiden 2004 Juli 8, 2004

Aksi golput (golongan putih/tidak memilih) kembali menampilkan diri pada pemilihan presiden (pilpres) 5 Juli 2004. Di kantor YLBHI Jakarta, Sabtu (3/7) lalu sekelompok aktifis gerakan pemuda mendeklarasikan sikap golput. Mereka adalah Forum Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), HMI MPO, Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi (LS-ADI) dan Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS). Selain itu juga tergabung beberapa aktifis yang mengatasnamakan pribadi seperti Syafieq Alieha, Fadjrul Rahman dan Masinton Pasaribu.

Alasan mereka untuk bersikap golput karena lima pasangan capres-cawapres dianggap mengecewakan. Alasan lain semua capres-cawapres dianggap mengobral janji palsu, memutarbalikkan fakta sosial yang ada. Capres-cawapres yang punya latar belakang pernah memegang kekuasaan dianggap tidak pernah menggunakan jabatannya untuk kepentingan rakyat. Bahkan cenderung dinilai telah memanipulasi keterbelakangan rakyat untuk melegitimasi kekuasaan.

Tentu, alasan golput mereka tidak sama dengan Gus Dur yang juga punya sikap yang sama. Gus Dur bersikap golput karena dirinya dinyatakan tidak lolos seleksi persyaratan capres oleh KPU. Gus Dur kecewa terhadap KPU dan sikap golputnya sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dialaminya. Golputnya Gus Dur sebagai sikap pribadi dan tidak mewakili institusi PKB yang dipimpinnya.

Oleh karena itu di pelbagai kesempatan Gus Dur selain mensosialisikan sikap golputnya, juga menyatakan bahwa pasangan Wiranto-Gus Solah layak dipilih karena dianggap bisa menumbuhkan proses demokrasi. Pasangan capres-cawapres ini memang didukung Partai Golkar dan PKB. Mau tidak mau Gus Dur harus memberikan penilaian positip terhadap Wiranto dan Gus Solah (adik kandung Gus Dur).

Menilik ideologi gerakan golput di Indonesia, memang punya sejarah panjang. Gerakan ini lahir pada masa orde baru berkuasa menggelar pemilu 1971 (pemilu pertama) sampai dengan pemilu 1997 (pemilu terakhir). Mereka bersikap golput karena tidak setuju dengan sistem politik yang diterapkan pemerintah orde baru. Ketika pemerintahan reformasi pun gerakan golput tetap eksis pada pemilu 1999. Jumlah golput pada pemilu kali ini menurun cukup drastis. Karena sistem politik sudah mengalami perubahan sehingga ada 48 parpol peserta pemilu.

Setelah lima tahun berjalan, ternyata penguasa baru dinegeri ini (dari parpol) dinilai mengecewakan rakyat. Maka golput pun marak lagi pada pemilu (legislatif) 5 April 2004 yang diikuti 24 parpol itu. Jumlah golput melonjak sampai mencapai angka lebih dari 34,5 juta atau hampir 24 persen. Padahal jumlah golput pada pemilu 1999 hanya berkisar 11 persen.

Ternyata, pada pemilu presiden (pilpres) 5 Juli 2004 juga diwarnai maraknya sikap golput. Belum ada penelitian secara khusus tentang kesamaan personal pelaku golput pada pemilu legislatif dan pilpres. Secara umum harusnya jumlah golput pada pilpres bisa turun karena model pemilihannya secara langsung oleh rakyat. Untuk memastikan teori ini harus menunggu selesainya perhitungan suara secara nasional.

Mengingat pilpres 5 Juli 2004 lalu adalah putaran pertama, maka sangat menarik untuk memprediksi potensi golput pada pilpres putaran kedua yakni 20 September 2004 nanti. Pertama, pengikut golput yang sekarang ini tetap konsisten dengan sikap politiknya. Hal itu dilakukan karena alasan mereka bersikap golput tetap sama yakni tidak suka dengan figur lima pasangan capres-cawapres yang ada. Sedangkan yang lolos ikut pilpres putaran kedua nanti adalah dua pasangan diantara lima capres-cawapres itu juga.

Kedua, akan ada penambahan banyaknya golput baru yang berasal dari mantan pendukung tiga pasangan capres-cawapres yang kalah dalam pilpres putaran pertama. Sikap golput ini logikanya sederhana yakni jago capres-cawapres mereka sudah kalah maka tidak perlu ada lagi calon yang harus didukung. Menghadapi pemilih jenis ini tentu saja pasangan capres-cawapres dan elit parpol pendukungnya harus hati-hati.

Jenis golput baru ini pasti kecewa kalau capres-cawapres dan elit parpolnya melakukan kaolisi dengan bargaining “menjual” suara pendukungnya kepada salah satu capres di putaran kedua. Tentu mereka akan menghukum parpol tersebut pada pemilu berikutnya. Mereka tidak akan mendukung parpol itu lagi pada pemilu 2009. Bahkan capres-cawapres yang bakal dimunculkan parpol tersebut pada pilpres 2009 juga tidak bakalan didukung.

Ketiga, sebagain pengikut golput (putaran pertama) akan berubah tidak golput lagi pada pilpres putaran kedua. Realitas di lapangan memang menunjukkan ada kelompok pemilih yang bersikap seperti ini. Mereka akan memberikan dukungan kepada salah satu pasangan capres-cawapres yang tampil di putaran kedua. Bahkan tidak tertutup kemungkinan Gus Dur akan mencabut sikap golputnya pada pilpres putaran kedua karena suatu alasan politik tertentu.

REPDEM: PERUBAHAN BERSAMA MEGAWATI


Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) dideklarasikan 52 aktivis garis keras berdasarkan kebersamaan dalam cita-cita membangun dan membesarkan PDI Perjuangan untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat. Di berbagai daerah, Repdem disambut positif. Kini telah terbentuk 24 cabang se Indonesia.
Luar biasa! Mungkin kata itulah yang tepat untuk menunjukkan fenomena begitu cepatnya organisasi Relawan Per­juangan Demokrasi Indonesia (Repdem) berkembang. Bayangkan, kurang dari empat bulan sejak dideklarasikan pada 3 Februari 2004, saat ini sudah memiliki 24 cabang di Indonesia. Artinya. organisasi yang bertekad menggalang para aktivis pergerakan ke PDI Perjuangan ini berhasil mem­bangun enam cabang di tingkat kabupaten/kota per bulan. Tentu ini bukanlah pekerjaan ringan.

Sejarah Repdem berawal menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) Putaran II lalu. Pada saat itu, menurut Koordinator Repdem Bambang Beathor Suryadi, yang terjadi adalah Megawati yang mewakili kelompok sipil berhadapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang mewakili kelompok tentara. Demi memperkuat posisi sipil, maka lahirlah elemen-elemen yang mendukung Megawati. "Ada elemen yang menyebut dirinya bari­san sipil bersatu, ja­ringan demokrasi sipil, terus jaringan-jaringan yang menyatakan sipil dan demokrasi," ujar Beathor. Ketika Mega­wati sudah mengatakan kekurangan suara, maka beberapa di antara akti­vis berkumpul di Jatine­gara. Dan di Jatinegara inilah terlontar pembi­caraan untuk mendirikan Repdem yang berafiliasi ke PDI Perjuangan.


"Bergabungnya Masinton yang telah melakukan perlawanan ter­hadap militer, kemudian Budiman Sudjatmiko yang juga menyatakan diri mau ikut ke partai. Ini gabungan dari beberapa kelompok yang menyatakan diri bersedia masuk ke partai PDI Perjuangan," lanjut Beathor.

Patut dicatat, melalui berbagai pendekatan dan komunikasi yang intens, sebagai langkah awal terhimpunlah 52 nama yang selama ini dike­nal sebagai aktivis "garis keras": Mereka siap mendeklarasikan diri sebagai Repdem. Uniknya, dalam organisasi ini tidak hanya aktivis yang dicap "kiri" seperti Budiman Sudjatmiko, Wignyo, dan lain-lain yang bergabung, tetapi aktivis dari Gerakan Pemuda Islam pun ada, seperti Ben Yono.

"Faktor yang mempersatukan adalah cita-cita dan kebersamaan. Memiliki kebersamaan dalam cita-cita membesarkan dan membangun partai," tandas Beathor. Cita-cita bersama itu kemudian dirumuskan dalam sebuah platform yang terdiri dari beberapa point. Salah satunya, ideologi ke­rakyatan berdasarkan Piagam Pancasila 1 Juni 1945 (berdaulat secara politik, mandiri dibidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebuda­yaan).

Mengapa menggunakan nama "relawan"'? "Sempat terpikir gerakan pro-demokrasi. Tapi karena gerakan pro-demokrasi banyak yang menyeberang ke pihak militer yang menindas demokrasi, maka kami alergi menggunakan nama pro-demokrasi. Kami pakailah relawan," jelas Beathor.

Masuknya aktivis Repdem ke PDI Perjuangan mendapat tanggapan positif dari berbagai cabang. Hal ini menunjukkan akar rumput PDI Perjuangan sangat gembira dengan bergabungnya aktivis-akti­vis tersebut. "Saya sangat setuju. Seperti Budi­man Sudjatmiko, yang kami tahu adalah pejuang demokrasi. Sudjatmiko ini orang keras. Mudah­-mudahan bisa mewarnai," kata Ketua DPC Kabu­paten Pandeglang Aris Turis Nadi.

Sebagai organisasi anak muda pro PDI Per­juangan, Repdem tentu memiliki target. Pertama, mendapatkan kembali suara yang hilang sebesar 16 juta suara. Kedua, merebut suara pemilih pemula sebesar 25 juta. Ketiga, meraup suara golput sebesar 20 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar di KPU. Keempat, mengumpul­kan kembali suara kader yang berserakan karena "kecewa" dengan melakukan rekonsiliasi.

Untuk mencapai target tersebut, Repdem memiliki enam agenda. Pertama, aksi protes massal maupun delegasi atas berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Kedua. advokasi kasus perseIisihan rakvat dengan pemerintah. Ketiga, kampanye simpati pemilih pemula dalam bentuk keljasama entertaintment seperti olahraga dan musik. Keempat, kerjasama/binamitra dengan kelompok penggerak golput. Kelima. menggalang solidaritas sosial peduli benca alam (bakti sosial). Keenam, kegiatan kajian seperti diskusi, seminar, dan training atau pendi­dikani politik.

Untuk tetap meneguhkan aktivis yang ber­gabung di dalamnya, Repdem membuat semacam kode etik yang disebut Prinsip Dasar Repdem. Kader-kader Repdem wajib menjunjung tinggi prinsip dasar tersebut. Prinsip dasar itu ada tujuh. Di antaranya, pertama, Piagam PDl Perjuangan, AD/ART.Kedua, menjaga semangat dan ketu­lusan aktivis partai agar dekat dan erat dengan rakyat. Ketiga, mengawal terlaksananya program partai di kalangan massa rakyat secara disiplin. Dan keempat, kader-kader perjuangan yang tidak tinggi hati, ramah pada rakyat, dan mencari keuntungan material dari partai dan dari rakyat".

Repdem ke depan, menurut Masinton Pasaribu sekretaris Repdem, adalah membangun cita-cita nasional, demokrasi, kerakyatan bersama-sama dengan masyarakat atau konstituen PDI Perjuangan lainnya dalam rangka penegakkan kedaulatan . "Seperti apa
yang pernah diutarakan oleh Bung Karno dulu dengan istilah Trisakti. Berdaulat di bidang politik, mandiri dibidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan," kata Masinton.

Lalu bagaimana, soal gagasan perubahan yang kini banyak disebut-sebut menjelang kongres? Masinton setuju dengan perubahan. "Partai memang perlu dibenahi. Repdem sangat mendukung perubahan. Tapi perubahan bersama Mega".


(Arsip K.Prawira: "Repdem: Perubahan bersama Megawati", BANGSA, Edisi 10 Senin 28 Maret 2005)

Perjuangan Kaum Muda Indonesia



Bergerak dan Berubah

Kawanku Bang Masinton Pasaribu,SH

harianto's Site

* Home
* Blog
* Photos
* Music
* Links



Blog Entry Kawanku Masinton Pasaribu,SH Dec 20, '08 7:43 AM
for everyone

Kawanku Bang Masinton Pasaribu,SH

http://www.masinton.blogspot.com



Bang, apakah kau ingat bahwa kita pernah ditembaki bersama?

Kala itu Tragedi Semanggi II, kita bersama kawan-kawan Famred, berjalan jauh dari Manggarai, untuk ditembaki di bawah jembatan Taman Ria Senayan. Pasti kau ingat itu bang.







Apakah kau ingat, kalau kita pernah dipenjara bersama?

Saat itu di Polda Metro Jaya, karena UU No 12 Th 2000, kita dipenjara dan di bela kawan-kawan dari PBHI sebanyak 14 orang pengacaranya.

Kala itu aku ingat, kenakalan kau bang, kau curi pakai baju Polisi, dari dalam lemari ganti mereka, lengkap dengan topi dan celana yang kau pakai sampai kedodoran, di penjara mereka pula. Sampai-sampai hampir saja kau dipukuli Polisi, kalau kawan-kawan tak melindungi tubuh kecilmu itu.

Ingatkah kau, saat ditanyai hakim di pengadilan Jakarta Pusat, kau dan Bernard adalah Mahasiswa tertua yang tertangkap polisi saat itu. hehehe



Bang, banyak orang yang tak akan percaya, bila kau pimpin doa makan, karena pasti kau plesetkan doa “Bapa kami di Surga, Ibu kami di Jakarta, apakabarnya”. Hahaha. Bercandamu itu dahulu selalu membuat kami terpingkal-pingkal…



Bang, aku kagum dengan gerakan kau dan para abang becak yang kau bela. Walau dicemooh orang , tapi kau tetap maju menaiki becak-becak itu, untuk berada paling depan dan membela mereka.





Bang, akupun kagum saat kau selalu berada didepan keluarga korban Mei 98, Trisakti dan Semanggi I dan II. Seakan-akan kau tidak pernah melupakan nyawa kawan-kawan yang telah gugur mendahului kita.





Sekarang kau telah menjadi Caleg PDIP no 10 untuk pemilu nanti. Aku percaya pada kau bang. Bahwa kesederhanaan dan kesetiakawanan akan tetap berada di atas segalanya bagi dirimu.

Pesanku padamu, jangan lagi biarkan rakyat ini meneteskan air mata penderitaan bang, kumohon padamu…perjuangkanlah mereka…

Kemudian jangan kau ikuti 5D nya para anggota dewan yang terhormat yang dahulu kala.

Yang terakhir, bela arwah para pahlawan reformasi, yang sampai saat ini, dibiarkan begitu saja.

Ingat selalu bang…Rakyat Kuasa





Hormatku,

Harianto Talim

Rakyat Biasa.
Tags: masinton kawanku
Prev: 3Juta Lapangan Kerja di 2009
Next: Aku mencintaimu, sumpah deh
reply share

10 CommentsChronological Reverse Threaded
ariefkurni
reply
ariefkurni wrote on Dec 20, '08
Kemaren aq liat dimetro tv bang ttg beliau..
Keren ya pngalaman 98
ariefkurni
reply
ariefkurni wrote on Dec 20, '08
Ga ikut nyaleg bang?
Hee abang2ku jg bnyak yg jd caleg.
Eh liat metro kmaren?pertanyaane sama persis dgn ku,knap budiman sujatmiko ke pdip?
Apa ga aneh,kemana ke kiri an dia skrg?ada deal politik mcm apa?
Hii
njlimet.
Kdg idealsm itu bs luntur klo terbentur
aggiechan
reply
aggiechan wrote on Dec 20, '08
semoga suratnya di baca...
yuniimoet
reply
yuniimoet wrote on Dec 21, '08
uhmmm jadi terharu nih......... :(
t471m
reply
t471m wrote on Dec 21, '08
Hahaha...Arief kiri...tetep aja kiri...Kawan2 aktivis yang mulai masuk parpol, karena perjuangan di jalanan tidak menghasilkan. sehingga mereka berniat mencapainya lewat kekuatan dalam parlemen. untuk ke depannya, yaa berdoa saja semoga yaa. hehehe
t471m
reply
t471m wrote on Dec 21, '08
thanx to salma...atas kunjungannya. hehehe
buat Aggie...sudah ditelp kok orangnya. trus dipaksa suruh baca. hehehe
aggiechan
reply
aggiechan wrote on Dec 21, '08
biar saya gak sia sia waktu peristiwa itu susah pulangkuliahnya gara gara terjebak di taksiiii
t471m
reply
t471m wrote on Dec 21, '08
waduh, jadi ga enak ati.lain kali kalo terjebak macet gara-gara demo...sebut namaku 3 kali...pasti deh...ga efek juga. tetap aja macet.hihihi
niceday11
reply
niceday11 wrote on Dec 21, '08
hmmmmm.....kangen saat-sat itu.
t471m
reply
t471m wrote on Dec 22, '08
Hallo Bro, kemana aja lo?buset habis ke batam ga bawa oleh-oleh. trus menghilang lagi.hehehe tar pemilu pilih kawan gue Masinton yee. hahaha gue kayak tim suksesnya aja.
audio reply video reply
Add a Comment

Kekhawatiran Kembalinya Sistem Orba Perlu Dijawab



Jakarta, Kompas - Munculnya sosok berlatar belakang militer sebagai calon presiden seperti Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono dan Jenderal (Purn) Wiranto disambut kelompok masyarakat dengan perasaan berbeda. Pada satu sisi terpilihnya pensiunan tentara patut disyukuri. Namun, di sisi lain, sebagian masyarakat yang pernah menjadi korban rezim Orde Baru mengkhawatirkan kembalinya sistem politik yang represif.

Dalam kaitan itu, para calon presiden perlu menjawab kekhawatiran sejumlah anggota masyarakat tersebut. "Tidak serta-merta sistem Orde Baru kembali dengan menguatnya sosok berlatar belakang militer seperti Yudhoyono dan Wiranto. Tetapi, banyak kalangan tetap khawatir kembalinya sistem Orde Baru lantaran keterkaitan erat tokoh berlatar belakang militer dengan masa lalu. Tokoh itu sedang menjabat dan merupakan pendukung sistem Orde Baru," ujar peneliti dan pengamat militer dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Edy Prasetyono, yang dihubungi di Surabaya, Rabu (21/4).

Kemarin, di Gedung Perpustakaan Nasional Jakarta, lebih dari seratus aktivis 1998 berkumpul dan berdiskusi. Mereka khawatir terpilihnya kandidat presiden dari kalangan militer membuat usaha penegakan hukum dan demokratisasi usai, sementara korupsi makin merajalela. Indonesia baru ditandai oleh babak otoritarianisme.

Pertemuan tersebut dihadiri antara lain oleh Safiq Alieha, Fadjroel Rahman, Adian Napitupulu, Anton Aritonang, Masinton Pasaribu, Eli Salomo, Sarbini, Abdullah, Eki, Ivan, Mixil, Upay, dan Jimbong. Mereka memimpin langsung aksi unjuk rasa puluhan ribu mahasiswa yang kemudian ikut memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Hadir pula orangtua dan keluarga para mahasiswa yang tewas dalam tragedi berdarah Trisakti, Semanggi I dan II, serta keluarga korban kerusuhan Mei.

Dalam kesempatan itu ditekankan bahwa sejauh ini upaya pengungkapan kasus kerusuhan penembakan mahasiswa Trisakti, kerusuhan Mei, peristiwa Semanggi I dan II terhambat oleh kekuatan politik di parlemen yang lebih berpihak kepada kekuatan lama.

Reaksi berbeda

Reaksi berbeda justru disampaikan oleh Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia (Pepabri). Pepabri justru bersyukur dengan terpilihnya Wiranto sebagai calon presiden dari Partai Golkar.

"Rasa syukur itu patut disampaikan lantaran purnawirawan dapat diterima baik oleh masyarakat luas. Pepabri menyebut Yudhoyono dan Wiranto telah ditetapkan oleh partai masing-masing sebagai calon presiden, sebagai putra terbaik. Pencalonan mereka itu merupakan wujud dari kepercayaan rakyat kepada purnawirawan," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pepabri Inspektur Jenderal (Purn) Putera Astaman.

Perlu beri penjelasan

Menjawab kekhawatiran sejumlah kalangan mengenai akan kembalinya sistem politik Orde Baru (Orba), menurut Edy, baik Wiranto maupun Yudhoyono perlu memberikan penjelasan kepada masyarakat luas mengenai masalah, posisi, dan peran tokoh berlatar belakang militer itu ketika Orba berkuasa. Masyarakat yang trauma dengan politik masa lalu itu harus diberi penjelasan.

"Jika ini tidak dilakukan, lawan politik mereka dapat menggunakan hal ini sebagai kesempatan melakukan serangan. Serangan itu selain memaksa adanya penjelasan bagi masyarakat juga merupakan kesempatan pendidikan politik. Diskursus secara sehat akan terjadi dan rakyat akan memiliki bekal yang lebih rasional untuk menetapkan pilihannya," kata Edy menjelaskan.

Kesempatan munculnya kekuatan lama, tutur Edy, merupakan peluang bagi lawan politik tokoh berlatar belakang militer untuk menaikkan kembali popularitasnya, seperti Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais. Dengan pemilihan presiden langsung yang menyandarkan pilihan pada sosok atau figur, pembeberan track record (latar balakang) menjadi penting.

Munculnya kembali tokoh yang berkuasa dan cukup memiliki masalah ketika Orba berkuasa lewat Pemilu 2004 dinilai sebagai kegagalan elite melakukan pendidikan politik kepada rakyat. Kegagalan pendidikan politik itu dipersubur dengan ajakan kepada rakyat untuk menjadi oportunis.

"Sejauh ini rakyat tidak cukup diberi pendidikan untuk mandiri menentukan pilihannya. Rakyat banyak selalu diberi insentif berupa uang untuk menentukan pilihan politiknya," ujar Edy.

Namun, lanjutnya, munculnya tokoh berlatar belakang militer dan masa lalu tidak bisa disalahkan begitu saja lantaran mereka sampai pada tahapan itu setelah melalui prosedur politik yang benar. "Karena itu, kesempatan yang kini dimiliki tokoh berlatar belakang militer dan masa lalu itu merupakan kesempatan bagi mereka untuk membuktikan komitmen pada demokrasi," ujar Edy.


Pengadilan HAM
Dalam pertemuan para aktivis di Gedung Perpustakaan Nasional kemarin, beberapa orang juga mendesak Presiden Megawati untuk menggelar pengadilan hak asasi manusia (HAM) ad hoc bagi anggota militer yang diduga keras terlibat langsung dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat tahun 1998.

"Di bawah kepemimpinan para loyalis Soeharto, Indonesia akan kehilangan banyak kawan. Tidak akan ada program tentang pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Tidak akan ada pengadilan HAM ad hoc terutama bagi Soeharto," ucap Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Hermawan.

Pengamat politik Bachtiar Effendi, sebagaimana dikutip Antara, menilai naiknya figur militer dalam bursa pemilihan presiden tidak akan mengembalikan Indonesia ke dalam percaturan politik era Orba yang otoriter dan sentralistik. Hal itu mengingat sistem politik nasional saat ini merupakan hasil konsensus bersama seluruh komponen bangsa, termasuk TNI, yang tidak boleh dilanggar. "Kalau ada yang bilang dengan munculnya figur militer menandakan bangkitnya kekuatan lama, menurut saya, itu sangat berlebihan," katanya.

Bachtiar mencontohkan, seluruh komponen bangsa ini telah sepakat untuk menjalankan sistem desentralisasi politik sejak era reformasi digulirkan, sesuatu yang sangat ditentang di masa Orba.

Kalau itu saja dihapuskan dan Indonesia kembali ke sistem sentralistik, siapa pun pemimpin bangsa ini, baik sipil maupun militer, akan mendapat kecaman dan tentangan keras dari masyarakat.

"Jadi, meski ada dua jenderal bertarung memperebutkan kursi presiden, sulit untuk mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru," kata Bachtiar. (win/inu/Ant)


Search :












Berita Lainnya :

·
Setelah Wiranto Menang, Koalisi Mulai Dipacu

·
Warga Jakarta Terjebak Kemacetan Berjam-jam

·
Kekhawatiran Kembalinya Sistem Orba Perlu Dijawab

·
Bom Mobil di Basra, Sedikitnya 60 Tewas

·
Pianis Rudy Laban Tutup Usia

·
"Good Morning", Selamat Pagi, Partai Golkar Menguasai Sehari

·
Menyelamatkan Bumi, Air, atau Manusia?

Gerakan Mahasiswa 98




Selasa, 14 April 2009

Presiden pro Rakyat

Morales Lanjutkan Mogok Makan
Senin, 13 April 2009 11:11 WIB


Buzz up!
LA PAZ--MI: Presiden Bolivia Evo Morales, Minggu (12/4) --memasuki hari ke tiga--, berikrar akan melanjutkan mogok makan, sampai anggota parlemen dari kubu oposisi menyetujui peaturan pemilihan umum yang dipandang membantu sekutu mantan petani coca itu dalam pemungutan suara Desember mendatang.

Presiden sayap kiri tersebut, yang mengatakan ia pernah hidup tanpa makanan selama 18 hari pada saat menjadi pemimpin serikat buruh, berhenti makan pada Kamis (9/4) guna memprotes upaya oposisi menghalangi peraturan pemilihan umum itu di Kongres.

Penentangnya dari sayap-kanan khawatir rancangan undang-undang tersebut, yang sebagian sudah disetujui, akan memberi Morales keunggulan di dewan legislatif dengan menguasai lebih banyak kursi dari kelompok miskin, beberapa bagian suku pribumi di negara yang kaya akan energi tersebut, tempat sangat populer.

Morales, sekutu dekat Presiden Venezuela Hugo Chavez, telah tiga hari tidur di atas kasur di lantai istana presiden dengan dikelilingi oleh spanduk protes tulisan tangan dan pendukung yang mengunyah daun coca untuk menghilangkan lapar. Kerangka kerja rancangan peraturan pemilihan umum itu disahkan pada Kamis, tapi Kongres masih harus menyetujui perinciannya.

Partai Morales memiliki cukup banyak suara guna mensahkannya dalam sidang gabungan majelis rendah atau Senat, tapi oposisi menolak memberi kuorum yang diperlukan bagi pemungutan suara mengenai tindakan tersebut, yang mengkonfirmasi 6 Desember sebagai tanggal pemilihan umum. "Rencana mereka ialah menghentikan pemilihan umum ... mereka tahu kami dapat menang dengan dua-pertiga suara," kata Morales, yang mencap pesaingnya sebagai "rasis, fasis dan egois".

Pemungutan suara baru-baru ini memperlihatkan Morales, pengecam keras Washington, jauh mengungguli pesaing terdekatnya dalam perebutan jabatan presiden. Ia terkenal di kalangan mayoritas warga pribumi Andea karena memperjuangkan hak mereka sejak ia memangku jabatan pada 2006.

Tonggak sejarah kebijakan pro-pribimunya ialah undang-undang dasar baru, yang disetujui dalam satu pemungutan suara pada Januari dengan lebih dari 60 persen dukungan. Undang-undang dasar itu menyerukan pemilihan umum Desember. Dalam proses tersebut, Morales akan mencalonkan diri lagi dan anggota Kongres baru akan dipilih. Tenggat bagi penetapan tanggal pemungutan suara ialah 9 April.

Kongres dijadwalkan bertemu lagi Minggu malam, tapi sebagian anggota oposisi sebelumnya mengatakan mereka ingin merundingkan masalah tertentu dengan partai yang berkuasa sebelum menghadiri sidang pemungutan suara.

Saat wawancara televisi Minggu, Morales menerima telepon dari Presiden Venezuela Hugo Chavez, yang menyampaikan dukungannya. Morales mengatakan mantan pemimpin Kuba Fidel Castro, yang masih sakit, juga telah menelepon dia. "Kami berbicara dan saya hampir menangis setelah mendengar suara rekan saya, Fidel," kata Morales.

Dalam konsesi kepada pengeritiknya, Morales pada Sabtu menginstruksikan pemerintah agar melakukan sensus baru pemilihan umum. Anggota parlemen dari oposisi telah mengatakan Morales dapat mengambil keuntungan dari 'cacat' di dalam sensus yang ada guna melakukan kecurangan.

Beberapa politikus oposisi telah menyebut mogok makan Morales sebagai "pemerasan politik", sementara mantan Presiden Jorge 'Tuto' Quiroga membantahnya sebagai "diet seorang presiden".

Morales mengatakan ia selama 18 hari tanpa makanan pada 1998 guna memprotes kebijakan pemerintah tentang coca, bahan mentah bagi pembuatan kokain tapi juga digunakan oleh orang Indian Bolovia sebagai bahan penambah gizi dan obat. "Kami gemetar; semuanya kelihatan berwarna kuning," kata Morales, yang muncul sebagai pemimpin serikat petani coca. (Ant/OL-04)