Jumat, 16 Juli 2010

SBY Didesak Ungkap Penganiaya Tama


Sabtu, 10 Juli 2010 | 18:11 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Petisi 28 mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan deadline kepada Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri untuk mengungkap pelaku penganiayaan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satya Langkun.
Jika Kapolri tidak mampu mengungkap dan menangkap dalangnya maka Presiden harus segera mencopot Kapolri.
-- Masinton Pasaribu


Melalui juru bicaranya, Masinton Pasaribu, kunjungan Presiden SBY menjenguk Tama di RS Asri tak berguna apa pun bila tidak ada komitmen Presiden mendorong Kapolri mengungkap pelaku penganiayaan.

"Sikap Presiden SBY menjenguk aktivis ICW Tama S Langkun di rumah sakit patut dihargai. Tetapi, menjadi tidak ada manfaatnya bila tidak diikuti dengan tindakan konkret, yaitu memerintahkan Kapolri segera menangkap dalang dan pelakunya dalam waktu seminggu ke depan," kata Masinton.

"Jika Kapolri tidak mampu mengungkap dan menangkap dalangnya maka Presiden harus segera mencopot Kapolri," tandas Masinton kepada Tribunnews, Sabtu (10/7/2010).

Petisi 28, imbuh Masinton, juga meminta Presiden SBY tidak menjadikan korban kejahatan para mafia dan koruptor sebagai alat pencitraan kekuasaannya.

Saat ini, lanjutnya, sudah bukan zamannya lagi main pencitraan. "Bermain pencitraan dan jaim-jaiman (jaga image) itu sudah tidak berlaku lagi saat ini. Presiden SBY harus berani menggunakan kewenangannya untuk memberantas kejahatan korupsi. SBY harus membuktikan bahwa negara tidak boleh kalah melawan mafia dan kejahatan korupsi," tegasnya.

http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/07/10/18110436/SBY.Didesak.Ungkap.Penganiaya.Tama

Kamis, 15 Juli 2010

Kunjungan SBY ke Tama Cuma Pencitraan Politik



Tribunnews.com - Sabtu, 10 Juli 2010 17:34 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Petisi 28 mendesak Presiden SBY memberikan deadline kepada Kapolri Bambang Hendarso Danuri untuk mengungkap pelaku penganiyaan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun.

Melalui juru bicaranya, Masinton Pasaribu, kunjungan Presiden SBY menjenguk Tama di rumah sakit, tak berguna apapun bila tidak ada komitmen Presiden mendorong Kapolri mengungkap pelaku penganiyaan.

"Sikap Presiden SBY menjenguk aktivis ICW, Tama S Langkun di rumah sakit, patut dihargai. Tetapi, menjadi tidak ada manfaatnya bila tidak diikuti dengan tindakan kongkrit, yaitu, memerintahkan Kapolri segera menangkap dalang dan pelakunya dalam waktu seminggu ke depan."

"Jika Kapolri tidak mampu mengungkap dan menangkap dalangnya maka Presiden harus segera mencopot Kapolri," tandas Masinton kepada Tribunnews, Sabtu (10/7/2010).

Petisi 28, imbuh Masinton, juga meminta Presiden SBY tidak menjadikan korban kejahatan para mafia dan koruptor sebagai alat pencitraan kekuasaannya.

Saat ini, tandasnya, sudah bukan jamannya lagi main pencitraan."Bermain pencitraan, dan jaim-jaiman (jaim-jaga image), itu sudah tidak berlaku lagi saat ini."

"Preisden SBY harus berani menggunakan kewenangannya untuk memberantas kejahatan korupsi. SBY harus membuktikan bahwa negara tidak boleh kalah melawan mafia dan kejahatan korupsi," tegasnya.

Sementara itu, aktivis Gerakan Indonesia Bersatu (GIB) yang juga Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, menandaskan, kunjungan Presiden SBY terhadap aktivis ICW, Tama S Langkun, tak lebih dari sikap pencitraan yang sedang dipertontonkan kepada publik.

Yang diinginkan publik, serta para aktivis adalah bukti kongkrit pemerintah dalam memberantas korupsi dan membangun bangsa ini menjadi lebih baik.

"Kami sarankan kepada Presiden, lebih baik fokus saja kepada pembangunan bangsa ini. Para aktivis tidak butuh perhatian dan perlakukan istimewa. Kami hanya butuh Republik ini dikelola secara benar-benar dan sungguh-sungguh, " tandas Ray Rankuti.

"Kunjungan Presiden SBY ke Tama bukanlah hakekat yang diinginkan. Bagi kami para aktivis ini yang paling utama adalah segera kepolisian menangkap dan mengungkap pelaku teror baik kepada Tempo maupun kepada Tama."

"Lebih dari itu, Presiden memperhatikan dengan seksama kasus yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, khususnya terkaitan dengan rekening gemuk beberapa Polri. Itulah perhatian yang paling utama dihajatkan oleh para aktivis jauh melebihi kebutuhan kunjungan Presiden," tandasnya.

UDANG DI BALIK Rekening Jenderal



INDONESIA MONITOR-Munculnya data rekening mencurigakan beberapa perwira tinggi Polri tak lepas dari agenda suksesi di Trunojoyo. Siapa berkepentingan?

JENDERAL Pol Bambang Hendarso Danuri mungkin tak pernah bermimpi, empat hari menjelang ulang tahun Polri, institusi yang dipimpinnya itu mendapat “hadiah” tak mengenakan dari Majalah Tempo: daftar rekening gendut perwira Polri.
Tak heran, alih-alih mempersiapkan peringatan hari jadi ke-64 Korps Bhayangkara, BHD—demikian sebutan Kapolri kelahiran Bogor 10 Oktober 1952 itu—malah mengumpulkan perwira-perwiranya untuk membahas masalah tersebut. “Mereka diperintahkan untuk tutup mulut,” ungkap anggota Komisi III DPR Nasir Djamil dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (3/7).
BHD layak panik. Sebab, meski data rekening mencurigakan yang dimiliki beberapa jenderal Polri sejatinya merupakan isu lawas, hal itu cukup mengganggu perjalanan kariernya di pengujung masa jabatannya sebagai Truno 1 (Kapolri) yang berakhir Oktober 2010.
Orang dalam Truno 1 mengungkapkan, munculnya data kekayaan enam perwira tinggi dan dua perwira menengah Polri yang dinilai mencurigakan itu merupakan data analisis akhir PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) 2005-2009. “Itu data lama,” cetus orang dekat BHD yang minta agar identitasnya disembunyikan itu kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).
Makanya, menurut dia, BHD dan perwira-perwira loyalis di sekelilingnya bertanya-tanya. “Kenapa baru diledakkan sekarang? Pada kandidat siapakah Tempo berpihak? Karena nama-nama itu (enam jenderal yang di-blow up Tempo) kan inner circle-nya NS,” tuturnya sambil mengungkapkan jenderal berinisal NS itu.
Ya, mencuatnya data rekening mencurigakan dan daftar kekayaan yang diduga tidak dilaporkan oleh para jenderal itu, tak bisa dipisahkan dari agenda suksesi di institusi Korps Baju Coklat itu. Sesuai jadwal, per 1 Oktober 2010, masa jabatan BHD berakhir dan Presiden SBY harus mengajukan kandidat penggantinya ke DPR.
Apalagi, sejak Susno Duadji terpental dari bursa calon Tri Brata—sebutan Kapolri—beberapa nama yang berpotensi menggantikan BHD semakin menyembul ke permukaan. Dua nama yang sering disebut adalah Irwasum Polri Komjen Nanan Soekarna dan Kabareskrim Polri Komjen Ito Sumardi.
Tak hanya dua jenderal itu. Beberapa perwira tinggi di level bawahnya juga mulai dielus-elus. Bahkan, menurut sumber di lingkungan Polri, ada lima nama perwira tinggi berpangkat bintang dua alias Inspektur Jenderal (Irjen) yang bakal jadi “kuda hitam”. Mereka adalah Kapolda Sumut Irjen Oegroseno, Kapolda Metro Jaya Irjen Timur Pradopo, Kapolda Kaltim Irjen Mathius Salempang, Kepala Korps Brimob Irjen Polisi Sylvanus Yulian Wenas, dan Irjen Pol Bambang Suparno (staf pengajar di Sekolah Staf Pati Polri).
Yang menarik, dari beberapa nama yang kabarnya sudah dielus-elus itu, tiga jenderal di antaranya termasuk yang sedang “diobok-obok” harta kekayaannya. Mereka adalah SY Wenas, Mathius Salempang, dan Bambang Suparno.
Padahal, salah satu dari tiga jenderal itu, yakni Bambang Suparno, kabarnya sudah digadang-gadang oleh BHD untuk menggantikan pos yang bakal ditinggalkannya itu. Sinyalemen ini dibenarkan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane.
“Ya, saya juga mendengar kabar itu. Dia adalah salah satu dari belasan nama perwira yang kabarnya sudah disampaikan BHD ke Presiden untuk dicalonkan sebagai kandidat Kapolri,” ungkap Neta kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).
Menariknya, meski jarang disebut-sebut namanya, sosok Bambang Suparno merupakan perwira yang “istimewa”. “Dia dalam satu tahun, naik pangkat dua kali. Sama halnya ketika Sutanto mempersiapkan BHD untuk jadi Kapolri dulu. Dulu ketika Sutanto mempersiapkan BHD, dia (BHD) naik pangkat dua kali dalam setahun. Dalam tiga tahun, BHD naik pangkat empat kali. Sekarang BHD rupanya sedang mempersiapkan Bambang Suparno yang dalam setahun dua kali naik pangkat jenderal,” paparnya.
Makanya, Neta curiga, munculnya data kekayaan perwira Polri yang dilansir Tempo target utamanya sebenarnya Bambang. Sebab, selain Bambang, nama-nama yang diungkap Tempo merupakan data lama. “Hanya nama Bambang yang baru,” tuturnya.
Menurut Neta, sekarang Bambang sedang menjabat Widyaiswara Utama di Sespim Polri. “Sepertinya ada loyalis-loyalis yang kurang setuju dengan pencalonan Bambang Suparno. Apalagi dia angkatan yang masih muda, tahun 1980, sehingga dimunculkanlah kasus rekening dia. Yang lain itu sebenarnya hanya data ikutan, pelengkap penderita. Itu data rekening lama yang dimasukkan dengan nama baru,” paparnya.
Sumber Indonesia Monitor di lingkungan Polri membisikkan, munculnya data tersebut sebenarnya dari internal Polri sendiri. Targetnya, selain memuluskan langkah “jagoannya” untuk menduduki kursi Kapolri, tujuan utamanya sebenarnya soal pengamanan.
“Kalau ‘matahari’ mereka jadi Kapolri, mereka aman. Kepentingannya hanya penyelamatan diri saja dari sejumlah kasus, seperti kasus Gayus Tambunan,” ungkapnya kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).

Terlepas apa motif di balik munculnya data tersebut, menurut aktivis Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Masinton Pasaribu ada yang salah dalam tubuh Polri saat ini. Menurutnya, kebobrokan di Polri ini tidak bisa lagi dikatakan sebagai perbuatan oknum segelintir saja, tapi sudah menyeluruh dan dilakukan berjamaah.
“Coba, buka saja semua rekening jenderal itu. Minta PPATK buka data transaksi jenderal perwira tinggi dan perwira menengah, baik di Mabes maupun di Polda sampai Polres. Semua rekeningnya pasti janggal dan nggak masuk akal jika dibandingkan dengan gaji yang sebenarnya,” ujar Masinton kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).

Masinton yakin, sebagian besar jenderal Polri hidup dalam kemewahan. Padahal, kalau menilik gaji mereka, sebenarnya kekayaannya tak sepadan dengan “profilnya”. Hitung saja, dengan gaji kisaran Rp 3-9 juta per bulan, jika mereka pensiun di usia 58 tahun, kekayaan yang bisa dikumpulkan hanya sekitar Rp 4,1 miliar. Itu pun kalau gaji tersebut tidak pernah digunakan untuk biaya hidup keluarga.
Hitungannya, seorang perwira memulai kariernya setelah lulus dari Akademi Kepolisian pada usia minimal 20 tahun. Sejak dilantik sampai pensiun, perwira itu menjalani masa dinas selama 38 tahun atau 456 bulan. Bila gaji mereka dikenakan langsung sebagai perwira tinggi setara Rp 9 juta maka pendapatan yang diperoleh sampai pensiun hanya Rp 4,1 miliar. Bila uang ini ditabung di bank selama 38 tahun, pendapatannya tidak lebih dari Rp 12 miliar, itu pun jika bunga bank mencapai 10 persen setiap tahunnya.

Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Bambang Widodo Umar tak sependapat dengan dugaan Masinton. Menurutnya, lebih banyak perwira yang baik dibanding yang buruk. “Sebab, yang bias nyeleweng itu hanya polisi yang dalam posisiposisi tertentu saja. Hanya saja, mereka ini terus bergumul dengan praktik itu dan muncul ke permukaan. Ini yang merusak citra kepolisian,” tegas mantan perwira tinggi Polri itu kepada Indonesia Monitor, Jumat (2/7).
Meski begitu, dia mendukung upaya pengungkapan dugaan rekening bermasalah tersebut. Makanya, dia mendorong agar kasus ini ditangani KPK, sebab jika yang menangani Polri akan sangat subyektif.
“Nanti informasi rekening ini malah ditahan sehingga tidak bisa terbongkar secara terang-benderang. Malah ada kesan Polri melindungi. Kalau KPK bisalah diandalkan, karena ini ada dugaan tindak korupsi dan gratifikasi yang tidak benar,” paparnya.
DPR pun tengah bersiap-siap memanggil Kapolri dan PPATK untuk meminta penjelasan terkait isu tersebut. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PAN Taslim Chaniago mengungkapkan, tak hanya terkait soal rekening mencurigakan yang dilaporkan Tempo, DPR juga akan mempertanyakan soal bisnis di kepolisian.
“Dulu juga sudah pernah dilaporkan ada rekening gendut para perwira Polri. Ketika itu ada 15 rekening gendut, pada zamannya Sutanto. Nah, sekarang muncul lagi. Supaya tidak ada kesalahpahaman, Komisi III DPR akan memanggil Kapolri tentang kebenaran berita itu. Kita juga akan memanggil PPATK, supaya semua terungkap dengan gamblang,” papar Taslim kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).

Kolega Taslim di Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasril Jamil juga senada. Bahkan, dia menduga ada penyalahgunaan wewenang oleh oknum-oknum perwira polisi sehingga bisa memiliki kekayaan berlimpah. Selain itu, juga terkait penegakan hukum, manajemen anggaran, dan manajemen personalia yang dijadikan bancakan untuk mencari keuntungan pribadi. “Ini semua harus dikembalikan ke kode etik kepolisian,” ujar Nasril kepada Indonesia Monitor, Jumat (2/7).
Penuturan Taslim dan Nasril diamini anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Gayus Lumbuun. Menurutnya, untuk membuktikan kebenaran data tentang kekayaan perwira polisi tersebut, perlu pendapat dari semua pihak agar berimbang. “Ini tidak mudah untuk membuktikannya,” ujar Gayus kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).
Namun, jika data tersebut benar, Gayus menyayangkan. Sebab, dari segi kesejahteraan, sebenarnya anggota Polri sudah jauh lebih sejahtera dibanding PNS lain, khususnya setelah terpisah dari ABRI sejak 1999. “Data tahun 1999-2010 anggaran polisi sudah naik menjadi 10 kali lipat,” tegasnya.
■ Moh Anshari, Sri Widodo
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=5372&Itemid=33

SBY Dituding Tak Pro Rakyat




Sabtu, 19 Juni 2010 | 09:03 WIB
JAKARTA, TRIBUN - Rencana pemerintah yang akan mengumumkan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) kemudian akan menyusul kenaikan harga BBM pada bulan Juli nanti, membuktikan bahwa pemerintahan SBY-Boediono tidak pro rakyat.

Demikian diungkapkan Ketua Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), salah satu underbow PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, Sabtu (19/6/2010).

Presiden SBY dalam pernyataannya mengeluhkan subsidi untuk rakyat dan lebih mementingkan pembayaran utang luar negeri. Kebijakan politik anggaran SBY yang memprioritaskan pembayaran utang luar negeri ketimbang men-subsidi rakyat kecil jelas nyata, sejatinya pemerintahan SBY-Boediono adalah kepanjangan pemodal asing," kritik Masinton.

Kebijakan ini, ujarnya, makin mengukuhkan para pemodal asing sedang bergerak dan menguasai seluruh semberdaya ekonomi serta kekayaan alam Indonesia. Seharusnya, yang dilakukan pemerintahan SBY adalah bernegosiasi, menjadwalkan pembayaran hutan luar negeri, bukan dengan cara mengurangi subsidi untuk rakyat.

"Sangat tidak masuk akal apabila APBN yang bersumber dari rakyat digunakan pemerintah untuk membayar utang luar negeri. Rakyat, sebenarnya tidak merasakan manfaat dari utang itu karena lebih banyak dikorupsi oleh pejabat negara," tandasnya.

Dikatakan, dari data yang didapat, pemerintahan SBY-Boediono membayarkan utang luar negeri sebesar Rp 115 triliun. Sementara subsidi BBM untuk rakyat hanya Rp 90 triliun.

"Jadi, tidak salah bila ada argumentasi yang menyatakan, kian hari rakyat tidak merasakan adanya fungsi negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dan DPR gagal mengawasi jalannya pemerintahan SBY-Boediono yang bergerak sesuai kehendak pemodal asing," kata Masinton dengan nada meninggi.

Negara, seakan makin dikuasai oleh para pecundang yang melakukan persekongkolan dengan para krimial untuk memperbesar kekuasaan dan politik mereka. Sekaligus, mengamankan diri dan kelompoknya dari jeratan hukum," tegas Masinton. (tribunnews/rahmat hidayat)

http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/24006/sby-dituding-tak-prorakyat

SBY Prioritaskan Bayar Utang Dibanding Subsidi Rakyat



18 Juni 2010 | 09:24 | Politik
Jakarta - Rencana pemerintah untuk mengumumkan kenaikan tarif dasar listrik (Juli 2010), kemudian akan disusul dengan kenaikan harga BBM membuktikan bahwa pemerintahan SBY-Boediono tidak pro rakyat.

SBY dalam pernyataannya mengeluhkan subsidi untuk rakyat dan lebih mementingkan pembayaran utang luar negeri.

"Kebijakan politik anggaran SBY yang memprioritaskan pembayaran hutang luar negeri ketimbang mensubsidi rakyat kecil jelas nyata bahwa sejatinya pemerintahan SBY-Boediono adalah kepanjangan tangan pemodal internasional yang sedang bergerak menjajah dan menguasai seluruh sumber daya ekonomi serta kekayaan alam Indonesia," kata ketua Repdem, Masinton Pasaribu, Jakarta, Jumat (18/6).

Seharusnya yang dilakukan SBY adalah menegosiasikan penjadwalan pembayaran utang luar negeri, bukan dengan cara mengurangi subsidi untuk rakyat.

"Sangat tidak masuk akal bila APBN yang bersumber dari rakyat digunakan oleh pemerintah untuk membayar hutang luar negeri yang mana rakyat sendiri tidak merasakan manfaat utang luar negeri tersebut karena lebih banyak dikorupsi para pejabat negara," katanya.

Pemerintahan SBY, tahun ini membayarkan bunga hutang luar negeri sebesar Rp115 triliun. Sedangkan subsidi BBM untuk rakyat hanya Rp90 triliun.

"Kian hari rakyat tidak merasakan adanya fungsi negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. DPR gagal mengawasi jalannya pemerintahan SBY-Boediono yang bergerak sesuai kehendak para pemodal internasional," kata anggota Petisi 28 ini.

Menurutnya, negara dikuasai oleh para pecundang yang melakukan persekongkolan dengan para kriminal untuk memperbesar kekuasaan politik dan ekonomi mereka.

"Sekaligus mengamankan diri dan kelompoknya dari jeratan hukum," ujar Masinton.

(feb)

http://www.primaironline.com/berita/politik/sby-prioritaskan-bayar-utang-dibanding-subsidi-rakyat

Anas Bukan "Pajangan" SBY ?



Jumat, 28 Mei 2010 | 17:12 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan tim sukses pemenangan Anas Urbaningrum, Saan Mustofa, membantah argumentasi yang menyatakan bahwa terpilihnya Anas sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat (PD) hanya akan menjadi "pajangan". Pendapat itu menilai, segala keputusan apa pun menyangkut kebijakan PD tetap ditentukan oleh Presiden SBY dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina PD.

Saan menegaskan, terpilihnya Anas membuktikan Demokrat mengedepankan demokrasi saat Kongres di Hotel Maison Pine, Padalarang, Bandung, Jawa Barat, Minggu (23/5/2010) lalu.

"Semuanya punya fingsi. Dewan pembina maupun ketua umum memiliki kewenangannya yang tercantum dalam AD/ART Partai Demokrat (PD). Dewan pembina maupun ketua umum, tentunya saling melengkapi menjalankan kebijakan partai bersama-sama," kata Saan Mustofa dalam perbincangan dengan Tribunnews, Kamis (27/5/2010).

Ia juga membantah, bila dikatakan susunan kepengurusan DPP PD yang belum juga diumumkan kepada publik karena masih menunggu kepulangan Presiden SBY dari luar negeri.

Saan menegaskan, Anas sebagai ketum terpilih, hingga kini masih memiliki waktu untuk menyusun kepengurusan DPP PD periode 2010-2015 secara cermat. "Tentunya, kami ingin menjadikan Demokrat menjadi lebih baik lagi ke depannya. Insya Allah kembali tampil sebagai pemenang pemilu. Dan, terlalu dini kalau Mas Anas kemudian dikatakan dipersiapkan sebagai capres. Kita ingin menata partai ini menjadi lebih baik lagi," katanya.

Saan kemudian menjawab diplomatis ketika ditanya kepastian putra Presiden SBY, Edi Baskoro Yudhoyono (EBY), yang akan ditempatkan sebagai Sekjen Demokrat. Saan hanya menjawab singkat terkait pertanyaan ini, "Belum. Pada saatnya akan diumumkan, termasuk kepastian Mas Anas mundur di DPR untuk berkonsentrasi mengurus partai," tegasnya.

Sementara itu, salah seorang aktivis yang tergabung dalam Repdem—underbow PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, menyambut baik terpilihnya Anas Urbaningrum memimpin Partai Demokrat untuk lima tahun ke depan (2010-2015).

Naiknya Anas dengan usia 41 tahun, puji Masinton, menandai era baru kepemimpinan nasional. "Kini, kepemimpinan telah beralih dari kaum tua bangka yang tidak tahu diri dan tukang buat masalah kepada generasi muda harapan masa depan bangsa. Kehadiran Anas mengikuti jejak para pemimpin dunia," kata Masinton.

Ia kemudian mencontohkan beberapa pemimpin dunia yang cemerlang di dunia politik saat usianya masih di bawah 50 tahun, di antaranya, perdana menteri Inggris yang baru berusia 41 tahun; Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, 50 tahun; Presiden Amerika Serikat Barack Obama, 47 tahun; PM Singapura Bee Gie Lie, 46 tahun; Goh Tjok Tong (48); Tony Blair (41); Bill Clinton (46); Presiden Rusia Dmitry Medvedev (41); dan mantan Presiden Bung Karno yang berusia 44 saat menjadi Presiden Indonesia pertama. "Mohon maaf dan selamat tinggal generasi tua tukang bikin masalah," sindir Masinton.

Laporan wartawan Persda Network Rachmat Hidayat

Editor: Edj
http://www1.kompas.com/read/xml/2010/05/28/17123339/tim.sukses.anas.bukan.pajangan.sby

Petisi 28 Desak KPK Cekal Sri Mulyani


Tribunnews.com - Kamis, 6 Mei 2010 12:29 WIB
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Jaringan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Petisi 28, yang eksis mengawal penuntasan kasus skandal bailout Bank Century, meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengeluarkan surat cekal kepada Menkeu Sri Mulyani yang akan melepas jabatannya, menjadi Managing Director World Bank, per 1 Juni nanti.

"Kami akan mendesak KPK untuk secepatnya mengeluarkan surat cekal kepada Sri Mulyani. Jangan sampai, kasus skandal Bank Century ini berhenti hanya karena Sri Mulyani menjadi Managing Director World Bank," tandas salah satu juru bicara Petisi 28, Masinton Pasaribu, kepada tribunnews.com, Kamis (6/5/2010).

Masinton menegaskan, pencekalan terhadap Sri Mulyani mutlak dilakukan untuk memudahkan proses pemeriksaan oleh KPK terhadap para pihak yang bertanggung jawab atas skandal korupsi bailout Bank Century yang merugikan keuangan negara 6,7 triliun rupiah.

"Kami mendesak KPK untuk menggunakan kewenangannya melakukan cekal terhadap Sri Mulyani agar tidak pergi ke luar negeri.
KPK harus bertindak cepat, seperti saat KPK menangani kasus korupsi lainnya," Masinton menegaskan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menyindir jabatan baru yang akan diemban Sri Mulyani di Bank Dunia per 1 Juni nanti.

"Jabatan baru SMI di World Bank serasa jauh lebih penting dan bergengsi bagi bangsa ini sehingga tak ada jeda untuk mempertimbangkan pendapat masyarakat soal apakah Sri Mulyani layak mundur dari kabinet karena tawaran jabatan baru itu atau tidak. Presiden seolah bahkan tak perlu berpikir panjang untuk menyetujui permintaan tersebut," tuturnya.

Penulis : rachmat_hidayat
Editor : johnson_simanjuntak
http://www.tribunnews.com/2010/05/06/petisi-28-desak-kpk-cekal-sri-mulyani