Sabtu, 14/11/2009 05:43 WIB
Jakarta - Kritik pedas dilontarkan oleh Syafii Maarif melihat masalah dua pimpinan KPK nonaktif yang tak berujung. Mantan Ketua PP Muhamaddiyah ini meminta Presiden SBY segera menunjukan jiwa kepemimpinannya."Ini kesempatan baik bagi SBY untuk menunjukan kepemimpinan, jika dia punya kepemimpinan," sindir Syafii di kantor PP Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta, Jumat malam (13/11/2009).
Menurut Syafii, SBY seharusnya lebih percaya diri dalam menentukan sikapnya dengan dukungan rakyat. Namun yang terjadi, tambah Syafii, justru sebaliknya.
"Dia dipilih kemudian dia ditentang karena tidak ada ketegasan, jangan sampai terjadi konflik sosial," pesan Syafii.
Syafii juga miris melihat keadaan bangsa, khususnya di bidang hukum, yang begitu tercoreng. "Aparat tidak punya martabat lagi," jelasnya.
Syafii berpesan agar suara-suara rakyat yang kritis tidak ditanggapi enteng oleh penguasa. Mulai dari media yang begitu kompak menyuarakan ketidakadilan hingga dukungan lewat facebook."Itu tandanya hati nurani masih ada," tandasnya.
Dukung Gerakan People Power
Reaksi masyarakat terus bermunculan menanggapi persoalan yang menimpa Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif setuju jika muncul people power asal berlangsung damai.
"Asal dijalankan dengan damai, why not," kata Syafii singkat di Gedung PP Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta, Jumat (13/11/2009) malam.
Syafii meminta agar setiap gerakan dapat diorganisir sedemikian rupa. Ia berharap, dengan cara seperti itu, resiko terjadinya konflik dapat diminimalkan.
"Sah saja selama tidak merusak, jangan merusak. Sebab kalau nanti merusak, rusaklah negeri ini," pintanya.
Syafii juga berpesan agar tuntutan yang ingin disampaikan lebih realistis. Menurutnya, persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan hanya dengan mundurnya Kapolri dan Jaksa Agung.
"Tidak sesederhana itu," jelasnya. Syafii menilai jika polisi dan Kejaksaan mengabaikan rekomendasi tim 8 dan tetap melanjutkan perkara Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, kedua institusi tersebut akan berhadapan dengan rakyat.
"Nggak apa-apa, resikonya berhadapan dengan rakyat," pungkasnya. (mok/rdf)
Masinton Pasaribu, SH Anggota Komisi III DPR-RI Fraksi PDI Perjuangan Dapil: DKI Jakarta II
Sabtu, 14 November 2009
Kamis, 06 Agustus 2009
Saksi ahli: PILPRES harus dibatalkan!
Ahli sosiologi politik Yudi Latif dihadirkan sebagai saksi ahli dalam
persidangan gugatan hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Yudi yang datang atas permintaan Tim JK-Wiranto itu mengatakan permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Indonesia hanya satu-satunya di Indonesia.
"Ini kasus khas Indonesia dan tak ada presedennya di negara lain," kata Yudi persidangan di MK, Jl Medan Merdeka Barat, Rabu (5/8/2009).
Karena belum ada presedennya, menurut Yudi, belum pernah ada pemilu di sebuah negara demokratis yang dibatalkan lantaran persoalan DPT. Meski begitu, dia berpendapat hasil pilpres di Indonesia seharusnya dibatalkan karena diwarnai dengan pelanggaran prosedur.
Salah satu pelanggaran yang paling berat, kata Yudi, adalah persoalan DPT. Carut marut DPT yang selama ini menyertai pemilu menyebabkan cacat besar dalam pemilu.
Sebab basis demokrasi adalah diakuinya hak konstitusional setiap warga negara. Persoalan DPT telah membuat sekian banyak warga negara kehilangan hak pilihnya.
"DPT yang baik adalah basis pemilu yang baik. Itulah yang jadi basis
legalitas. Tanpa legalitas, pemilu cacat," kata Yudi.
Dan penghilangan hak warga negara ini menurut Yudi adalah sebuah
pelanggaran HAM berat. "Satu penghilangan hak konstitusional saja sudah merupakan kejahatan, apalagi penghilangan yang dilakukan secara massif. Itu merupakan pelanggaran HAM berat," kata Yudi.
Selain kasus DPT, Yudi juga menyinggung kecurangan lain, misalnya
penggunaan fasilitas negara untuk pasangan calon tertentu. Kecurangan yang dilakukan oleh elite secara terstruktur semacam ini jauh lebih berbahaya daripada kerusuhan pemilu yang diakibatkan grassroot.
"Selama ini pemilu dikatakan damai dan baik. Tapi kriteria yang dipakai hanya tidak adanya makar. Padahal harus dilihat apakah terjadi pelanggaran serius atau tidak. Pelanggaran oleh institusi lebih berbahaya dibanding rioting (kekisruhan)," kata Yudi.
Dari pengalaman negara-negara demokrasi, terang Yudi, pemilu merupakan kunci kemajuan dan kemunduran demokrasi. Jika pemilu baik, maka demokrasi akan tumbuh baik. Sebaliknya, jika pemilu buruk, maka demokrasi pun akan mengalami kemunduran.
Karena itu, untuk menjaga konsolidasi demokrasi di Indonesia, Yudi mengusulkan agar hasil pilpres dibatalkan dan dilaksanakan pilpres ulang. "Kalau tidak memenuhi prinsip konstitusional, pemilu itu harus dibatalkan. Pemilu presiden kemarin cacat hukum," tandas Yudi.
persidangan gugatan hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Yudi yang datang atas permintaan Tim JK-Wiranto itu mengatakan permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Indonesia hanya satu-satunya di Indonesia.
"Ini kasus khas Indonesia dan tak ada presedennya di negara lain," kata Yudi persidangan di MK, Jl Medan Merdeka Barat, Rabu (5/8/2009).
Karena belum ada presedennya, menurut Yudi, belum pernah ada pemilu di sebuah negara demokratis yang dibatalkan lantaran persoalan DPT. Meski begitu, dia berpendapat hasil pilpres di Indonesia seharusnya dibatalkan karena diwarnai dengan pelanggaran prosedur.
Salah satu pelanggaran yang paling berat, kata Yudi, adalah persoalan DPT. Carut marut DPT yang selama ini menyertai pemilu menyebabkan cacat besar dalam pemilu.
Sebab basis demokrasi adalah diakuinya hak konstitusional setiap warga negara. Persoalan DPT telah membuat sekian banyak warga negara kehilangan hak pilihnya.
"DPT yang baik adalah basis pemilu yang baik. Itulah yang jadi basis
legalitas. Tanpa legalitas, pemilu cacat," kata Yudi.
Dan penghilangan hak warga negara ini menurut Yudi adalah sebuah
pelanggaran HAM berat. "Satu penghilangan hak konstitusional saja sudah merupakan kejahatan, apalagi penghilangan yang dilakukan secara massif. Itu merupakan pelanggaran HAM berat," kata Yudi.
Selain kasus DPT, Yudi juga menyinggung kecurangan lain, misalnya
penggunaan fasilitas negara untuk pasangan calon tertentu. Kecurangan yang dilakukan oleh elite secara terstruktur semacam ini jauh lebih berbahaya daripada kerusuhan pemilu yang diakibatkan grassroot.
"Selama ini pemilu dikatakan damai dan baik. Tapi kriteria yang dipakai hanya tidak adanya makar. Padahal harus dilihat apakah terjadi pelanggaran serius atau tidak. Pelanggaran oleh institusi lebih berbahaya dibanding rioting (kekisruhan)," kata Yudi.
Dari pengalaman negara-negara demokrasi, terang Yudi, pemilu merupakan kunci kemajuan dan kemunduran demokrasi. Jika pemilu baik, maka demokrasi akan tumbuh baik. Sebaliknya, jika pemilu buruk, maka demokrasi pun akan mengalami kemunduran.
Karena itu, untuk menjaga konsolidasi demokrasi di Indonesia, Yudi mengusulkan agar hasil pilpres dibatalkan dan dilaksanakan pilpres ulang. "Kalau tidak memenuhi prinsip konstitusional, pemilu itu harus dibatalkan. Pemilu presiden kemarin cacat hukum," tandas Yudi.
Rabu, 27 Mei 2009
Globalisasi Pemiskinan
Oleh Yonky Karman
Setelah beberapa anak balita meninggal karena gizi buruk di Kabupaten Rote Ndao, tragedi kemiskinan kembali terulang di NTT. Ibu muda di Kabupaten Timor Tengah Selatan tewas menggantung diri setelah meracuni putri semata wayangnya, Kamis (3/7).
Magdalena terimpit biaya hidup yang melambung dan utang yang belum terbayar, sementara suaminya hanya penganggur. Ia tidak tega melihat buah hatinya menderita. Gagal hidup seperti itu pertanda kelalaian dan ketidakberdayaan pemerintah yang terjebak globalisasi pemiskinan. Tiada arti kedaulatan teritorial tanpa kedaulatan pangan dan energi.
Warga miskin terjepit di antara pasar (global) dan negara. Pemerintah bertanggung jawab melindungi warga miskin dari mekanisme harga pasar dan pada saat sama memperkuat basis ekonomi warga. Berhadapan dengan pasar, posisi tawar negara harus kuat untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan dasar warga. Ketika negara gagal merepresentasikan kepentingan warga lemah, rasionalitas bernegara digugat.
Keterbukaan gradual
Globalisasi bukan kambing hitam. Kini pihak pro-kontra kian merapat dalam tolok ukur keberhasilan globalisasi. Pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Meski demikian, penganjur liberalisasi perdagangan masih menggiring opini negara miskin dan berkembang bahwa indikator pertumbuhan adalah tingginya volume perdagangan, yang diyakini berdampak langsung pada pemerataan distribusi pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Berdasarkan itu juga, Bank Dunia membagi negara menjadi globalizers dan nonglobalizers.
Benar, selama 50 tahun terakhir tak ada negara dengan kebijakan ekonomi tertutup tumbuh lebih cepat dari yang terbuka. Namun, sama benarnya, tidak ada negara yang tumbuh hanya karena membuka diri kepada perdagangan luar negeri dan investasi asing. Pokok masalah bukan proteksi atau liberalisasi.
Fakta yang diabaikan, China baru belakangan serius meliberalisasi perdagangan dan menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001. Sebelum itu, China menerapkan banyak kebijakan yang bertentangan dengan liberalisasi perdagangan. Pasar keuangan tertutup bagi investor asing. Tiada privatisasi BUMN. Namun, China memanfaatkan peran pasar, insentif swasta, dan inovasi kelembagaan yang disesuaikan kondisi lokal.
Selama periode pertumbuhan tinggi di China tahun 1980-an, rata-rata tarif lebih tinggi daripada periode pertumbuhan rendah tahun 1970. Reformasi perdagangan baru dilakukan satu dekade sesudah ekonomi tumbuh lebih tinggi. Secara parsial dan gradual membuka diri kepada produk impor dan investasi asing. Demikian juga India. Hingga pertengahan 1990-an, restriksi perdagangan kedua negara itu tertinggi di dunia.
Kisah serupa juga terjadi dengan Vietnam (bukan anggota WTO) yang perdagangan luar negerinya dimonopoli negara. Tarif tinggi dikenakan untuk impor produk pertanian dan industri (30-50 persen). Meski demikian, Vietnam cepat terintegrasi dengan ekonomi global. Ekspansi perdagangan mencapai dua digit. Angka pertumbuhan PDB lebih dari delapan persen. Tingkat kemiskinan menurun tajam.
Sebaliknya, Haiti (anggota WTO) drastis menurunkan tarif impor hingga 15 persen dan meniadakan semua restriksi kuantitatif. Namun, ekonomi stagnan. Tingkat investasi asing rendah. Integrasi dengan ekonomi global hanya maju sedikit. Bahkan, indikator sosial memburuk.
Dengan demikian, tiada resep tunggal untuk pertumbuhan ekonomi (Dani Rodrik, One Economics, Many Recipes: Globalization, Institutions, and Economic Growth, 2007). Tiap negara harus menentukan prioritas kebijakan ekonominya dengan tepat, sesuai keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Kejelian memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan pasar global dikombinasikan dengan investasi dan pelembagaan kewirausahaan di dalam negeri.
Negara lemah
Negara-negara termiskin di Afrika gagal tumbuh. Mereka tak terisolasi dari proses globalisasi, tetapi terglobalisasi secara negatif (Paul Collier, The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, 2007). Semua sumber daya terkuras ke luar. Eksploitasi sumber daya alam. Investasi warga kaya di luar negeri. Migrasi kaum terpelajar ke negara-negara lain (brain drain).
Negara-negara gagal itu ada di posisi terbawah sistem ekonomi global. Mereka tak hanya terbelakang (falling behind), tetapi juga di ambang kehancuran (falling apart). Maka, dampak terintegrasi dengan ekonomi global bagai pedang bermata dua. Mengurangi tingkat kemiskinan atau mempercepat proses pemiskinan.
Indonesia boleh bernapas lega, meski harus dicatat, Sierra Leone dulu pernah lebih baik dari India dan China. Namun, ada sebuah indikator yang memprihatinkan sejak zaman kolonial, yaitu sumber daya alam kita terus terkuras. Daya tawar republik merdeka lemah berhadapan dengan kepentingan asing.
Rasa kurang percaya diri kita merupakan warisan mentalitas terjajah. Pejabat membiarkan kontrak karya jangka panjang yang merugikan bangsa. Tak terhindar kesan menghamba kepentingan asing. Lemah mental itu diperparah dengan lemahnya kemauan pejabat untuk pasang badan demi kepentingan bangsa. Birokrasi kita dipenuhi orang yang kekuatan integritasnya digerogoti mentalitas korupsi.
Efek negara lemah, pemerintah diam saja melihat rupiah tidak laku di lokasi resor yang disewakan kepada pihak asing. Bahkan, ada resor yang tertutup bagi WNI. Pemerintah diam saja atas insiden pembakaran puluhan kapal nelayan tradisional kita yang dituduh melanggar batas teritorial Australia. Nasib seperti itu belum pernah menimpa kapal asing modern yang jelas menjarah hasil laut di perairan kita.
Dalam indeks pembatasan tarif perdagangan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 125 negara. Namun, tingkat tarif yang kompetitif di kawasan regional itu tidak membawa hasil optimal karena buruknya layanan birokrasi, efisiensi pelabuhan, dan fasilitas perdagangan lain. Dengan ketidaksiapan internal seperti itu, sebenarnya keterbukaan Indonesia mengundang neokolonialisme ekonomi.
Maka, saatnya pemerintah mengkaji ulang keterbukaannya dan mundur selangkah (untuk maju) untuk jangka pendek. Reposisi kebijakan pasar demi keadilan dan pertumbuhan berkelanjutan. Proteksi dan restriksi demi kemandirian bangsa. Sementara itu, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi dilakukan radikal guna memperkuat daya saing bangsa. Langkah mundur seperti itu tentu bisa diterima pasar (market-friendly).
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/08/00352319/globalisasi.pemiskinan
Setelah beberapa anak balita meninggal karena gizi buruk di Kabupaten Rote Ndao, tragedi kemiskinan kembali terulang di NTT. Ibu muda di Kabupaten Timor Tengah Selatan tewas menggantung diri setelah meracuni putri semata wayangnya, Kamis (3/7).
Magdalena terimpit biaya hidup yang melambung dan utang yang belum terbayar, sementara suaminya hanya penganggur. Ia tidak tega melihat buah hatinya menderita. Gagal hidup seperti itu pertanda kelalaian dan ketidakberdayaan pemerintah yang terjebak globalisasi pemiskinan. Tiada arti kedaulatan teritorial tanpa kedaulatan pangan dan energi.
Warga miskin terjepit di antara pasar (global) dan negara. Pemerintah bertanggung jawab melindungi warga miskin dari mekanisme harga pasar dan pada saat sama memperkuat basis ekonomi warga. Berhadapan dengan pasar, posisi tawar negara harus kuat untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan dasar warga. Ketika negara gagal merepresentasikan kepentingan warga lemah, rasionalitas bernegara digugat.
Keterbukaan gradual
Globalisasi bukan kambing hitam. Kini pihak pro-kontra kian merapat dalam tolok ukur keberhasilan globalisasi. Pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Meski demikian, penganjur liberalisasi perdagangan masih menggiring opini negara miskin dan berkembang bahwa indikator pertumbuhan adalah tingginya volume perdagangan, yang diyakini berdampak langsung pada pemerataan distribusi pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Berdasarkan itu juga, Bank Dunia membagi negara menjadi globalizers dan nonglobalizers.
Benar, selama 50 tahun terakhir tak ada negara dengan kebijakan ekonomi tertutup tumbuh lebih cepat dari yang terbuka. Namun, sama benarnya, tidak ada negara yang tumbuh hanya karena membuka diri kepada perdagangan luar negeri dan investasi asing. Pokok masalah bukan proteksi atau liberalisasi.
Fakta yang diabaikan, China baru belakangan serius meliberalisasi perdagangan dan menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001. Sebelum itu, China menerapkan banyak kebijakan yang bertentangan dengan liberalisasi perdagangan. Pasar keuangan tertutup bagi investor asing. Tiada privatisasi BUMN. Namun, China memanfaatkan peran pasar, insentif swasta, dan inovasi kelembagaan yang disesuaikan kondisi lokal.
Selama periode pertumbuhan tinggi di China tahun 1980-an, rata-rata tarif lebih tinggi daripada periode pertumbuhan rendah tahun 1970. Reformasi perdagangan baru dilakukan satu dekade sesudah ekonomi tumbuh lebih tinggi. Secara parsial dan gradual membuka diri kepada produk impor dan investasi asing. Demikian juga India. Hingga pertengahan 1990-an, restriksi perdagangan kedua negara itu tertinggi di dunia.
Kisah serupa juga terjadi dengan Vietnam (bukan anggota WTO) yang perdagangan luar negerinya dimonopoli negara. Tarif tinggi dikenakan untuk impor produk pertanian dan industri (30-50 persen). Meski demikian, Vietnam cepat terintegrasi dengan ekonomi global. Ekspansi perdagangan mencapai dua digit. Angka pertumbuhan PDB lebih dari delapan persen. Tingkat kemiskinan menurun tajam.
Sebaliknya, Haiti (anggota WTO) drastis menurunkan tarif impor hingga 15 persen dan meniadakan semua restriksi kuantitatif. Namun, ekonomi stagnan. Tingkat investasi asing rendah. Integrasi dengan ekonomi global hanya maju sedikit. Bahkan, indikator sosial memburuk.
Dengan demikian, tiada resep tunggal untuk pertumbuhan ekonomi (Dani Rodrik, One Economics, Many Recipes: Globalization, Institutions, and Economic Growth, 2007). Tiap negara harus menentukan prioritas kebijakan ekonominya dengan tepat, sesuai keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Kejelian memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan pasar global dikombinasikan dengan investasi dan pelembagaan kewirausahaan di dalam negeri.
Negara lemah
Negara-negara termiskin di Afrika gagal tumbuh. Mereka tak terisolasi dari proses globalisasi, tetapi terglobalisasi secara negatif (Paul Collier, The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, 2007). Semua sumber daya terkuras ke luar. Eksploitasi sumber daya alam. Investasi warga kaya di luar negeri. Migrasi kaum terpelajar ke negara-negara lain (brain drain).
Negara-negara gagal itu ada di posisi terbawah sistem ekonomi global. Mereka tak hanya terbelakang (falling behind), tetapi juga di ambang kehancuran (falling apart). Maka, dampak terintegrasi dengan ekonomi global bagai pedang bermata dua. Mengurangi tingkat kemiskinan atau mempercepat proses pemiskinan.
Indonesia boleh bernapas lega, meski harus dicatat, Sierra Leone dulu pernah lebih baik dari India dan China. Namun, ada sebuah indikator yang memprihatinkan sejak zaman kolonial, yaitu sumber daya alam kita terus terkuras. Daya tawar republik merdeka lemah berhadapan dengan kepentingan asing.
Rasa kurang percaya diri kita merupakan warisan mentalitas terjajah. Pejabat membiarkan kontrak karya jangka panjang yang merugikan bangsa. Tak terhindar kesan menghamba kepentingan asing. Lemah mental itu diperparah dengan lemahnya kemauan pejabat untuk pasang badan demi kepentingan bangsa. Birokrasi kita dipenuhi orang yang kekuatan integritasnya digerogoti mentalitas korupsi.
Efek negara lemah, pemerintah diam saja melihat rupiah tidak laku di lokasi resor yang disewakan kepada pihak asing. Bahkan, ada resor yang tertutup bagi WNI. Pemerintah diam saja atas insiden pembakaran puluhan kapal nelayan tradisional kita yang dituduh melanggar batas teritorial Australia. Nasib seperti itu belum pernah menimpa kapal asing modern yang jelas menjarah hasil laut di perairan kita.
Dalam indeks pembatasan tarif perdagangan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 125 negara. Namun, tingkat tarif yang kompetitif di kawasan regional itu tidak membawa hasil optimal karena buruknya layanan birokrasi, efisiensi pelabuhan, dan fasilitas perdagangan lain. Dengan ketidaksiapan internal seperti itu, sebenarnya keterbukaan Indonesia mengundang neokolonialisme ekonomi.
Maka, saatnya pemerintah mengkaji ulang keterbukaannya dan mundur selangkah (untuk maju) untuk jangka pendek. Reposisi kebijakan pasar demi keadilan dan pertumbuhan berkelanjutan. Proteksi dan restriksi demi kemandirian bangsa. Sementara itu, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi dilakukan radikal guna memperkuat daya saing bangsa. Langkah mundur seperti itu tentu bisa diterima pasar (market-friendly).
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/08/00352319/globalisasi.pemiskinan
Evo Morales & Bolivia
Evo Morales
Juan Evo Morales Ayma
--------------------------------------------------------------------------------
Presiden Bolivia ke-80
Masa jabatan
22 Januari 2006 – Sekarang
Wakil Presiden Álvaro García Linera
Pendahulu Eduardo Rodríguez
Pengganti Sedang Menjabat
--------------------------------------------------------------------------------
Lahir 26 Oktober 1959 (umur 49)
Orinoca, Oruro, Bolivia
Kebangsaan Bolivia
Partai politik Movimiento al Socialismo (MAS)
Agama Katholik Roma[1] / Indigenous religions
Juan Evo Morales Ayma (lahir di Orinoca, Oruro, Bolivia, 26 Oktober 1959; umur 49 tahun), yang populer dikenal dengan nama Evo (IPA: [ˈeβ̞o]) adalah Presiden Bolivia dan menjadi orang pribumi pertama untuk jabatan kepala negara sejak penjajahan Spanyol lebih dari 470 tahun yang lalu.[2][3][4][5] Klaim ini menyebabkan kontroversi,[6] karena ada para presiden mestizo sebelumnya.[7]
Morales adalah seorang sosialis dan berasal dari suku Indian (Aymara) dan dilantik menjadi presiden pada tanggal 22 Januari 2006.
Morales adalah pemimpin sayap kiri gerakan cocalero Bolivia– sebuah federasi kendur dari campesino penanam daun koka yang melawan upaya-upaya pemerintah Amerika Serikat untuk membasmi koka di Provinsi Chapare di Bolivia tenggara. Morales juga adalah pemimpin partai politik Gerakan untuk Sosialisme (Movimiento al Socialismo, dengan singkatannya dalam bahasa Spanyol MAS, yang berarti "lebih"), yang terlibat dalam Perang Gas, bersama-sama dengan banyak kelompok lainnya, yang biasanya dirujuk sebagai "gerakan sosial".
Pada pemilihan presiden 2002, Morales menempati tempat kedua, suatu kejutan yang mengecewakan bagi partai-partai tradisional Bolivia. Hal ini langsung membuat sang aktivis pribumi ini terkenal di seluruh benua Amerika. Morales menyebutkan bahwa kemenangan yang hampir diperolehnya itu sebagian disebabkan oleh komentar-komentar membakar yang ditujukan kepadanya oleh duta besar AS di Bolivia Manuel Rocha, dan menyebutkan bahwa mereka menolong "membangkitkan hati nurani rakyat". Morales akhirnya terpilih sebagai presiden dalam pemilihan 2005, setelah beberapa krisis yang disebabkan oleh masalah industri gas.
[sunting] Karier politik
Ketika ia melihat bahwa perjuangan sosial di kalangan petani-petani koka ini perlu ditingkatkan menjadi gerakan politik, maka partai yang bernama MAS yang dipimpin Evo Morales menjadi kekuatan politik yang terbesar dan terkuat di Bolivia. Melalui kampanyenya yang terang-terangan mengutuk kejahatan-kejahatan perusahaan-perusahaan multinasional, mengkritik praktek-praktek neoliberalisme dan globalisasi yang dilakukan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO, Evo Morales juga banyak bicara tentang pentingnya negara Bolivia mengkontrol pengelolaan gas bumi, yang merupakan cadangan besar sekali di benua Amerika Latin. Morales juga mengatakan bahwa ia tidak menyukai kapitalisme. Sejarah penjajahan Spanyol di Bolivia menunjukkan bahwa penjarahan besar-besaran kekayaan bumi Bolivia yang berupa timah hanya untuk kekayaan kapitalis-kapitalis Spanyol, sedangkan orang-orang dari suku Indian, yang merupakan mayoritas penduduk, tidak mendapat apa-apa atau sedikit sekali.
Pada masa reformasi ekonomi di tahun 1990-an, para mantan petambang mulai juga menanam koka dan ikut menyumbang perekonomian Bolivia yang kian meningkat dalam produksi dan penyelundupan narkoba internasional. Hal ini menjadi tersendat dan tidak lancar ketika pemerintahan Presiden Hugo Banzer mengupayakan penghapusan narkoba yang didukung Amerika Serikat pada pertengahan 1990-an. Mulai saat itu muncul berbagai ketegangan disertai banyak bentrokan dan protes.
Sebagai pemimpin para cocaleros, Morales terpilih menjadi anggota Kongres Bolivia pada 1997. Ia mewakili provinsi Chapare dan Carrasco de Cochabamba dengan 70% suara di distrik itu. Ini merupakan jumlah terbanyak di antara 68 anggota parlemen yang terpilih langsung dalam pemilu tersebut.
[sunting] Kelahiran dan keluarga
Morales lahir di Orinco, sebuah kota pertambangan di Wilayah Oruro, di Altiplano (daerah Dataran Tinggi) Bolivia. Seperti banyak penduduk asli di Dataran Tinggi, keluarganya pindah ke dataran rendah di Bolivia timur pada awal tahun 1980-an. Keluarganya menetap di Chapare. Di sana mereka menjadi petani, termasuk menanam pohon koka, bahan mentah yang dibutuhkan untuk menghasilkan kokain.
[sunting] Pemilu 2002
Morales (kanan) dengan José Bové pada tahun 2002.
[sunting] Pemecatan dari anggota Kongres
Pada Januari 2002, ia dipecat dari kursinya di Kongres karena tuduhan terorisme yang berkaitan dengan berbagai kerusuhan. Demonstran menentang penghapusan penanaman koka di Sacaba pada bulan itu. Empat petani koka, tiga tentara dan seorang perwira polisi terbunuh. Tetapi, ada yang menyebutkan pemecatannya dikarenakan bermacam tekanan berat dari kedutaan besar Amerika Serikat yang menuntut agar ia disingkirkan dari pemerintahan.
[sunting] Pencalonan menjadi presiden
Ia mengumumkan pencalonannya kembali dalam pemilu presiden 2002 dan kongres yang diadakan pada 27 Juni 2002. Kongres sempat menyatakan bahwa pemecatannya tidak konstitusional pada bulan Maret. Tetapi, ia tidak menuntut kembali kursinya di Kongres hingga Kongres yang baru disumpah pada 4 Agustus 2002. Meskipun MAS hanya mengumpulkan 4% suara di dalam proses jajak pendapat umum, namun partai ini mampu menggunakan sumber-sumbernya yang terbatas untuk mengadakan kampanye yang imajinatif dan menarik banyak perhatian.
Partai ini meninggalkan taktik-taktik kampanye tradisional dengan membagi-bagikan T-shirt, topi bisbol, kalender, dan cendera mata politik lainnya. Sebuah iklan televisi menggambarkan seorang pelayan Bolivia dari suku Indian asli mengimbau massa agar memberikan suaranya sesuai dengan hati nurani, bukan seperti apa yang diperintahkan oleh majikan atau boss. MAS mengembalikan uang bantuan dari pemerintah sekitar US$ 200.000 yang diberikan kepada setiap partai politik.
Selain memanfaatkan ketidaksenangan rakyat terhadap kehadiran Amerika Serikat dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Bolivia (Manuel Rocha) khususnya, MAS juga membagikan poster dengan foto Morales yang besar di tengah. Di atasnya tertulis: "Bangsa Bolivia: Anda yang Memutuskan. Siapa yang Berkuasa, Rocha atau Suara Rakyat?" dengan huruf-huruf yang besar-besar. Poster itu mempunyai dampak yang sangat besar. Ratusan ribu poster dicetak.
Tak seorangpun dari kandidat partai politik arus utama Bolivia yang mau berdebat dengan Morales. Mereka mengejek MAS sebagai "partai gurem." Ia pun mengatakan bahwa tidak berminat berdebat dengan mereka. "Orang yang ingin saya ajak berdebat adalah Duta Besar Rocha — saya lebih suka berdebat dengan sang pemilik sirkus, bukan dengan badut-badutnya," tandasnya kepada media.
Dalam sebuah pidato yang disampaikan di hadapan Presiden Jorgue Quiroga, Rocha berkata, "Saya ingin mengingatkan para pemilih Bolivia bahwa bila Anda memilih mereka yang ingin menjadikan Bolivia negara pengekspor kokain utama lagi, hal ini akan mengancam bantuan Amerika Serikat di masa depan untuk Bolivia."[8] Khususnya mereka yang hidup di wilayah-wilayah Altiplano yang umumnya adalah masyarakat bumiputra tetap berbondong-bondong memilih MAS. Rakyat Bolivia memberikannya 20.94% suara. Selisih ini hanya beberapa angka di bawah total suara yang diperoleh partai yang menang. Setelah itu, Morales berkata, "Setiap pernyataan yang dibuat Rocha untuk melawan kita justru telah menolong kita berkembang dan membangkitkan hati nurani rakyat."
[sunting] Menjadi oposisi kuat di Kongres
Karena menolak berkompromi, bahkan sebagian orang menganggapnya bersikap ekstrem, Morales dan MAS tidak diikutsertakan dalam koalisi pemerintahan. Koalisi akhirnya menentukan Gonzalo Sánchez de Lozada) sebagai presiden. Sehingga, MAS di bawah pimpinan Morales masuk ke Kongres sebagai partai oposisi yang kuat.
Evo Morales dan MAS memang tidak mempunyai program yang jelas, tetapi jelas siapa yang ditentangnya. Ia seorang orator yang pandai membakar semangat. Namun proposal alternatifnya kurang begitu jelas. Betapapun juga, Morales tidak melihat banyak harapan dari pemerintahan. Ia menganggap pemerintah mudah dikorupsi dari dalam dan dimaniplasi dari luar oleh kepentingan-kepentingan asing. Baginya, yang paling dibutuhkan kaum campesinos Bolivia yang miskin adalah otonomi, kesempatan yang sama, dan akses kepada tanah.
Sebagai jawaban terhadap pembunuhan terhadap tujuh orang pengunjuk rasa oleh Angkatan Bersenjata pada waktu Perang Gas Bolivia, Serikat Buruh Bolivia (COB) menyerukan pemogokan umum tanpa batas pada 29 September 2003. Morales dan MAS menolak ikut serta. Mereka lebih memusatkan perhatian dalam upaya merebut kekuasaan dalam pemilu wilayah 2004. Dalam pemilu 2002, ia mendorong rakyat memberikan suaranya untuk MAS. Komentar-komentarnya yang tajam dari duta besar Amerika Serikat membuatnya meraih posisi kedua. Tentu ini merupakan sebuah kejutan bagi partai-partai tradisional. Morales hampir saja terpilih menjadi presiden. Peristiwa unik demikian tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini membuat sang aktivis masyarakat pribumi itu langsung menjadi selebiriti di benua Amerika Selatan.
[sunting] Pemilu 2005
[sunting] Percepatan pemilu
Morales terlibat dalam mengorganisasi protes-protes yang berlanjut di ibu kota pada Juni 2005. Karena tekanan, akhirnya memaksa Presiden Carlos Mesa mengundurkan diri. Sebagai akibat dari rasa ketidakpuasan yang kian meningkat dan kegelisahan rakyat, Kongres Bolivia dan Presiden Konstitusional Eduardo Rodriguez memutuskan mempercepat pemilu dari 2007 ke Desember 2005.
Carlos Mesa yang terpilih sebagai Wakil Presiden dan melayani di bawah pemerintahan Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada mundur dua kali meskipun yang pertama ditolak Kongres. Ia menjadi presiden ketika Sanchez de Lozada dipaksa mengundurkan diri pada 2003. Kedua peristiwa kebangkitan rakyat ini disebabkan terutama karena kepemimpinan Morales, khususnya setelah hampir selama setahun secara tidak resmi ia ikut serta sebagai sekutu dalam pemerintahan Presiden Mesa.
Dalam sebuah pertemuan para petani yang merayakan hari jadi ke-10 MAS pada Maret 2005, Morales menyatakan bahwa "MAS siap memerintah Bolivia," karena partai ini telah "mengkonsolidasikan posisinya sebagai kekuatan politik [utama] di negeri ini." Namun demikian, ia mengakui bahwa "masalahnya bukan lagi memenangkan pemilu, tetapi bagaimana memerintah negara ini."[9]
Pengumpulan pendapat awal telah menempatkan Morales dan Gerakan Menuju Sosialisme dalam kedudukan seimbang dengan dua tokoh lainnya, yaitu pemimpin sayap tengah dan kanan serta pemimpin mayoritas perkotaan, Jorge Quiroga dan Samuel Doria Medina, dengan sedikit saja angka perbedaan. Semua ini menunjukkan betapa sulitnya menerka hasil pemilu presiden Bolivia 2005 ini.
Pada 21 Agustus 2005, Morales telah memilih pendampingnya untuk pemilu presiden Desember 2005, seorang ideolog sayap kiri, sosiolog, matematikawan, dan analis politik, Alvaro García Linera, yang berjuang berdampingan dengan Felipe Quispe sebagai bagian dari Ejercito Guerrillero Tupac Katari (EGTK).
Pada 4 Desember 2005, Morales terus-menerus unggul di berbagai poling dengan sekitar 32% suara. Ada lebih dari 100.000 hakim pemilu yang telah disumpah sementara negara ini mempersiapkan diri untuk mengadakan pemilu pada 18 Desember 2005. Kandidat yang kedua, 'Tuto' Quiroga, dari Partai PODEMOS, mendapatkan sekitar 27% suara, sementara Samuel Doria Medina hanya memperoleh kurang dari 15% suara. Semua partai ini menjanjikan solidaritas nasional, nasionalisasi (dalam berbagai tingkatannya) terhadap hidro-karbon, dan kekayaan rakyat.
[sunting] Memenangkan pemilu presiden
Evo Morales muncul sebagai pemenang dalam pemilihan presiden Bolivia. Hasil penghitungan suara secara acak dari mereka yang selesai memberikan suaranya (exit poll) menunjukkan bahwa Morales telah melampaui batas minimum 50% suara yang dibutuhkan. Sebelumnya exit poll memperlihatkan bahwa ia telah merebut 42%-45% suara, jauh di atas bekas presiden Jorge Quiroga. Quiroga sendiri telah mengakui kekalahannya dan menyampaikan ucapan selamat kepada Morales.
Dalam pemilu hari Minggu itu, Bolivia juga memilih parlemen atau Kongres yang baru serta gubernur. Menurut undang-undang pemilu Bolivia, bila tak seorangpun kandidat memperoleh jumlah minimum suara 50%, maka pemilu tidak akan dilanjutkan dengan putaran kedua, melainkan keputusan akan diambil oleh Kongres.
Pada 21 Desember 2005, komisi pemilu mengumumkan bahwa Morales telah dipastikan menjadi pemenang pemilu. Ia mendapatkan 54,3 persen suara dengan 93 persen suara yang telah dihitung, menurut hasil resmi. Kemenangannya memperlihatkan dukungan rakyat lebih besar dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya sejak demokrasi dipulihkan di negara itu dua dekade lalu. Setelah terpilih, dia menyatakan akan memotong setengah gajinya untuk kepentingan perluasan lapangan kerja.
Pemerintahan Morales telah mendapat ucapan selamat dan dukungan politik dari semua presiden di wilayah itu, serta sejumlah pemimpin Eropa serta presiden AS, George W. Bush.
[sunting] Ideologi
Morales menguraikan kekuatan pendorong di belakang MAS,
“ Musuh paling jahat dari umat manusia adalah kapitalisme. Itulah yang mendorong pemberontakan seperti yang kita alami, pemberontakan melawan sebuah sistem, melawan sebuah model neo-liberal, yang merupakan representasi dari kapitalisme yang buas. Bila seluruh dunia tidak mengakui realitas ini, bahwa negara-negara nasional tidak memberikan bahkan yang paling minimal kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan gizi untuk rakyat, maka setiap hari hak-hak manusia yang paling asasi sedang dilanggar. ”
Ia pun pernah menyatakan,
“ ...prinsip-prinsip ideologis dari organisasi, anti-imperialis dan berlawanan dengan neo-liberalisme, jelas dan teguh, tetapi anggota-anggotanya masih harus mengubahnya menjadi realitas yang berprogram.[10] ”
Morales menyebutkan pentingnya pembentukan sebuah Dewan Konstituante untuk mentransformasikan negara Bolivia. Ia pun mengusulkan dibentuknya sebuah undang-undang hidro-karbon yang baru untuk menjamin 50% hasilnya untuk Bolivia, meskipun MAS juga telah menunjukkan minatnya untuk melakukan nasionalisasi total atas industri gas dan minyak Bolivia.
Morales pernah mengungkapkan rasa kagumnya terhadap aktivis pribumi Guatemala, Rigoberta Menchu Tum, dan Fidel Castro. Ia kagum terhadap Castro karena perlawanannya terhadap AS. Morales juga percaya bahwa masalah kokain harus dipecahkan pada sisi konsumsinya, bukan dengan mengatur tanaman koka, yang sudah legal di daerah-daerah tertentu di Bolivia.
Ideologi Morales tentang narkoba dapat diringkas dalam kata-kata "daun koka bukanlah narkoba". Kenyataannya, mengunyah daun koka telah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat (Aymara dan Quechua) dan pengaruh obatnya tidak sekuat kafein yang terdapat di dalam kopi, namun bagi banyak rakyat Bolivia yang miskin ini dianggap sebagai satu-satunya cara untuk bekerja terus sepanjang hari -- bagi sebagian orang itu bisa berarti 15 hingga 18 jam sehari. Praktek mengunyah daun koka oleh penduduk pribumi di Bolivia sudah berlangsung lebih dari 1000 tahun dan tidak pernah menimbulkan masalah narkoba di masyarakat mereka. Itulah sebabnya Morales percaya bahwa masalah kokain harus diselesaikan pada sisi konsumsinya, bukan dengan membasmi perkebunan koka.
Pemerintahan Morales sangat berbeda pendapat dengan Amerika Serikat dalam masalah undang-undang anti narkoba dan kerja sama antara kedua negara itu, namun para pejabat dari kedua negara telah mengungkapkan keinginan untuk bekerja sama dalam membasmi perdagangan narkoba. Sean McCormack dari Departemen Luar Negeri AS memperkuat dukungan terhadap kebijakan anti narkoba Bolivia, sementara Morales menyatakan:
“ Kami akan menerapkan kebijakan nol kokain, nol perdagangan narkoba, namun bukannya nol koka.[11] ”
[sunting] Kunjungan Kenegaraan
Morales dan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da SilvaSebelum dilantik sebagai presiden, ia sudah mengadakan kunjungan internasional di negeri-negeri penting di 4 benua. Antara lain ia telah mengunjungi Spanyol, Prancis, Belgia, Afrika Selatan, Tiongkok dan Brasil, untuk bertemu dengan berbagai kepala negara dan tokoh-tokoh dunia. Ia telah bertemu dengan presiden Prancis Jacques Chirac, pimpinan Uni Eropa Javier Solana, menteri luar negeri Belanda Ben Bot, presiden Tiongkok Hu Jintao, dan presiden Lula dari Brasil.
Pers internasional banyak memberitakan tentang kunjungan kilatnya ini, termasuk keistimewaan Evo Morales mengenai pakaiannya selama pertemuan dengan berbagai tokoh terkemuka di banyak negeri itu. Sebab, dalam kunjungannya ini ia selalu memakai pakaian yang sederhana, yaitu jaket kulit atau pakaian semacam sweater yang dibuat dengan alpaca (bahan pakaian tradisional yang banyak dibuat orang-orang Indian). Begitu sederhananya, sehingga soal pakaian Evo Morales disoroti oleh sebagian media massa berbagai negeri lebih banyak daripada politiknya. Ada yang menganggap bahwa pakaiannya yang sederhana ini, bahkan tanpa memakai dasi, kurang menghormati protokol.
Pada 29 Desember 2005, Evo Morales melakukan lawatan internasional yang digambarkan oleh media Amerika Latin luar biasa [1]. Selama 2 minggu, Morales mengunjungi beberapa negeri dalam mencari dukungan politik dan ekonomi untuk agendanya dalam transformasi Bolivia. Konon lawatan ini menjadi gebrakan tradisi selama beberapa dasawarsa di mana tujuan internasional pertama oleh presiden terpilih Bolivia adalah AS.
[sunting] Garis waktu perjalanan keliling dunia Morales
30 Desember 2005: Evo Morales berkunjung ke Kuba setelah merayakan kemenangannya di kotanya Orinoca. Di Havana Morales disambut dengan karpet merah dan mendapatkan kehormatan lengkap dari Presiden Fidel Castro. Morales menandatangani perjanjian kerja sama antara Bolivia dan Kuba yang berisi janji Kuba untuk membantu Bolivia dalam masalah-masalah seperti kesehatan dan pendidikan. Dalam pidatonya Morales menggambarkan Castro dan Chávez sebagai “kamerad dalam perjuangan pembebasan benua Amerika dan dunia”.[12]
3 Januari 2006: Bertemu dengan Hugo Chávez di Caracas. Chávez menawarkan Bolivia 150 000 barel minyak solar per bulan untuk menggantikan impor dari negara-negara lain. Sebagai gantinya, Bolivia akan membayar Venezuela dengan hasil pertanian dari Bolivia.[13]
4 Januari 2006: Perdana Menteri Spanyol José Luis Rodríguez Zapatero menerima Morales di Istana La Moncloa. Zapatero mengumumkan penghapusan utang Bolivia kepada Spanyol sebesar 120 juta euro.
5 Januari 2006: Raja Juan Carlos menerima Morales di istananya di La Zarzuela. Media Spanyol mengkritik Morales karena berpakaian tidak formal, dengan hanya mengenakan sweater yang terbuat dari wol alpaca dengan motif Amerindian dan warna-warna dalam pertemuannya dengan raja.[14] Pada saat yang sama José María Aznar mengumumkan bahwa ia akan menggunakan organisasi pengumpulan dana pribadinya untuk melawan Castro, Morales dan Chávez.[15]
6 Januari 2006: Bertemu dengan Presiden Perancis Jacques Chirac di Paris. Chirac menjanjikan bantuan ekonomi dan politik sejauh investasi Perancis di Bolivia dilindungi.[16] Pada hari yang sama ia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot yang menjanjikan bantuan sebesar €15 juta per tahun.
7 Januari 2006: Bertemu dengan Javier Solana di Brussels yang juga menjanjikan dukungan ekonomi untuk Bolivia sebagai ganti perlindungan untuk investasi-investasi Eropa di Bolivia.[17]
9 Januari 2006: Bertemu dengan Hu Jintao dan Menteri Perdagangan Tiongkok Bo Xilai. Morales mengundang pengusaha dan pemerintah Tiongkok untuk menanam modal di proyek-proyek eksplorasi dan eksploitasi gas alam dan ikut serta dalam pembangunan pengilangan gas di Bolivia.[18]
10 Januari 2006: Morales diterima di Pretoria oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki. Morales membandingkan kunjungan bangsa Afrika Hitam di masa Apartheid dengan kunjungan bangsa-bangsa Amerindian di benua Amerika.[19]
11 Januari 2006: Bertemu dengan uskup agung Desmond Tutu yang melukiskannya sebagai manusia yang ‘sangat rendah hati dan hangat’, serta dengan bekas presiden F.W. de Klerk.[20]
13 Januari 2006: Berkunjung ke Brasil dan bertemu dengan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva dan menggambarkannya sebagai "kamerad dan saudara." Morales dan Lula sepakat bekerja sama dalam program mengakhiri kemiskinan.[21]
Juan Evo Morales Ayma
--------------------------------------------------------------------------------
Presiden Bolivia ke-80
Masa jabatan
22 Januari 2006 – Sekarang
Wakil Presiden Álvaro García Linera
Pendahulu Eduardo Rodríguez
Pengganti Sedang Menjabat
--------------------------------------------------------------------------------
Lahir 26 Oktober 1959 (umur 49)
Orinoca, Oruro, Bolivia
Kebangsaan Bolivia
Partai politik Movimiento al Socialismo (MAS)
Agama Katholik Roma[1] / Indigenous religions
Juan Evo Morales Ayma (lahir di Orinoca, Oruro, Bolivia, 26 Oktober 1959; umur 49 tahun), yang populer dikenal dengan nama Evo (IPA: [ˈeβ̞o]) adalah Presiden Bolivia dan menjadi orang pribumi pertama untuk jabatan kepala negara sejak penjajahan Spanyol lebih dari 470 tahun yang lalu.[2][3][4][5] Klaim ini menyebabkan kontroversi,[6] karena ada para presiden mestizo sebelumnya.[7]
Morales adalah seorang sosialis dan berasal dari suku Indian (Aymara) dan dilantik menjadi presiden pada tanggal 22 Januari 2006.
Morales adalah pemimpin sayap kiri gerakan cocalero Bolivia– sebuah federasi kendur dari campesino penanam daun koka yang melawan upaya-upaya pemerintah Amerika Serikat untuk membasmi koka di Provinsi Chapare di Bolivia tenggara. Morales juga adalah pemimpin partai politik Gerakan untuk Sosialisme (Movimiento al Socialismo, dengan singkatannya dalam bahasa Spanyol MAS, yang berarti "lebih"), yang terlibat dalam Perang Gas, bersama-sama dengan banyak kelompok lainnya, yang biasanya dirujuk sebagai "gerakan sosial".
Pada pemilihan presiden 2002, Morales menempati tempat kedua, suatu kejutan yang mengecewakan bagi partai-partai tradisional Bolivia. Hal ini langsung membuat sang aktivis pribumi ini terkenal di seluruh benua Amerika. Morales menyebutkan bahwa kemenangan yang hampir diperolehnya itu sebagian disebabkan oleh komentar-komentar membakar yang ditujukan kepadanya oleh duta besar AS di Bolivia Manuel Rocha, dan menyebutkan bahwa mereka menolong "membangkitkan hati nurani rakyat". Morales akhirnya terpilih sebagai presiden dalam pemilihan 2005, setelah beberapa krisis yang disebabkan oleh masalah industri gas.
[sunting] Karier politik
Ketika ia melihat bahwa perjuangan sosial di kalangan petani-petani koka ini perlu ditingkatkan menjadi gerakan politik, maka partai yang bernama MAS yang dipimpin Evo Morales menjadi kekuatan politik yang terbesar dan terkuat di Bolivia. Melalui kampanyenya yang terang-terangan mengutuk kejahatan-kejahatan perusahaan-perusahaan multinasional, mengkritik praktek-praktek neoliberalisme dan globalisasi yang dilakukan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO, Evo Morales juga banyak bicara tentang pentingnya negara Bolivia mengkontrol pengelolaan gas bumi, yang merupakan cadangan besar sekali di benua Amerika Latin. Morales juga mengatakan bahwa ia tidak menyukai kapitalisme. Sejarah penjajahan Spanyol di Bolivia menunjukkan bahwa penjarahan besar-besaran kekayaan bumi Bolivia yang berupa timah hanya untuk kekayaan kapitalis-kapitalis Spanyol, sedangkan orang-orang dari suku Indian, yang merupakan mayoritas penduduk, tidak mendapat apa-apa atau sedikit sekali.
Pada masa reformasi ekonomi di tahun 1990-an, para mantan petambang mulai juga menanam koka dan ikut menyumbang perekonomian Bolivia yang kian meningkat dalam produksi dan penyelundupan narkoba internasional. Hal ini menjadi tersendat dan tidak lancar ketika pemerintahan Presiden Hugo Banzer mengupayakan penghapusan narkoba yang didukung Amerika Serikat pada pertengahan 1990-an. Mulai saat itu muncul berbagai ketegangan disertai banyak bentrokan dan protes.
Sebagai pemimpin para cocaleros, Morales terpilih menjadi anggota Kongres Bolivia pada 1997. Ia mewakili provinsi Chapare dan Carrasco de Cochabamba dengan 70% suara di distrik itu. Ini merupakan jumlah terbanyak di antara 68 anggota parlemen yang terpilih langsung dalam pemilu tersebut.
[sunting] Kelahiran dan keluarga
Morales lahir di Orinco, sebuah kota pertambangan di Wilayah Oruro, di Altiplano (daerah Dataran Tinggi) Bolivia. Seperti banyak penduduk asli di Dataran Tinggi, keluarganya pindah ke dataran rendah di Bolivia timur pada awal tahun 1980-an. Keluarganya menetap di Chapare. Di sana mereka menjadi petani, termasuk menanam pohon koka, bahan mentah yang dibutuhkan untuk menghasilkan kokain.
[sunting] Pemilu 2002
Morales (kanan) dengan José Bové pada tahun 2002.
[sunting] Pemecatan dari anggota Kongres
Pada Januari 2002, ia dipecat dari kursinya di Kongres karena tuduhan terorisme yang berkaitan dengan berbagai kerusuhan. Demonstran menentang penghapusan penanaman koka di Sacaba pada bulan itu. Empat petani koka, tiga tentara dan seorang perwira polisi terbunuh. Tetapi, ada yang menyebutkan pemecatannya dikarenakan bermacam tekanan berat dari kedutaan besar Amerika Serikat yang menuntut agar ia disingkirkan dari pemerintahan.
[sunting] Pencalonan menjadi presiden
Ia mengumumkan pencalonannya kembali dalam pemilu presiden 2002 dan kongres yang diadakan pada 27 Juni 2002. Kongres sempat menyatakan bahwa pemecatannya tidak konstitusional pada bulan Maret. Tetapi, ia tidak menuntut kembali kursinya di Kongres hingga Kongres yang baru disumpah pada 4 Agustus 2002. Meskipun MAS hanya mengumpulkan 4% suara di dalam proses jajak pendapat umum, namun partai ini mampu menggunakan sumber-sumbernya yang terbatas untuk mengadakan kampanye yang imajinatif dan menarik banyak perhatian.
Partai ini meninggalkan taktik-taktik kampanye tradisional dengan membagi-bagikan T-shirt, topi bisbol, kalender, dan cendera mata politik lainnya. Sebuah iklan televisi menggambarkan seorang pelayan Bolivia dari suku Indian asli mengimbau massa agar memberikan suaranya sesuai dengan hati nurani, bukan seperti apa yang diperintahkan oleh majikan atau boss. MAS mengembalikan uang bantuan dari pemerintah sekitar US$ 200.000 yang diberikan kepada setiap partai politik.
Selain memanfaatkan ketidaksenangan rakyat terhadap kehadiran Amerika Serikat dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Bolivia (Manuel Rocha) khususnya, MAS juga membagikan poster dengan foto Morales yang besar di tengah. Di atasnya tertulis: "Bangsa Bolivia: Anda yang Memutuskan. Siapa yang Berkuasa, Rocha atau Suara Rakyat?" dengan huruf-huruf yang besar-besar. Poster itu mempunyai dampak yang sangat besar. Ratusan ribu poster dicetak.
Tak seorangpun dari kandidat partai politik arus utama Bolivia yang mau berdebat dengan Morales. Mereka mengejek MAS sebagai "partai gurem." Ia pun mengatakan bahwa tidak berminat berdebat dengan mereka. "Orang yang ingin saya ajak berdebat adalah Duta Besar Rocha — saya lebih suka berdebat dengan sang pemilik sirkus, bukan dengan badut-badutnya," tandasnya kepada media.
Dalam sebuah pidato yang disampaikan di hadapan Presiden Jorgue Quiroga, Rocha berkata, "Saya ingin mengingatkan para pemilih Bolivia bahwa bila Anda memilih mereka yang ingin menjadikan Bolivia negara pengekspor kokain utama lagi, hal ini akan mengancam bantuan Amerika Serikat di masa depan untuk Bolivia."[8] Khususnya mereka yang hidup di wilayah-wilayah Altiplano yang umumnya adalah masyarakat bumiputra tetap berbondong-bondong memilih MAS. Rakyat Bolivia memberikannya 20.94% suara. Selisih ini hanya beberapa angka di bawah total suara yang diperoleh partai yang menang. Setelah itu, Morales berkata, "Setiap pernyataan yang dibuat Rocha untuk melawan kita justru telah menolong kita berkembang dan membangkitkan hati nurani rakyat."
[sunting] Menjadi oposisi kuat di Kongres
Karena menolak berkompromi, bahkan sebagian orang menganggapnya bersikap ekstrem, Morales dan MAS tidak diikutsertakan dalam koalisi pemerintahan. Koalisi akhirnya menentukan Gonzalo Sánchez de Lozada) sebagai presiden. Sehingga, MAS di bawah pimpinan Morales masuk ke Kongres sebagai partai oposisi yang kuat.
Evo Morales dan MAS memang tidak mempunyai program yang jelas, tetapi jelas siapa yang ditentangnya. Ia seorang orator yang pandai membakar semangat. Namun proposal alternatifnya kurang begitu jelas. Betapapun juga, Morales tidak melihat banyak harapan dari pemerintahan. Ia menganggap pemerintah mudah dikorupsi dari dalam dan dimaniplasi dari luar oleh kepentingan-kepentingan asing. Baginya, yang paling dibutuhkan kaum campesinos Bolivia yang miskin adalah otonomi, kesempatan yang sama, dan akses kepada tanah.
Sebagai jawaban terhadap pembunuhan terhadap tujuh orang pengunjuk rasa oleh Angkatan Bersenjata pada waktu Perang Gas Bolivia, Serikat Buruh Bolivia (COB) menyerukan pemogokan umum tanpa batas pada 29 September 2003. Morales dan MAS menolak ikut serta. Mereka lebih memusatkan perhatian dalam upaya merebut kekuasaan dalam pemilu wilayah 2004. Dalam pemilu 2002, ia mendorong rakyat memberikan suaranya untuk MAS. Komentar-komentarnya yang tajam dari duta besar Amerika Serikat membuatnya meraih posisi kedua. Tentu ini merupakan sebuah kejutan bagi partai-partai tradisional. Morales hampir saja terpilih menjadi presiden. Peristiwa unik demikian tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini membuat sang aktivis masyarakat pribumi itu langsung menjadi selebiriti di benua Amerika Selatan.
[sunting] Pemilu 2005
[sunting] Percepatan pemilu
Morales terlibat dalam mengorganisasi protes-protes yang berlanjut di ibu kota pada Juni 2005. Karena tekanan, akhirnya memaksa Presiden Carlos Mesa mengundurkan diri. Sebagai akibat dari rasa ketidakpuasan yang kian meningkat dan kegelisahan rakyat, Kongres Bolivia dan Presiden Konstitusional Eduardo Rodriguez memutuskan mempercepat pemilu dari 2007 ke Desember 2005.
Carlos Mesa yang terpilih sebagai Wakil Presiden dan melayani di bawah pemerintahan Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada mundur dua kali meskipun yang pertama ditolak Kongres. Ia menjadi presiden ketika Sanchez de Lozada dipaksa mengundurkan diri pada 2003. Kedua peristiwa kebangkitan rakyat ini disebabkan terutama karena kepemimpinan Morales, khususnya setelah hampir selama setahun secara tidak resmi ia ikut serta sebagai sekutu dalam pemerintahan Presiden Mesa.
Dalam sebuah pertemuan para petani yang merayakan hari jadi ke-10 MAS pada Maret 2005, Morales menyatakan bahwa "MAS siap memerintah Bolivia," karena partai ini telah "mengkonsolidasikan posisinya sebagai kekuatan politik [utama] di negeri ini." Namun demikian, ia mengakui bahwa "masalahnya bukan lagi memenangkan pemilu, tetapi bagaimana memerintah negara ini."[9]
Pengumpulan pendapat awal telah menempatkan Morales dan Gerakan Menuju Sosialisme dalam kedudukan seimbang dengan dua tokoh lainnya, yaitu pemimpin sayap tengah dan kanan serta pemimpin mayoritas perkotaan, Jorge Quiroga dan Samuel Doria Medina, dengan sedikit saja angka perbedaan. Semua ini menunjukkan betapa sulitnya menerka hasil pemilu presiden Bolivia 2005 ini.
Pada 21 Agustus 2005, Morales telah memilih pendampingnya untuk pemilu presiden Desember 2005, seorang ideolog sayap kiri, sosiolog, matematikawan, dan analis politik, Alvaro García Linera, yang berjuang berdampingan dengan Felipe Quispe sebagai bagian dari Ejercito Guerrillero Tupac Katari (EGTK).
Pada 4 Desember 2005, Morales terus-menerus unggul di berbagai poling dengan sekitar 32% suara. Ada lebih dari 100.000 hakim pemilu yang telah disumpah sementara negara ini mempersiapkan diri untuk mengadakan pemilu pada 18 Desember 2005. Kandidat yang kedua, 'Tuto' Quiroga, dari Partai PODEMOS, mendapatkan sekitar 27% suara, sementara Samuel Doria Medina hanya memperoleh kurang dari 15% suara. Semua partai ini menjanjikan solidaritas nasional, nasionalisasi (dalam berbagai tingkatannya) terhadap hidro-karbon, dan kekayaan rakyat.
[sunting] Memenangkan pemilu presiden
Evo Morales muncul sebagai pemenang dalam pemilihan presiden Bolivia. Hasil penghitungan suara secara acak dari mereka yang selesai memberikan suaranya (exit poll) menunjukkan bahwa Morales telah melampaui batas minimum 50% suara yang dibutuhkan. Sebelumnya exit poll memperlihatkan bahwa ia telah merebut 42%-45% suara, jauh di atas bekas presiden Jorge Quiroga. Quiroga sendiri telah mengakui kekalahannya dan menyampaikan ucapan selamat kepada Morales.
Dalam pemilu hari Minggu itu, Bolivia juga memilih parlemen atau Kongres yang baru serta gubernur. Menurut undang-undang pemilu Bolivia, bila tak seorangpun kandidat memperoleh jumlah minimum suara 50%, maka pemilu tidak akan dilanjutkan dengan putaran kedua, melainkan keputusan akan diambil oleh Kongres.
Pada 21 Desember 2005, komisi pemilu mengumumkan bahwa Morales telah dipastikan menjadi pemenang pemilu. Ia mendapatkan 54,3 persen suara dengan 93 persen suara yang telah dihitung, menurut hasil resmi. Kemenangannya memperlihatkan dukungan rakyat lebih besar dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya sejak demokrasi dipulihkan di negara itu dua dekade lalu. Setelah terpilih, dia menyatakan akan memotong setengah gajinya untuk kepentingan perluasan lapangan kerja.
Pemerintahan Morales telah mendapat ucapan selamat dan dukungan politik dari semua presiden di wilayah itu, serta sejumlah pemimpin Eropa serta presiden AS, George W. Bush.
[sunting] Ideologi
Morales menguraikan kekuatan pendorong di belakang MAS,
“ Musuh paling jahat dari umat manusia adalah kapitalisme. Itulah yang mendorong pemberontakan seperti yang kita alami, pemberontakan melawan sebuah sistem, melawan sebuah model neo-liberal, yang merupakan representasi dari kapitalisme yang buas. Bila seluruh dunia tidak mengakui realitas ini, bahwa negara-negara nasional tidak memberikan bahkan yang paling minimal kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan gizi untuk rakyat, maka setiap hari hak-hak manusia yang paling asasi sedang dilanggar. ”
Ia pun pernah menyatakan,
“ ...prinsip-prinsip ideologis dari organisasi, anti-imperialis dan berlawanan dengan neo-liberalisme, jelas dan teguh, tetapi anggota-anggotanya masih harus mengubahnya menjadi realitas yang berprogram.[10] ”
Morales menyebutkan pentingnya pembentukan sebuah Dewan Konstituante untuk mentransformasikan negara Bolivia. Ia pun mengusulkan dibentuknya sebuah undang-undang hidro-karbon yang baru untuk menjamin 50% hasilnya untuk Bolivia, meskipun MAS juga telah menunjukkan minatnya untuk melakukan nasionalisasi total atas industri gas dan minyak Bolivia.
Morales pernah mengungkapkan rasa kagumnya terhadap aktivis pribumi Guatemala, Rigoberta Menchu Tum, dan Fidel Castro. Ia kagum terhadap Castro karena perlawanannya terhadap AS. Morales juga percaya bahwa masalah kokain harus dipecahkan pada sisi konsumsinya, bukan dengan mengatur tanaman koka, yang sudah legal di daerah-daerah tertentu di Bolivia.
Ideologi Morales tentang narkoba dapat diringkas dalam kata-kata "daun koka bukanlah narkoba". Kenyataannya, mengunyah daun koka telah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat (Aymara dan Quechua) dan pengaruh obatnya tidak sekuat kafein yang terdapat di dalam kopi, namun bagi banyak rakyat Bolivia yang miskin ini dianggap sebagai satu-satunya cara untuk bekerja terus sepanjang hari -- bagi sebagian orang itu bisa berarti 15 hingga 18 jam sehari. Praktek mengunyah daun koka oleh penduduk pribumi di Bolivia sudah berlangsung lebih dari 1000 tahun dan tidak pernah menimbulkan masalah narkoba di masyarakat mereka. Itulah sebabnya Morales percaya bahwa masalah kokain harus diselesaikan pada sisi konsumsinya, bukan dengan membasmi perkebunan koka.
Pemerintahan Morales sangat berbeda pendapat dengan Amerika Serikat dalam masalah undang-undang anti narkoba dan kerja sama antara kedua negara itu, namun para pejabat dari kedua negara telah mengungkapkan keinginan untuk bekerja sama dalam membasmi perdagangan narkoba. Sean McCormack dari Departemen Luar Negeri AS memperkuat dukungan terhadap kebijakan anti narkoba Bolivia, sementara Morales menyatakan:
“ Kami akan menerapkan kebijakan nol kokain, nol perdagangan narkoba, namun bukannya nol koka.[11] ”
[sunting] Kunjungan Kenegaraan
Morales dan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da SilvaSebelum dilantik sebagai presiden, ia sudah mengadakan kunjungan internasional di negeri-negeri penting di 4 benua. Antara lain ia telah mengunjungi Spanyol, Prancis, Belgia, Afrika Selatan, Tiongkok dan Brasil, untuk bertemu dengan berbagai kepala negara dan tokoh-tokoh dunia. Ia telah bertemu dengan presiden Prancis Jacques Chirac, pimpinan Uni Eropa Javier Solana, menteri luar negeri Belanda Ben Bot, presiden Tiongkok Hu Jintao, dan presiden Lula dari Brasil.
Pers internasional banyak memberitakan tentang kunjungan kilatnya ini, termasuk keistimewaan Evo Morales mengenai pakaiannya selama pertemuan dengan berbagai tokoh terkemuka di banyak negeri itu. Sebab, dalam kunjungannya ini ia selalu memakai pakaian yang sederhana, yaitu jaket kulit atau pakaian semacam sweater yang dibuat dengan alpaca (bahan pakaian tradisional yang banyak dibuat orang-orang Indian). Begitu sederhananya, sehingga soal pakaian Evo Morales disoroti oleh sebagian media massa berbagai negeri lebih banyak daripada politiknya. Ada yang menganggap bahwa pakaiannya yang sederhana ini, bahkan tanpa memakai dasi, kurang menghormati protokol.
Pada 29 Desember 2005, Evo Morales melakukan lawatan internasional yang digambarkan oleh media Amerika Latin luar biasa [1]. Selama 2 minggu, Morales mengunjungi beberapa negeri dalam mencari dukungan politik dan ekonomi untuk agendanya dalam transformasi Bolivia. Konon lawatan ini menjadi gebrakan tradisi selama beberapa dasawarsa di mana tujuan internasional pertama oleh presiden terpilih Bolivia adalah AS.
[sunting] Garis waktu perjalanan keliling dunia Morales
30 Desember 2005: Evo Morales berkunjung ke Kuba setelah merayakan kemenangannya di kotanya Orinoca. Di Havana Morales disambut dengan karpet merah dan mendapatkan kehormatan lengkap dari Presiden Fidel Castro. Morales menandatangani perjanjian kerja sama antara Bolivia dan Kuba yang berisi janji Kuba untuk membantu Bolivia dalam masalah-masalah seperti kesehatan dan pendidikan. Dalam pidatonya Morales menggambarkan Castro dan Chávez sebagai “kamerad dalam perjuangan pembebasan benua Amerika dan dunia”.[12]
3 Januari 2006: Bertemu dengan Hugo Chávez di Caracas. Chávez menawarkan Bolivia 150 000 barel minyak solar per bulan untuk menggantikan impor dari negara-negara lain. Sebagai gantinya, Bolivia akan membayar Venezuela dengan hasil pertanian dari Bolivia.[13]
4 Januari 2006: Perdana Menteri Spanyol José Luis Rodríguez Zapatero menerima Morales di Istana La Moncloa. Zapatero mengumumkan penghapusan utang Bolivia kepada Spanyol sebesar 120 juta euro.
5 Januari 2006: Raja Juan Carlos menerima Morales di istananya di La Zarzuela. Media Spanyol mengkritik Morales karena berpakaian tidak formal, dengan hanya mengenakan sweater yang terbuat dari wol alpaca dengan motif Amerindian dan warna-warna dalam pertemuannya dengan raja.[14] Pada saat yang sama José María Aznar mengumumkan bahwa ia akan menggunakan organisasi pengumpulan dana pribadinya untuk melawan Castro, Morales dan Chávez.[15]
6 Januari 2006: Bertemu dengan Presiden Perancis Jacques Chirac di Paris. Chirac menjanjikan bantuan ekonomi dan politik sejauh investasi Perancis di Bolivia dilindungi.[16] Pada hari yang sama ia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot yang menjanjikan bantuan sebesar €15 juta per tahun.
7 Januari 2006: Bertemu dengan Javier Solana di Brussels yang juga menjanjikan dukungan ekonomi untuk Bolivia sebagai ganti perlindungan untuk investasi-investasi Eropa di Bolivia.[17]
9 Januari 2006: Bertemu dengan Hu Jintao dan Menteri Perdagangan Tiongkok Bo Xilai. Morales mengundang pengusaha dan pemerintah Tiongkok untuk menanam modal di proyek-proyek eksplorasi dan eksploitasi gas alam dan ikut serta dalam pembangunan pengilangan gas di Bolivia.[18]
10 Januari 2006: Morales diterima di Pretoria oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki. Morales membandingkan kunjungan bangsa Afrika Hitam di masa Apartheid dengan kunjungan bangsa-bangsa Amerindian di benua Amerika.[19]
11 Januari 2006: Bertemu dengan uskup agung Desmond Tutu yang melukiskannya sebagai manusia yang ‘sangat rendah hati dan hangat’, serta dengan bekas presiden F.W. de Klerk.[20]
13 Januari 2006: Berkunjung ke Brasil dan bertemu dengan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva dan menggambarkannya sebagai "kamerad dan saudara." Morales dan Lula sepakat bekerja sama dalam program mengakhiri kemiskinan.[21]
Hugo Chavez & Revolusi Bolivarian
Hugo Rafael Chávez Frías (lahir 28 Juli 1954) adalah Presiden Venezuela saat ini. Sebagai pimpinan Revolusi Bolivar, Chávez mempromotori visi demokrasi sosialis, integrasi Amerika Latin, dan anti-imperialisme. Ia juga tajam mengkritik globalisasi neoliberal dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat
Ia adalah presiden sejak tahun 1998. Dia adalah putra seorang guru dan lulusan Akademi Militer. Chavez meraih gelar insinyur tahun 1975 dan ia penggemar berat olahraga bisbol.
Setelah terpilih sebagai presiden tahun 1998, ia berkali-kali mengalami guncangan pemerintahan. Ia diancam dibunuh (2000). Tetapi, ia mendapatkan mandat enam tahun masa jabatan pada tahun tersebut guna melakukan reformasi politik.
Pada 14 November 2001, Presiden Hugo Chavez mengumumkan serangkaian tindakan yang bertujuan merangsang pertumbuhan ekonomi termasuk di antaranya mengundangkan Undang-undang Reformasi kepemilikan tanah yang menetapkan bagaimana pemerintah bisa mengambil alih lahan-lahan tidur, tanah milik swasta, serta mengundangkan Undang-undang Hidrokarbon yang menjanjikan royalti fleksibel bagi perusahaan-perusahaan yang mengiperasikan tambang minyak milik pemerintah.
Kebijakan ekonomi yang dinilai kontroversial terutama menyangkut Undang-undang Reformasi kepemilikan tanah, di antaranya memberi kekuasaan pada pemerintah untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan real estate yang luas dan tanah-tanah pertanian yang dianggap kurang produktif mengundang protes jutaan orang di ibukota, Caracas (11 Desember 2001). Selain, mata uang Bolivar jatuh terpuruk 25% terhadap dolar AS setelah pemerintah menghapuskan kontrol terhadap nilai tukar uang yang sudah dipertahankan lima tahun.
Bulan April 2002, sekitar 150.000 orang berunjuk rasa, yang dipelopori oleh Carlos Ortega dan Pedro Carmona, yang bertujuan untuk mendukung pemogokan dan protes minyak. Sementara pada waktu yang hampir bersamaan, ribuan pendukung Chavez berada di sekitar istana, menunjukkan kesetiaan mereka pada presiden yang terpilih dengan demokratis tersebut.
Secara sepihak, pihak oposisi yang melancarkan demo pemogokan tersebut tiba-tiba merubah rute yang sudah ditentukan, berputar ke arah istana sehingga kekhawatiran akan terjadinya bentrokan memacu protes dari walikota Caracas pada Carlos Ortega sebagai orang yang dianggap bertanggung-jawab pada demonstran yang dibawanya.
Bentrokan pun terjadi diantara dua massa besar tersebut, yang dicoba lerai oleh pihak keamanan. Namun di tengah bentrokan, suara-suara tembakan terdengar. Jelas sekali di kemudian hari, dari hasil dokumentasi dan pengumpulan informasi, diketahui ada penembak gelap yang bersembunyi.
Pada saat tersebut, nyaris dari 25% penduduk Venezuela memiliki pistol. Tidak terkecuali dengan mereka yang berada dalam demonstrasi besar tersebut. Tembakan-tembakan pun diarahkan, baik oleh pendukung Chavez maupun pihak oposisi yang tidak tahu apa-apa, ke arah tembakan dari penembak gelap. Namun dalam tayangan yang ditampilkan oleh televisi swasta yang sebagian besar dimiliki oleh pihak yang beroposisi pada Chavez, dikesankan seakan penembakan dilakukan oleh pendukung Chavez dengan brutal pada pihak demonstran oposisi.
Kejadian itu menelan korban 10 orang tewas dan 110 lainnya cedera. Presiden Chavez bukannya melarang aksi-aksi kekerasan tersebut diliput televisi, bahkan aksi-aksi tersebut dibesar-besarkan oleh pihak media yang anti dengan Chavez sebagai kesalahan dan tanggung-jawab Chavez. Meskipun pada kenyataannya mereka menyembunyikan fakta bahwa baik pendukung Chavez maupun oposisi, pada saat tersebut sama-sama menjadi sasaran penembak gelap. Pada saat itu, para perwira militer pembangkang mengharapkan Chavez mengundurkan diri.
Mengkudeta
Hugo Chavez Satu dekade sebelum melakukan kudeta, Hugo Chavez membentuk sebuah gerakan bersama kelompok perwira militer bernama Simon Bolivar (Bapak Kemerdekaan Amerika Latin). Kebijakan Presiden Carlos Andres Perez menaikkan harga bensin dan pengetatan pinggang yang menuai protes dari massa rakyat sepertinya tepat kalau “alat” itu segera digunakan. Terlebih, setelah memperhatikan kerusuhan selama tiga hari (27 Februari 1989). Ratusan orang tewas. Banyak jenazah tetap tak teridentifikasi dalam sebuah makam.
Seperti tak bisa ditunda lagi, Letkol Hugo Chavez memimpin sekitar 5.000 tentara untuk melakukan kudeta berdarah pada 4 Februari 1992 meskipun menuai kegagalan. Revolusi bulan Februari oleh Gerakan Revolusioner Bolivarian menelan korban jiwa 18 tewas serta 60 orang lainnya cedera. Chavez kemudian menyerahkan diri. Ia kemudian mendekam di penjara militer saat para koleganya berupaya kembali merebut kekuasaan sembilan bulan kemudian.
Percobaan kudeta kedua pada bulan September 1992 juga gagal. Hugo Chavez dikurung dua bulan penjara. Sewaktu di dalam penjara, ia membentuk partai bernama Gerakan Republik Ke-5 (Movement of the Fifth Republic) dan melakukan transisi dari militer ke politikus. Setelah para pembangkang sempat menguasai sebuah stasiun televisi serta sempat menyiarkan rekaman Chavez yang mengumumkan kejatuhan pemerintah berkuasa, ia dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun. Chavez kemudian mendapatkan pengampunan.
Di luar penjara, ia melansir partainya sebagai Gerakan Republik Kelima dan menjalani transisi dari dunia tentara ke dunia politikus.
Chavez yang memimpin koalisi Patriotic Pole berhaluan kiri secara jelas menegaskan, mengikuti jejak tokoh legendaris Argentina (Jenderal Juan Peron) yang dipandang sangat peduli pada kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan persamaan hak.
[sunting] 48 Jam yang Dramatis
Chávez di Brasil pada tahun 2003.Presiden Hugo Chavez mengundurkan diri di bawah tekanan pemimpin-pemimpin militer Venezuela pada pagi-pagi di hari Jumat waktu setempat tanggal 12 April 2002. Kudeta dramatis yang dilakukan militer terhadap presiden mengembangkan situasi dilematis. Beberapa jam setelah Chavez mundur, Pedro Carmona diangkat sebagai presiden sementara (interim). Tetapi, Jaksa Agung Venezuela (Isaias Rodriguez) menyatakan bahwa penunjukan presiden interim Pedro Carmona adalah inskontitusional dan menandaskan bahwa Presiden Venezuela tetap Hugo Chavez.
Menurut Jaksa Agung, pengunduran diri presiden baru resmi setelah diterima Kongres. Chavez mengundurkan diri di bawah tekanan pemimpin-pemimpin militer. “Tuan Presiden, dulu saya loyal habis-habisan. Akan tetapi, kematian banyak orang yang terjadi, tak bisa ditoleransi,” kata Jenderal Efraim Vazguez Velasco (Panglima Angkatan Bersenjata) dalam pidatonya di televisi nasional yang dikutip pers Indonesia.
Di tengah mengalirnya kritik internasional terhadap tindakan kudeta, militer menunjuk seorang ekonom bernama Pedro Carmona yang merupakan salah satu pimpinan kamar dagang. Saat pelantikan sebagai presiden interim, Carmona mengumumkan segera melakukan pemilihan presiden dalam setahun. Kongres juga dibubarkan karena sebagai pendukung Chavez. Dalam salah satu dekrit yang diumumkan pemerintahan sementara juga diungkapkan dibentuknya sebuah Dewan Konsultatif yang terdiri 35 anggota. Mereka mengemban tugas sebagai badan penasehat presiden republik.
Dekrit juga menetapkan, presiden interim akan mengkoordinasikan kebijakan pemerintahan transisi dan keputusan lain yang diperlukan guna menjamin kebijakan, dengan otoritas pemerintah pusat maupun daerah. Dekrit tersebut mengundang banyak kritikan. Presiden Meksiko Vicente Fox secara tegas menyatakan tidak mengakui pemerintahan baru Venezuela sampai dilaksanakan pemilu baru. Demikian juga dengan pemimpin-pemimpin Argentina dan Paraguay menyatakan, pemerintahan baru Venezuela tidak sah.
Sehari setelah Hugo Chavez digulingkan melalui kudeta militer dan digantikan Pedro Carmona atas inisiatif sebagian perwira militer, Chavez kembali dikukuhkan menjadi Presiden Venezuela (14 April 2002). Pedro Carmona yang hanya menduduki sebagai presiden interim selama sehari dipaksa mengumumkan pengunduran dirinya setelah Jaksa Agung menyatakan bahwa kudeta tidak sah.
Berhasilnya Chavez kembali ke tampuk pemerintahan antara lain disebabkan militer terpecah. Sebagian jenderal memang mendukung Carmona, tetapi sebagian besar prajurit dan perwira menengah loyal terhadap Chavez. Selain itu, di kalangan kelompok masyarakat miskin pun Chavez sangat populer sehingga ketika ia digulingkan ribuan orang melakukan unjuk rasa agar Chavez dikukuhkan kembali menjadi presiden. Dalam aksi yang diwarnai penjarahan tersebut, belasan orang tewas.
Hugo Chavez sempat ditahan di Pulau La Orchila oleh para pejabat senior militer dan terbang kembali ke Caracas dengan menggunakan helikopter serta dielu-elukan ribuan pendukungnya. Dengan mengepalkan tangan ke atas, Chavez memasuki Istana Kepresidenan Miraflores yang berhasil direbut kembali oleh pendukungnya. Sementara, Jaksa Agung menegaskan bahwa para menteri di bawah pemerintahan interim ditahan dan sejumlah petinggi militer juga diadili dengan tuduhan pembangkangan militer, termasuk pimpinan interim mereka yang seorang ekonom bernama Pedro Carmona.
Referendum 8 Agustus 2004 sebagai upaya menggulingkan Presiden Hugo Chaves oleh oposisi kembali dilakukan, tetapi masih dimenangkan oleh Hugo Chavez dengan 58 persen suara. Kemenangan tersebut membuat dirinya berhasil mengatasi salah satu tantangan terbesar dalam masa pemerintahannya dan menjadikannya sebagai sebuah mandat yang lebih besar untuk melanjutkan “revolusi bagi kaum miskin-“nya.
Pada pemilu legislatif pada Desember 2005, partai pimpinan Chavez berhasil menyapu bersih seluruh kursi parlemen setelah pihak oposisi memboikot pemilu tersebut.
Ia adalah presiden sejak tahun 1998. Dia adalah putra seorang guru dan lulusan Akademi Militer. Chavez meraih gelar insinyur tahun 1975 dan ia penggemar berat olahraga bisbol.
Setelah terpilih sebagai presiden tahun 1998, ia berkali-kali mengalami guncangan pemerintahan. Ia diancam dibunuh (2000). Tetapi, ia mendapatkan mandat enam tahun masa jabatan pada tahun tersebut guna melakukan reformasi politik.
Pada 14 November 2001, Presiden Hugo Chavez mengumumkan serangkaian tindakan yang bertujuan merangsang pertumbuhan ekonomi termasuk di antaranya mengundangkan Undang-undang Reformasi kepemilikan tanah yang menetapkan bagaimana pemerintah bisa mengambil alih lahan-lahan tidur, tanah milik swasta, serta mengundangkan Undang-undang Hidrokarbon yang menjanjikan royalti fleksibel bagi perusahaan-perusahaan yang mengiperasikan tambang minyak milik pemerintah.
Kebijakan ekonomi yang dinilai kontroversial terutama menyangkut Undang-undang Reformasi kepemilikan tanah, di antaranya memberi kekuasaan pada pemerintah untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan real estate yang luas dan tanah-tanah pertanian yang dianggap kurang produktif mengundang protes jutaan orang di ibukota, Caracas (11 Desember 2001). Selain, mata uang Bolivar jatuh terpuruk 25% terhadap dolar AS setelah pemerintah menghapuskan kontrol terhadap nilai tukar uang yang sudah dipertahankan lima tahun.
Bulan April 2002, sekitar 150.000 orang berunjuk rasa, yang dipelopori oleh Carlos Ortega dan Pedro Carmona, yang bertujuan untuk mendukung pemogokan dan protes minyak. Sementara pada waktu yang hampir bersamaan, ribuan pendukung Chavez berada di sekitar istana, menunjukkan kesetiaan mereka pada presiden yang terpilih dengan demokratis tersebut.
Secara sepihak, pihak oposisi yang melancarkan demo pemogokan tersebut tiba-tiba merubah rute yang sudah ditentukan, berputar ke arah istana sehingga kekhawatiran akan terjadinya bentrokan memacu protes dari walikota Caracas pada Carlos Ortega sebagai orang yang dianggap bertanggung-jawab pada demonstran yang dibawanya.
Bentrokan pun terjadi diantara dua massa besar tersebut, yang dicoba lerai oleh pihak keamanan. Namun di tengah bentrokan, suara-suara tembakan terdengar. Jelas sekali di kemudian hari, dari hasil dokumentasi dan pengumpulan informasi, diketahui ada penembak gelap yang bersembunyi.
Pada saat tersebut, nyaris dari 25% penduduk Venezuela memiliki pistol. Tidak terkecuali dengan mereka yang berada dalam demonstrasi besar tersebut. Tembakan-tembakan pun diarahkan, baik oleh pendukung Chavez maupun pihak oposisi yang tidak tahu apa-apa, ke arah tembakan dari penembak gelap. Namun dalam tayangan yang ditampilkan oleh televisi swasta yang sebagian besar dimiliki oleh pihak yang beroposisi pada Chavez, dikesankan seakan penembakan dilakukan oleh pendukung Chavez dengan brutal pada pihak demonstran oposisi.
Kejadian itu menelan korban 10 orang tewas dan 110 lainnya cedera. Presiden Chavez bukannya melarang aksi-aksi kekerasan tersebut diliput televisi, bahkan aksi-aksi tersebut dibesar-besarkan oleh pihak media yang anti dengan Chavez sebagai kesalahan dan tanggung-jawab Chavez. Meskipun pada kenyataannya mereka menyembunyikan fakta bahwa baik pendukung Chavez maupun oposisi, pada saat tersebut sama-sama menjadi sasaran penembak gelap. Pada saat itu, para perwira militer pembangkang mengharapkan Chavez mengundurkan diri.
Mengkudeta
Hugo Chavez Satu dekade sebelum melakukan kudeta, Hugo Chavez membentuk sebuah gerakan bersama kelompok perwira militer bernama Simon Bolivar (Bapak Kemerdekaan Amerika Latin). Kebijakan Presiden Carlos Andres Perez menaikkan harga bensin dan pengetatan pinggang yang menuai protes dari massa rakyat sepertinya tepat kalau “alat” itu segera digunakan. Terlebih, setelah memperhatikan kerusuhan selama tiga hari (27 Februari 1989). Ratusan orang tewas. Banyak jenazah tetap tak teridentifikasi dalam sebuah makam.
Seperti tak bisa ditunda lagi, Letkol Hugo Chavez memimpin sekitar 5.000 tentara untuk melakukan kudeta berdarah pada 4 Februari 1992 meskipun menuai kegagalan. Revolusi bulan Februari oleh Gerakan Revolusioner Bolivarian menelan korban jiwa 18 tewas serta 60 orang lainnya cedera. Chavez kemudian menyerahkan diri. Ia kemudian mendekam di penjara militer saat para koleganya berupaya kembali merebut kekuasaan sembilan bulan kemudian.
Percobaan kudeta kedua pada bulan September 1992 juga gagal. Hugo Chavez dikurung dua bulan penjara. Sewaktu di dalam penjara, ia membentuk partai bernama Gerakan Republik Ke-5 (Movement of the Fifth Republic) dan melakukan transisi dari militer ke politikus. Setelah para pembangkang sempat menguasai sebuah stasiun televisi serta sempat menyiarkan rekaman Chavez yang mengumumkan kejatuhan pemerintah berkuasa, ia dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun. Chavez kemudian mendapatkan pengampunan.
Di luar penjara, ia melansir partainya sebagai Gerakan Republik Kelima dan menjalani transisi dari dunia tentara ke dunia politikus.
Chavez yang memimpin koalisi Patriotic Pole berhaluan kiri secara jelas menegaskan, mengikuti jejak tokoh legendaris Argentina (Jenderal Juan Peron) yang dipandang sangat peduli pada kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan persamaan hak.
[sunting] 48 Jam yang Dramatis
Chávez di Brasil pada tahun 2003.Presiden Hugo Chavez mengundurkan diri di bawah tekanan pemimpin-pemimpin militer Venezuela pada pagi-pagi di hari Jumat waktu setempat tanggal 12 April 2002. Kudeta dramatis yang dilakukan militer terhadap presiden mengembangkan situasi dilematis. Beberapa jam setelah Chavez mundur, Pedro Carmona diangkat sebagai presiden sementara (interim). Tetapi, Jaksa Agung Venezuela (Isaias Rodriguez) menyatakan bahwa penunjukan presiden interim Pedro Carmona adalah inskontitusional dan menandaskan bahwa Presiden Venezuela tetap Hugo Chavez.
Menurut Jaksa Agung, pengunduran diri presiden baru resmi setelah diterima Kongres. Chavez mengundurkan diri di bawah tekanan pemimpin-pemimpin militer. “Tuan Presiden, dulu saya loyal habis-habisan. Akan tetapi, kematian banyak orang yang terjadi, tak bisa ditoleransi,” kata Jenderal Efraim Vazguez Velasco (Panglima Angkatan Bersenjata) dalam pidatonya di televisi nasional yang dikutip pers Indonesia.
Di tengah mengalirnya kritik internasional terhadap tindakan kudeta, militer menunjuk seorang ekonom bernama Pedro Carmona yang merupakan salah satu pimpinan kamar dagang. Saat pelantikan sebagai presiden interim, Carmona mengumumkan segera melakukan pemilihan presiden dalam setahun. Kongres juga dibubarkan karena sebagai pendukung Chavez. Dalam salah satu dekrit yang diumumkan pemerintahan sementara juga diungkapkan dibentuknya sebuah Dewan Konsultatif yang terdiri 35 anggota. Mereka mengemban tugas sebagai badan penasehat presiden republik.
Dekrit juga menetapkan, presiden interim akan mengkoordinasikan kebijakan pemerintahan transisi dan keputusan lain yang diperlukan guna menjamin kebijakan, dengan otoritas pemerintah pusat maupun daerah. Dekrit tersebut mengundang banyak kritikan. Presiden Meksiko Vicente Fox secara tegas menyatakan tidak mengakui pemerintahan baru Venezuela sampai dilaksanakan pemilu baru. Demikian juga dengan pemimpin-pemimpin Argentina dan Paraguay menyatakan, pemerintahan baru Venezuela tidak sah.
Sehari setelah Hugo Chavez digulingkan melalui kudeta militer dan digantikan Pedro Carmona atas inisiatif sebagian perwira militer, Chavez kembali dikukuhkan menjadi Presiden Venezuela (14 April 2002). Pedro Carmona yang hanya menduduki sebagai presiden interim selama sehari dipaksa mengumumkan pengunduran dirinya setelah Jaksa Agung menyatakan bahwa kudeta tidak sah.
Berhasilnya Chavez kembali ke tampuk pemerintahan antara lain disebabkan militer terpecah. Sebagian jenderal memang mendukung Carmona, tetapi sebagian besar prajurit dan perwira menengah loyal terhadap Chavez. Selain itu, di kalangan kelompok masyarakat miskin pun Chavez sangat populer sehingga ketika ia digulingkan ribuan orang melakukan unjuk rasa agar Chavez dikukuhkan kembali menjadi presiden. Dalam aksi yang diwarnai penjarahan tersebut, belasan orang tewas.
Hugo Chavez sempat ditahan di Pulau La Orchila oleh para pejabat senior militer dan terbang kembali ke Caracas dengan menggunakan helikopter serta dielu-elukan ribuan pendukungnya. Dengan mengepalkan tangan ke atas, Chavez memasuki Istana Kepresidenan Miraflores yang berhasil direbut kembali oleh pendukungnya. Sementara, Jaksa Agung menegaskan bahwa para menteri di bawah pemerintahan interim ditahan dan sejumlah petinggi militer juga diadili dengan tuduhan pembangkangan militer, termasuk pimpinan interim mereka yang seorang ekonom bernama Pedro Carmona.
Referendum 8 Agustus 2004 sebagai upaya menggulingkan Presiden Hugo Chaves oleh oposisi kembali dilakukan, tetapi masih dimenangkan oleh Hugo Chavez dengan 58 persen suara. Kemenangan tersebut membuat dirinya berhasil mengatasi salah satu tantangan terbesar dalam masa pemerintahannya dan menjadikannya sebagai sebuah mandat yang lebih besar untuk melanjutkan “revolusi bagi kaum miskin-“nya.
Pada pemilu legislatif pada Desember 2005, partai pimpinan Chavez berhasil menyapu bersih seluruh kursi parlemen setelah pihak oposisi memboikot pemilu tersebut.
Sabtu, 09 Mei 2009
Kisruh DPT Komnas HAM Desak Pemilu Khusus
Jumat, 08/05/2009 14:39 WIB
M. Rizal Maslan - detikPemilu
Jakarta - Diperkirakan, sekitar 20 juta rakyat tidak bisa mengikuti Pemilu Legislatif kemarin karena namanya tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Komnas HAM meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertanggung jawab dengan meminta KPU untuk menyelenggarakan pemilu khusus bagi warga yang tidak masuk dalam DPT.
"Presiden harus segera mengeluarkan Perpu untuk memulihkan hak konstitusi warga negara yang hilang haknya dan segera meminta maaf. Dengan perpu tersebut KPU segera memaksimalkan untuk melakukan pemilu khusus bagi warga yang kehilangan haknya," kata Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh.
Hal tersebut dia sampaikan saat jumpa pers usai bertemu dengan Tim Penyelidikan Penghilangan Hak Sipil Politik Warga Negara dalam Pileg 2009 di Kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Jakarta, Jumat (8/5/2009).
Komnas HAM, menurut Ridha, juga merekomendasikan kepada pemerintah dan DPR untuk mengamandemen UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, serta PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006. Perubahan itu harus diajukan untuk mengganti prinsip stelsel pasif aktif menjadi aktif aktif. "Komnas HAM Juga merekomendasikan, dalam perekrutan anggota KPU, persyaratan perekrutan harus diperbaiki," imbuh Ridha.
Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, pemilu khusus tersebut harus dibarengi dengan Pilpres 2009 sehingga tidak terlalu memberatkan kerja KPU.
"Pemilu ulang ini hanya kepada mereka yang tidak terdaftar dalam DPT karena ini sistemik. Rekomendasi kami juga dilihat secara khusus dalam satu kesatuan," kata Ifdhal Kasim.
"Rekomendasi kami ini harus dilihat secara khusus dalam satu kesatuan, termasuk memperbaiki UU, termasuk orang yang hilang haknya karena tidak masuk DPT karena tidak punya KTP. Jadi warga yang tak punya KTP bisa masuk," pungkas pria berkacamata tersebut.
( anw / iy )
http://pemilu.detiknews.com/read/2009/05/08/143905/1128380/700/komnas-ham-desak-pemilu-khusus
M. Rizal Maslan - detikPemilu
Jakarta - Diperkirakan, sekitar 20 juta rakyat tidak bisa mengikuti Pemilu Legislatif kemarin karena namanya tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Komnas HAM meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertanggung jawab dengan meminta KPU untuk menyelenggarakan pemilu khusus bagi warga yang tidak masuk dalam DPT.
"Presiden harus segera mengeluarkan Perpu untuk memulihkan hak konstitusi warga negara yang hilang haknya dan segera meminta maaf. Dengan perpu tersebut KPU segera memaksimalkan untuk melakukan pemilu khusus bagi warga yang kehilangan haknya," kata Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh.
Hal tersebut dia sampaikan saat jumpa pers usai bertemu dengan Tim Penyelidikan Penghilangan Hak Sipil Politik Warga Negara dalam Pileg 2009 di Kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Jakarta, Jumat (8/5/2009).
Komnas HAM, menurut Ridha, juga merekomendasikan kepada pemerintah dan DPR untuk mengamandemen UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, serta PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006. Perubahan itu harus diajukan untuk mengganti prinsip stelsel pasif aktif menjadi aktif aktif. "Komnas HAM Juga merekomendasikan, dalam perekrutan anggota KPU, persyaratan perekrutan harus diperbaiki," imbuh Ridha.
Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, pemilu khusus tersebut harus dibarengi dengan Pilpres 2009 sehingga tidak terlalu memberatkan kerja KPU.
"Pemilu ulang ini hanya kepada mereka yang tidak terdaftar dalam DPT karena ini sistemik. Rekomendasi kami juga dilihat secara khusus dalam satu kesatuan," kata Ifdhal Kasim.
"Rekomendasi kami ini harus dilihat secara khusus dalam satu kesatuan, termasuk memperbaiki UU, termasuk orang yang hilang haknya karena tidak masuk DPT karena tidak punya KTP. Jadi warga yang tak punya KTP bisa masuk," pungkas pria berkacamata tersebut.
( anw / iy )
http://pemilu.detiknews.com/read/2009/05/08/143905/1128380/700/komnas-ham-desak-pemilu-khusus
Komnas HAM Sinyalir Ada Penghilangan Hak Konstitusi Pemilih Secara Masif
Jumat, 08/05/2009 15:10 WIB
Jakarta - Banyak warga negara kehilangan hak pilihnya pada Pileg 9 April lalu karena buruknya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Komnas HAM pun menilai telah terjadi penghilangan hak konstitusi pemilih secara masif.
"Komnas HAM menyimpulkan telah terbukti secara meyakinkan bahwa telah terjadi penghilangan hak konstitusi pemilih dalam Pileg tanggal 9 April lalu secara masif," jelas Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim dalam keterangan kepada pers di kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (8/5/2009).
Dalam memberikan keterangan tersebut, Ifdhal didampingi Wakil Ketua Komnas HAM M Ridho Saleh, anggota Stanley Joseph Adi Prasetyo, dan Ketua Tim Penyelidik Penghilangan Hak Sipil Politik Warga Negara dalam Pileg 2009 Nur Kholis.
Dikatakan Ifdhal, pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM di lapangan telah menemukan 7 masalah terkait hilangnya kesempatan sejumlah warga negara untuk mendapatkan hak pilihnya. Pertama, adalah carut marutnya sistem administrasi kependudukan Depdagri. Kedua, tidak adanya wawasan tentang pemenuhan hak isipol (sipil politik) sebagai kewajiban negara oleh aparat pemerintah dan penyelenggara pemilu.
Ketiga yaitu tidak ada kebijakan khusus untuk sistem penganggaran pemilu. Keempat, ketidakmampuan KPU. Kelima, terlalu sentralistiknya kewenangan KPU pusat. Keenam, kelemahan organisasi eksekusi, dan ketujuh adalah lemahnya perangkat lembaga pengawasan pemilu.
"Artinya 25 sampai 40 persen warga kehilangan hak pilihnya secara sistemik," lanjut Ifdhal.
Ifdhal mengatakan, bahwa negara, khususnya Presiden, Depdagri, Departemen Keuangan, DPR dan KPU gagal menunaikan kewajiban institusionalnya untuk memastikan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.
Kegagalan Pileg lalu disebutkan karena 3 faktor. Yakni kelemahan sistem administrasi kependudukan, kelemahan KPU dalam memperlakukan kebutuhan unik dan mendesak, serta wawasan KPU yang sangat memprihatinkan terkait soal penyesuaian anggaran dan target waktu.
Penghilangan hak konstitusi ini, kata Ifdhal, bisa dikatakan sebagai bentuk kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya dalam undang-undang. Dan negara juga dianggap tidak menjamim kelompok rentan yang seharusnya mendapat perhatian khusus, tetapi malah tidak difasilitasi seperti penyandang cacat, masyarakat terpencil, napi dan pasien rumah sakit.
( Rez / nrl )
http://pemilu.detiknews.com/read/2009/05/08/151010/1128399/700/komnas-ham-sinyalir-ada-penghilangan-hak-konstitusi-pemilih-secara-masif
Jakarta - Banyak warga negara kehilangan hak pilihnya pada Pileg 9 April lalu karena buruknya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Komnas HAM pun menilai telah terjadi penghilangan hak konstitusi pemilih secara masif.
"Komnas HAM menyimpulkan telah terbukti secara meyakinkan bahwa telah terjadi penghilangan hak konstitusi pemilih dalam Pileg tanggal 9 April lalu secara masif," jelas Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim dalam keterangan kepada pers di kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (8/5/2009).
Dalam memberikan keterangan tersebut, Ifdhal didampingi Wakil Ketua Komnas HAM M Ridho Saleh, anggota Stanley Joseph Adi Prasetyo, dan Ketua Tim Penyelidik Penghilangan Hak Sipil Politik Warga Negara dalam Pileg 2009 Nur Kholis.
Dikatakan Ifdhal, pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM di lapangan telah menemukan 7 masalah terkait hilangnya kesempatan sejumlah warga negara untuk mendapatkan hak pilihnya. Pertama, adalah carut marutnya sistem administrasi kependudukan Depdagri. Kedua, tidak adanya wawasan tentang pemenuhan hak isipol (sipil politik) sebagai kewajiban negara oleh aparat pemerintah dan penyelenggara pemilu.
Ketiga yaitu tidak ada kebijakan khusus untuk sistem penganggaran pemilu. Keempat, ketidakmampuan KPU. Kelima, terlalu sentralistiknya kewenangan KPU pusat. Keenam, kelemahan organisasi eksekusi, dan ketujuh adalah lemahnya perangkat lembaga pengawasan pemilu.
"Artinya 25 sampai 40 persen warga kehilangan hak pilihnya secara sistemik," lanjut Ifdhal.
Ifdhal mengatakan, bahwa negara, khususnya Presiden, Depdagri, Departemen Keuangan, DPR dan KPU gagal menunaikan kewajiban institusionalnya untuk memastikan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.
Kegagalan Pileg lalu disebutkan karena 3 faktor. Yakni kelemahan sistem administrasi kependudukan, kelemahan KPU dalam memperlakukan kebutuhan unik dan mendesak, serta wawasan KPU yang sangat memprihatinkan terkait soal penyesuaian anggaran dan target waktu.
Penghilangan hak konstitusi ini, kata Ifdhal, bisa dikatakan sebagai bentuk kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya dalam undang-undang. Dan negara juga dianggap tidak menjamim kelompok rentan yang seharusnya mendapat perhatian khusus, tetapi malah tidak difasilitasi seperti penyandang cacat, masyarakat terpencil, napi dan pasien rumah sakit.
( Rez / nrl )
http://pemilu.detiknews.com/read/2009/05/08/151010/1128399/700/komnas-ham-sinyalir-ada-penghilangan-hak-konstitusi-pemilih-secara-masif
Sabtu, 25 April 2009
Pemilu Curang, SBY Bungkam Suara
Rabu, 22 April 2009, 22:47:38 WIB
Laporan: Bisman Pasaribu
Jakarta, RMonline. Kubu oposisi yang digawangi Megawati balik mempertanyakan keberanian calon presiden Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono terkait buka suaranya soal kebobrokan pemilu 2004.
Seperti dikemukakan Ketua Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Mashinton Pasaribu kepada RMonline, Rabu (22/4).
“Kenapa kecurangan pemilu tahun 2004 itu baru dibuka saat ini,“ tanya Mashinton.
Ia bahkan menilai SBY dalam hal ini justru terkesan menikmati dan melegalkan kecurangan-kecurangan yang terjadi pada pemilu waktu itu (2004).
Lebih lanjut Mashinton mengatakan saat SBY berkuasa kecurangan dan kesalahan dalam pemilu semakin terang untuk dilegalkan.
Untuk itu, ia mendesak sebaiknya Pilpres yang berlangsung pada 8 Juli mendatang itu ditunda saja.
Pasalnya, banyak keluhan masyakarat dan fakta-fakta di lapangan yang tidak bisa diselesaikan.
Bahkan sambung aktivis demokrasi ini, ada ketidak-fair-an pemerintah yang memperlihatkan ketidaknetralan Polri dalam mengawal pemilu.
Ia mencontohkan, laporan Baswalu dan masyarakat tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian.
“Polri tidak berani menindaklanjuti kecurangan yang terjadi dalam pemilu baik itu laporan dari Bawaslu maupun dari masyarakat, disinilah ketidaknetralan aparat kepolisian,” katanya.
Ia pesimis pilpres mendatang bisa berjalan dengan baik karena sistem yang berlaku masih amburadul.
“Masa pembenahan hanya tinggal beberapa minggu lagi, apakah memungkinkan,” tekannya.
Padahal lanjut caleg PDIP ini, agenda pemilu maupun Pilpres itu sudah dipersiapkan dalam satu tahun.
Ia menuding hal itu hanyalah tambal sulam.
Untuk itu, ia menyarankan kalau ingin Pilpres 2009 berjalan dengan baik, seluruh jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) termasuk Ketuanya, Abdul Hafiz Anshary harus diganti yang baru.
Hal ini, tambah Mashinton terkait kinerja KPU yang saat ini dinilainya mempengaruhi netralitas pelaksanaan Pileg lalu dan Pilres nanti karena abal-abal. [wid]
http://www.rakyatmerdeka.co.id/situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=74093
Kamis, 16 April 2009
Sejarah kota Medan
Sejarah kota medan - 02-27-2009, 08:47
Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.
Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli In Woord en Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak diseberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.
Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.
Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".
Menurut legenda di zaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli lama kira-kira 10 Km dari Kampung Medan yakni di Deli Tua sekarang seorang Putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan Putri ini tersohor kemana-mana mulai dari Aceh sampai ke ujung Utara Pulau Jawa.
Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh saudara kedua laki-laki Putri Hijau. Sultan aceh sangat marah karena penolakan itu dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Deli.
Menurut legenda yang tersebut diatas, dengan menggunakan kekuatan gaib seorang dari saudara Putri hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya.
KesultananDeli lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa Putra Mahkota yang menjelma menjadi meriam itu meledak sebagian, bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo kira-kira 5 Km dari Kabanjahe.
Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat kedalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur dan permohonan tuan Putri dikabulkan. Tetapi baru saja uapacara dimulai tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat disusul gelombang-gelombang yang sangat tinggi.
Dari dalam laut muncullah abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dan dengan menggunakan rahangnya yang besar itu diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.
Legenda ini samapai sekarang masih terkenal di kalangan masyarakat Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia.
Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan Benteng dan Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedang sisa meriam penjelmaan abang Putri Hijau itu dapat dilihat di halaman Istana Maimun Medan.
Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih setengah abad namun untuk menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda juga berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Sisingamangaraja di daerah Tapanuli.
Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal Belanda J.Van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti ditengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu J.C.Baud menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama perang Paderi ( 1821-1837 ).
Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggeris dengan pimpinannya bernama Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya terbatas maka Sultan Ismail meminta perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu terbukalah kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Kerajaan Siak Sri Indrapura yang rajanya adalah Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan Serdang di Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli telah masuk kekuasaan Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, tapi kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.
Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah taklukan kerajaan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung Medan Putri.
Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887,Ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.
Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.
DIKUTIP DARI: http://medancity.com/forum/mdn1/showthread.php?t=5248
=======================================================================================
Labuhan Ibu Kota Tua Deli
June 6, 2006
Bertandang ke Medan tak lengkap rasanya bila tak berkunjung ke Labuhan. Sebuah kota kecil 20 Km utara Medanyang merupakan Ibukota pertama dari Kesultanan Deli. Labuhan ini didirikan pada tahun 1669 oleh Panglima Perunggit yang memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli atas Aceh. Di kotaini kabarnya banyak sekali bangunan tua, kampung pecinan, dan vihara pertama yang didirikan di wilayah Deli. Konon istilah Cina Medanuntuk kaum keturunan yang berasal dari Sumatera Utara berasal dari kaum pendatang Cina yang mendiami wilayah ini yang kelak di kemudian hari bermigrasi ke Medan.
Untuk mencapai Labuhan sebenarnya cukup mudah mengingat kota ini terletak di jalur jalan utama yang menghubungkan Medan dengan pelabuhan Belawan. Namun rasanya kurang afdol kalau kita tidak mencoba jalur kereta api yang menghubungkan Medan dengan Belawan yang melewati kota Labuhan. Setelah kasak-kusuk mengumpulkan informasi dan dibantu oleh Kepala Stasiun Besar Medan Bapak Bachtiar Sihite, kami diberitahu bahwa hanya kereta barang yang melalui jalur ini. Rangkaian pengangkut CPO/Minyak Sawit Mentah dengan tujuan akhir Belawan/Ujung Baru, sementara rangkaian BBM Pertamina berakhir di Dipo Pertamina Labuhan. Bapak PPKA yang kami hubungi juga tidak bisa memberitahu dengan pasti jadwal keberangkatan kereta barang dari stasiun Medan. Karena tergantung dari jadwal kedatangan dari Rantau Prapat. Akhirnya kami mendapat informasi akan ada rangkaian BBM menuju Labuhan yang diperkirakan berangkat jam 15.00.
Tunggu punya tunggu sampai hampir jam 16.00 tidak ada tanda-tanda ada kereta ke arah utara. Akhirnya kami diberitahu akan ada Loks (Lok Sendiri) yang bertugas menjemput rangkaian BBM di Belawan. Mata kami yang semula terkantuk-kantuk karena terlalu lama menunggu mendadak menjadi segar. Tanpa membuang waktu kami bersiap di peron 2 dan dari kejauhan tampak sebuah lok BB30602 sedang langsir. Setelah mendapat ijin dari crew dengan menunjukkan surat T 23, kami pun diijinkan untuk ikut di dalam kabin masinis.
Selepas stasiun Pulu Brayan perjalanan jauh dari menyenangkan. Bantalan kayu yang sudah lapuk dan patah di sana-sini ditambah rel R 25 menjadikan kereta berguncang-guncang walaupun berjalan lambat. Kami tidak bisa membayangkan kalau setiap hari jalur ini dilewati rangkaian BBm dan CPO yang sangat berat. Menjelang stasiun Labuhan kondisi lintasan berangsur membaik. Bantalan beton dan rel R 42 telah terpasang rapi sampai stasiun Belawan. Kami pun mengakhiri perjalanan di stasiun yang lebih mirip dengan gereja ini.
Inilah stasiun Labuhan. Sebuah stasiun dengan langgam Art Deco yang kental. Mengelilingi stasiun ini membuat mulut tidak henti-hentinya berdecak kagum. Bangunan yang masih kokoh terawat, sampai ke setiap detail ornamen-nya nampak begitu indah tanpa ada cacat yang berarti. Puas berkeliling stasiun, kami menjelajah jalan-jalan kecil di pecinan yang dipenuhi bangunan-bangunan ruko tua. Di ujung jalan kami bahkan menemui sebuah vihara yang tampak sudah cukup kuno. Inikah yang dimaksud vihara tertua di Deli itu? Sayangnya tak ada orang yang bisa kami konfirmasi.
Matahari sudah condong ke barat saat kami mulai meneruskan dengan menggunakan angkot menuju tujuan akhir kami Stasiun Belawan. Cukup 10 menit saja dari Labuhan kami pun tiba di Belawan.
DIKUTIP DARI: http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://spoorsoni.blogs.friendster.com/spoorblog/images/labuhan1_2.JPG&imgrefurl=http://spoorsoni.blog.friendster.com/2006/06/&usg=__4_K1tVx37WVyaLNOez-4ZM53_zM=&h=133&w=100&sz=6&hl=id&start=24&um=1&tbnid=AI9FVrjjy483tM:&tbnh=92&tbnw=69&prev=/images%3Fq%3Dkampung%2Bbesar%2Blabuhan%2Bdeli%26ndsp%3D18%26hl%3Did%26sa%3DN%26start%3D18%26um%3D1
Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.
Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli In Woord en Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak diseberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.
Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.
Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".
Menurut legenda di zaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli lama kira-kira 10 Km dari Kampung Medan yakni di Deli Tua sekarang seorang Putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan Putri ini tersohor kemana-mana mulai dari Aceh sampai ke ujung Utara Pulau Jawa.
Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh saudara kedua laki-laki Putri Hijau. Sultan aceh sangat marah karena penolakan itu dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Deli.
Menurut legenda yang tersebut diatas, dengan menggunakan kekuatan gaib seorang dari saudara Putri hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya.
KesultananDeli lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa Putra Mahkota yang menjelma menjadi meriam itu meledak sebagian, bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo kira-kira 5 Km dari Kabanjahe.
Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat kedalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur dan permohonan tuan Putri dikabulkan. Tetapi baru saja uapacara dimulai tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat disusul gelombang-gelombang yang sangat tinggi.
Dari dalam laut muncullah abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dan dengan menggunakan rahangnya yang besar itu diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.
Legenda ini samapai sekarang masih terkenal di kalangan masyarakat Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia.
Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan Benteng dan Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedang sisa meriam penjelmaan abang Putri Hijau itu dapat dilihat di halaman Istana Maimun Medan.
Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih setengah abad namun untuk menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda juga berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Sisingamangaraja di daerah Tapanuli.
Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal Belanda J.Van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti ditengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu J.C.Baud menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama perang Paderi ( 1821-1837 ).
Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggeris dengan pimpinannya bernama Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya terbatas maka Sultan Ismail meminta perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu terbukalah kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Kerajaan Siak Sri Indrapura yang rajanya adalah Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan Serdang di Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli telah masuk kekuasaan Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, tapi kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.
Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah taklukan kerajaan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung Medan Putri.
Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887,Ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.
Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.
DIKUTIP DARI: http://medancity.com/forum/mdn1/showthread.php?t=5248
=======================================================================================
Labuhan Ibu Kota Tua Deli
June 6, 2006
Bertandang ke Medan tak lengkap rasanya bila tak berkunjung ke Labuhan. Sebuah kota kecil 20 Km utara Medanyang merupakan Ibukota pertama dari Kesultanan Deli. Labuhan ini didirikan pada tahun 1669 oleh Panglima Perunggit yang memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli atas Aceh. Di kotaini kabarnya banyak sekali bangunan tua, kampung pecinan, dan vihara pertama yang didirikan di wilayah Deli. Konon istilah Cina Medanuntuk kaum keturunan yang berasal dari Sumatera Utara berasal dari kaum pendatang Cina yang mendiami wilayah ini yang kelak di kemudian hari bermigrasi ke Medan.
Untuk mencapai Labuhan sebenarnya cukup mudah mengingat kota ini terletak di jalur jalan utama yang menghubungkan Medan dengan pelabuhan Belawan. Namun rasanya kurang afdol kalau kita tidak mencoba jalur kereta api yang menghubungkan Medan dengan Belawan yang melewati kota Labuhan. Setelah kasak-kusuk mengumpulkan informasi dan dibantu oleh Kepala Stasiun Besar Medan Bapak Bachtiar Sihite, kami diberitahu bahwa hanya kereta barang yang melalui jalur ini. Rangkaian pengangkut CPO/Minyak Sawit Mentah dengan tujuan akhir Belawan/Ujung Baru, sementara rangkaian BBM Pertamina berakhir di Dipo Pertamina Labuhan. Bapak PPKA yang kami hubungi juga tidak bisa memberitahu dengan pasti jadwal keberangkatan kereta barang dari stasiun Medan. Karena tergantung dari jadwal kedatangan dari Rantau Prapat. Akhirnya kami mendapat informasi akan ada rangkaian BBM menuju Labuhan yang diperkirakan berangkat jam 15.00.
Tunggu punya tunggu sampai hampir jam 16.00 tidak ada tanda-tanda ada kereta ke arah utara. Akhirnya kami diberitahu akan ada Loks (Lok Sendiri) yang bertugas menjemput rangkaian BBM di Belawan. Mata kami yang semula terkantuk-kantuk karena terlalu lama menunggu mendadak menjadi segar. Tanpa membuang waktu kami bersiap di peron 2 dan dari kejauhan tampak sebuah lok BB30602 sedang langsir. Setelah mendapat ijin dari crew dengan menunjukkan surat T 23, kami pun diijinkan untuk ikut di dalam kabin masinis.
Selepas stasiun Pulu Brayan perjalanan jauh dari menyenangkan. Bantalan kayu yang sudah lapuk dan patah di sana-sini ditambah rel R 25 menjadikan kereta berguncang-guncang walaupun berjalan lambat. Kami tidak bisa membayangkan kalau setiap hari jalur ini dilewati rangkaian BBm dan CPO yang sangat berat. Menjelang stasiun Labuhan kondisi lintasan berangsur membaik. Bantalan beton dan rel R 42 telah terpasang rapi sampai stasiun Belawan. Kami pun mengakhiri perjalanan di stasiun yang lebih mirip dengan gereja ini.
Inilah stasiun Labuhan. Sebuah stasiun dengan langgam Art Deco yang kental. Mengelilingi stasiun ini membuat mulut tidak henti-hentinya berdecak kagum. Bangunan yang masih kokoh terawat, sampai ke setiap detail ornamen-nya nampak begitu indah tanpa ada cacat yang berarti. Puas berkeliling stasiun, kami menjelajah jalan-jalan kecil di pecinan yang dipenuhi bangunan-bangunan ruko tua. Di ujung jalan kami bahkan menemui sebuah vihara yang tampak sudah cukup kuno. Inikah yang dimaksud vihara tertua di Deli itu? Sayangnya tak ada orang yang bisa kami konfirmasi.
Matahari sudah condong ke barat saat kami mulai meneruskan dengan menggunakan angkot menuju tujuan akhir kami Stasiun Belawan. Cukup 10 menit saja dari Labuhan kami pun tiba di Belawan.
DIKUTIP DARI: http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://spoorsoni.blogs.friendster.com/spoorblog/images/labuhan1_2.JPG&imgrefurl=http://spoorsoni.blog.friendster.com/2006/06/&usg=__4_K1tVx37WVyaLNOez-4ZM53_zM=&h=133&w=100&sz=6&hl=id&start=24&um=1&tbnid=AI9FVrjjy483tM:&tbnh=92&tbnw=69&prev=/images%3Fq%3Dkampung%2Bbesar%2Blabuhan%2Bdeli%26ndsp%3D18%26hl%3Did%26sa%3DN%26start%3D18%26um%3D1
Rabu, 15 April 2009
Gerakan Mahasiswa Tak seperti Dulu
Gerakan Mahasiswa Tak seperti Dulu
Kompas, Senin, 29 Januari 2001
AKSI-aksi mahasiswa yang belum lama surut dalam beberapa hari terakhir muncul kembali. Akumulasi mahasiswa yang terlibat dalam aksi turun ke jalan terus bertambah, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di sejumlah kota besar lainnya. Gelombang mahasiswa yang bergerak menuju Gedung MPR/ DPR Senayan makin membesar dan diperkirakan akan terus memuncak dalam minggu ini. Mahasiswa dengan warna-warni jaket dan polah-tingkahnya kembali tampil di layar televisi, surat kabar, dan majalah-majalah. Akankah peristiwa dramatik yang masih sangat segar dalam ingatan kita, ketika mahasiswa berbondong-bondong menguasai gedung para wakil rakyat yang berakhir dengan tersingkirnya seorang presiden dari kekuasaannya, berulang kembali?
GERAKAN mahasiswa tahun 2001 tidak sama sebangun dengan gerakan yang muncul di tahun 1998. Pada awal tahun 1998 belum ada tanda-tanda yang cukup berarti yang bisa ditangkap bahwa mahasiswa akan bergerak dalam jumlah yang masif dan cukup kuat untuk menantang penguasa otoriter Orde Baru yang telah bercokol selama 32 tahun. Ketika Soeharto dikukuhkan kembali oleh MPR yang dipimpin mantan Menteri Penerangan Harmoko untuk ketujuh kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia, baru sejumlah kecil mahasiswa yang mulai resah dan melakukan konsolidasi. Namun, sekonyong-konyong gerakan itu muncul bagaikan bola salju, makin membesar dan makin cepat bergulir.
Diawali dengan bentrokan dengan aparat kepolisian dan militer yang masih represif pada 2 Mei 1998, gerakan itu dengan cepat menular ke semua kampus. Penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti 13 Mei 1998, yang hingga kini belum tuntas diungkap, semakin mengobarkan semangat perlawanan mahasiswa. Puluhan ribu mahasiswa pada 18 Mei menyerbu Senayan dan gelombang itu makin membesar hingga Soeharto terpaksa meletakkan jabatan kepresidenannya.
Aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut hingga terpilih duet Presiden Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputri melalui pemilihan umum yang dinilai cukup demokratis. Setelah itu gerakan mahasiswa tinggal riak-riak kecil yang tidak jelas lagi target dan tidak didukung oleh visi yang luas. Namun, dalam beberapa hari terakhir gelombang aksi mahasiswa marak kembali.
Berbeda dengan gerakan mahasiswa tahun 1998 yang lebih didominasi oleh gerakan di luar kampus, aksi-aksi mahasiswa saat ini diawali dengan keterlibatan para aktivis organisasi formal kampus, baik yang tergabung dalam senat mahasiswa, badan eksekutif mahasiswa, maupun keluarga mahasiswa. Mereka adalah para aktivis yang umumnya berafiliasi dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) atau Jaringan Mahasiswa Indonesia (JMI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Keterkaitan itu dapat dengan mudah ditangkap dengan mendengarkan yel-yel dan lagu-lagu yang dinyanyikan ketika aksi maupun dari ukuran yang dipergunakan, yakni enam visi reformasi. Enam visi reformasi yang dimaksud adalah pencabutan Dwifungsi TNI/Polri, amandemen UUD 1945, otonomi daerah, supremasi hukum, pembudayaan demokrasi, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya.
Sejak 15 Januari 2001, para aktivis lembaga formal kemahasiswaan ini bergerak dengan atribut-atribut kampusnya menyerukan dukungan terhadap Pansus Buloggate dan Bruneigate serta mengingatkan kembali enam agenda reformasi yang mereka perjuangkan. Para aktivis itu menolak dikategorikan dalam kelompok massa anti-Presiden Abdurrahman Wahid, meski dalam orasi mereka sangat kritis dan memberi nilai negatif kepada Abdurrahman Wahid. Bahkan dalam orasi maupun yel-yel mereka sering telontar tuntutan agar Abdurrahman Wahid mengundurkan diri.
KESATUAN-kesatuan aksi yang tidak berbasis agama, seperti Forum Kota, Jaringan Kota, Gerakan Mahasiswa dan Pemuda untuk Reformasi (Gempur), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), Jaringan Kota, dan berbagai kesatuan aksi lainnya yang muncul setelah Soeharto tumbang belum memberikan sumbangan signifikan dalam gelombang aksi mahasiswa hari-hari ini. Mereka tengah berkonsolidasi untuk menyuarakan kembali tuntutan penghancuran Orde Baru, pengadilan Soeharto dan kroninya dalam mahkamah rakyat, dan pembubaran Partai Golkar. Dalam gelombang aksi yang berlangsung hingga akhir pekan lalu, baru sejumlah kecil mahasiswa yang turun ke jalan, sebagian lagi masih bersikap menunggu.
Akan tetapi, Jumat 26 Januari, di tengah gelombang mahasiswa dan massa anti-Abdurrahman Wahid, muncul sebuah kesatuan aksi baru yang menamakan diri Komite Mahasiswa Indonesia (KOMI). Tidak berbeda dengan para aktivis organisasi formal mahasiswa yang dapat diidentifikasi dengan mudah dari kelompok mana, asal-usul mereka dapat ditebak dengan mudah dengan mendengarkan jargon-jargon, yel-yel, dan lagu-lagu yang dinyanyikan. Tokoh-tokoh gerakan yang ada dalam KOMI merupakan para pemain lama yang dulu bergabung dalam Forum Kota, Famred, dan lain-lain. Namun, sebagian besar yang terlibat dalam KOMI memiliki keterkaitan dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang memiliki hubungan erat dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Arif, aktivis KOMI, mengatakan bahwa kekisruhan politik yang terjadi selama ini dibuat oleh Orde Baru baik melalui teror bom, disintegrasi, maupun gerakan-gerakan politik lainnya. Orde Baru ingin agar kekuasaan kembali ke tangannya. Menurut Arif, mahasiswa yang terlibat dalam gerakan anti-Abdurrahman Wahid ada kaitannya dengan pudarnya organisasi kemahasiswaan berbasiskan agama dalam memonopoli sumber-sumber dana dari Bulog, Pertamina, dan badan-badan usaha milik negara lainnya. "Mereka lebih berorientasi pada kekuasaan," kata Arif yang juga ketua PMII Jakarta Timur itu.
Kaum "veteran" gerakan mahasiswa tahun 1998 masih sangat menentukan dalam aksi-aksi mahasiswa tersebut. Ada di antara mereka yang terlibat langsung dalam aksi namun ada juga yang sekadar menempatkan diri sebagai pengatur strategi dan sumber referensi. Sebagian besar di antaranya adalah tokoh-tokoh mahasiswa yang kelulusannya tertunda-tunda dan kuliahnya terkatung-katung atau mereka yang telah lulus tetapi tidak kunjung memperoleh pekerjaan.
"Gus Dur tidak bisa menjamin kehidupan saya. Sampai sekarang saya belum juga dapat pekerjaan," ujar seorang lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, yang ditemui saat berbincang-bincang dengan sejumlah aktivis mahasiswa yang akan menggelar aksi mendukung Pansus Buloggate dan Bruneigate.
KEKUATAN gerakan mahasiswa yang bergerak saat ini tidak banyak berbeda dengan polarisasi yang terjadi yang terjadi di tingkat elite politik. Mereka terpecah dalam kelompok anti-Abdurrahman Wahid, pendukung Abdurrahman Wahid, dan kelompok di tengah yang masih ragu-ragu. Kehadiran mereka dimeriahkan dengan sejumlah massa demonstran bayaran dan massa yang digerakkan oleh partai politik, yang mungkin akan terus bertambah dalam pekan ini. Kemurnian gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral makin diragukan. Mereka tidak banyak berbeda dengan massa rakyat yang mudah diombang-ambingkan oleh kepentingan elite politik yang mengutamakan kekuasan. Dalam keadaan seperti itu tidak mudah gerakan mahasiswa tahun 2001 dapat merebut hati rakyat pada umumnya. Peran sebagai gerakan moral jangan-jangan direduksi menjadi sekadar kerumunan massa pengikut.
Dulu gerakan mahasiswa yang terserpih-serpih, tanpa pemimpin, menjadi sebuah mozaik yang membentuk kesatuan gerakan untuk meruntuhkan sebuah rezim yang lalim. Serpihan-serpihan itu kini tidak membentuk sebuah mozaik yang membuat orang kagum tetapi menjadi bagian dari sebuah kekuatan dan masyarakat yang terbelah.
Agus Haryadi, mantan aktivis Forum Salemba, mencoba menjelaskan mengapa gerakan mahasiswa yang ada sekarang tidak satu seperti dulu. Gerakan Mei 1998, kata Agus, memiliki musuh yang jelas, yakni Soeharto. Apa yang terjadi sekarang tidak berbeda dengan gerakan tersebut. "Sama seperti dulu, semula banyak mahasiswa yang takut dan ragu-ragu. Sekarang ini kita tengah menuju kristalisasi pendapat di kalangan mahasiswa. Ketika angin berembus cukup kuat, saya yakin mereka juga akan ikut," kata Agus yang masih menjalin hubungan dekat dengan para aktivis organisasi formal kemahasiswaan.
Fanni, aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, mengemukakan, gerakan mahasiswa saat ini memang agak berbeda dengan gerakan tahun 1998. Pada tahun 1998 ada musuh bersama yang sama. Namun saat ini yang dipermasalahkan adalah tata nilainya. Namun, Fanni mengelak bahwa gerakan para aktivis organisasi formal kemahasiswaan yang ada saat ini terkait dengan KAMMI atau HMI. "Kami berjalan sendiri, kami punya visi sendiri, yang menjadi ukuran kami adalah enam visi reformasi. Ketika agenda itu tidak dijalankan, apakah oleh Presiden atau MPR, kami akan terus bergerak," ujarnya.
Masinton, aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), menuduh para aktivis organisasi formal kemahasiswaan telah menjadi partisan politik. Mobilisasi massa mahasiswa dengan isu Buloggate dan Bruneigate, menurut dia, patut dipertanyakan. Alasannya, kalau mau jujur DPR mestinya juga menuntaskan kasus penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai ratusan trilyun rupiah, bukannya terpaku pada penyimpangan dana Yanatera Bulog. "Mahasiswa sekarang memang sudah jadi partisan politik. Mereka itulah dulu para pendukung kekuasaan BJ Habibie," kata Masinton.
Namun, menurut Agus Haryadi, tuduhan itu tidak beralasan karena aktivis organisasi formal kemahasiswaan yang tergabung dalam Forum Salemba maupun badan-badan eksekutif mahasiswa bersikap kritis terhadap pemerintahan Habibie dan memperjuangkan terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Itu justru tidak dilakukan oleh Forkot dan lain-lainnya yang justru menyuarakan penolakan terhadap pemilu.
Fadjroel Rachman, anggota Presidium Forum Pascasarjana UI, berpendapat bahwa mayoritas mahasiswa yang menyuarakan pembubaran Orde Baru dan Golkar bukan berarti mereka pendukung Abdurrahman Wahid. Mahasiswa, kata Fadjroel, mengetahui bahwa dalang konflik elite politik saat ini adalah Golkar. Golkar memanfaatkan konflik politik untuk melindungi diri dari upaya-upaya semua elemen yang ingin menjalankan reformasi dan demokrasi.
"Bila Gus Dur terbukti secara hukum terlibat, mahasiswa tentu akan menuntut ia mundur. Namun bila tidak, seruan mahasiswa terhadap pembubaran Golkar akan makin gencar," kata Fadjroel.
Akan tetapi, Aznil, mahasiswa Universitas Mercu Buana yang pernah dihajar aparat saat bersama delapan kawannya hendak menerobos Istana semasa kekuasaan Habibie, menyatakan bahwa gerakan mahasiswa saat ini telah cacat. Mahasiswa terjebak dalam blok-blok politik, baik yang anti-Abdurrahman Wahid dengan dibungkus isu dukungan terhadap Pansus Buloggate dan Bruneigate ataukah para pendukung Abdurrahman Wahid. Mestinya gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral berpihak pada rakyat, independen, dan tidak ikut dalam blok-blok politik.
"Saya kira rakyat sudah muak dengan gerakan mahasiswa. Perjuangan mahasiswa selama ini hanya dimanfaatkan untuk kepentingan elite. Mereka lupa bahwa demokrasi ini dibangun di atas darah, keringat, dan nyawa teman-teman," kata Aznil. (wis/win)
Student rally turns violent, two injured and three missing
Jakarta Post - May 15, 2001
Jakarta -- A rally by students demanding the dissolution of the former ruling Golkar Party turned violent on Monday when demonstrators clashed with police in front of the Ministry of Defense, leaving two students injured and three others missing.
The violence continued when the police chased the demonstrators, riding in minibuses, to Jl. Kyai Tapa in West Jakarta, according to student activist Masinton of the Indonesian Fighters Youth Forum (FPPI).
The students took shelter on the nearby campus of the College of Management and Computer Science. The demonstrators, helped by locals, then proceeded to search for vehicles belonging to the military and police, burning one police motorcycle.
West Jakarta Police chief Sr. Comr. Iwan N. Ismet confirmed the destroyed motorcycle belonged to the West Jakarta Police, which deployed six motorcycle officers to Jl. Kyai Tapa.
"The students attacked one military officer who was walking on the street. The police fired tear gas to stop the action," Iwan told The Jakarta Post and Metro TV at his office.
"The students who were on the campus then ran out and attacked the police. One of the six motorcycle officers fell and the students burned his motorcycle," Iwan said.
A crowd of about 3,000 people gathered at the scene, creating a massive traffic jam and making the situation more chaotic, according to the officer.
To restore order and disperse the crowd, two companies of police officers, including 80 personnel from the West Jakarta Police, were deployed to the scene. By 6:30 p.m. the situation had returned to normal. Iwan said no arrests were made, but he vowed to investigate the incident to discover who was responsible for the attacks on the officers.
The demonstration began peacefully when hundreds of students in 15 minibuses arrived in front of the House of Representatives in Central Jakarta at about noon.
The demonstrators came from FPPI, the Jakarta Student Association, the City Front (Forkot), the Trisakti Student Action Forum and the Pancasila Student Movement for Reform.
The students demanded the dissolution of the Golkar Party and the establishment of a tribunal for Indonesian generals suspected of committing human rights violations. The students left the House for the Ministry of Defense at about 2:30 p.m.
The demonstrators, barred from entering the ministry, held a free speech forum on the street in front of the ministry. As the students were preparing to depart, two trucks transporting police officers passed the scene. "We became involved in a war of words. The police got angry and started hitting the windows of our busses, injuring two students," Masinton said.
He identified the injured students as Andi Baylo and Rizal, both students of Trisakti University. They were taken to Pertamina General Hospital in Cempaka Putih, East Jakarta, for treatment.
When the police fired tear gas, the students got onto the minibuses and fled along Jl. Harmony to Jl. Roxy and then to Jl. Kyai Tapa, with the police pursuing them.
"We were angry so, with the help of locals who sympathized with us, we started to search for military and police vehicles passing along the street," Masinton said, admitting that the students were responsible for burning the police motorcycle.
Masinton said three students went missing in the melee. He identified the three as Agung of Satyanegara University and Nabil and Doly of Trisakti University.
Jakarta -- A rally by students demanding the dissolution of the former ruling Golkar Party turned violent on Monday when demonstrators clashed with police in front of the Ministry of Defense, leaving two students injured and three others missing.
The violence continued when the police chased the demonstrators, riding in minibuses, to Jl. Kyai Tapa in West Jakarta, according to student activist Masinton of the Indonesian Fighters Youth Forum (FPPI).
The students took shelter on the nearby campus of the College of Management and Computer Science. The demonstrators, helped by locals, then proceeded to search for vehicles belonging to the military and police, burning one police motorcycle.
West Jakarta Police chief Sr. Comr. Iwan N. Ismet confirmed the destroyed motorcycle belonged to the West Jakarta Police, which deployed six motorcycle officers to Jl. Kyai Tapa.
"The students attacked one military officer who was walking on the street. The police fired tear gas to stop the action," Iwan told The Jakarta Post and Metro TV at his office.
"The students who were on the campus then ran out and attacked the police. One of the six motorcycle officers fell and the students burned his motorcycle," Iwan said.
A crowd of about 3,000 people gathered at the scene, creating a massive traffic jam and making the situation more chaotic, according to the officer.
To restore order and disperse the crowd, two companies of police officers, including 80 personnel from the West Jakarta Police, were deployed to the scene. By 6:30 p.m. the situation had returned to normal. Iwan said no arrests were made, but he vowed to investigate the incident to discover who was responsible for the attacks on the officers.
The demonstration began peacefully when hundreds of students in 15 minibuses arrived in front of the House of Representatives in Central Jakarta at about noon.
The demonstrators came from FPPI, the Jakarta Student Association, the City Front (Forkot), the Trisakti Student Action Forum and the Pancasila Student Movement for Reform.
The students demanded the dissolution of the Golkar Party and the establishment of a tribunal for Indonesian generals suspected of committing human rights violations. The students left the House for the Ministry of Defense at about 2:30 p.m.
The demonstrators, barred from entering the ministry, held a free speech forum on the street in front of the ministry. As the students were preparing to depart, two trucks transporting police officers passed the scene. "We became involved in a war of words. The police got angry and started hitting the windows of our busses, injuring two students," Masinton said.
He identified the injured students as Andi Baylo and Rizal, both students of Trisakti University. They were taken to Pertamina General Hospital in Cempaka Putih, East Jakarta, for treatment.
When the police fired tear gas, the students got onto the minibuses and fled along Jl. Harmony to Jl. Roxy and then to Jl. Kyai Tapa, with the police pursuing them.
"We were angry so, with the help of locals who sympathized with us, we started to search for military and police vehicles passing along the street," Masinton said, admitting that the students were responsible for burning the police motorcycle.
Masinton said three students went missing in the melee. He identified the three as Agung of Satyanegara University and Nabil and Doly of Trisakti University.
14 April 2009 RAY RANGKUTI : Jutaan Surat Suara Rusak Tetap Dipakai
Meski akhirnya sesuai jadwal, pelaksanaan pemilu legislatif pada Kamis (9/4) ini sejatinya tak layak untuk dilaksanan.
INI terlalu dipaksakan,” ujar mantan Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti kepada Moh Anshari dari Indonesia Monitor, Kamis (2/4). Berikut ini wawancara dengan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) itu.
Mengapa dipaksakan?
Pertama, belum ada kepastian soal DPT (daftar pemilih tetap) yang valid. KPU sudah merevisi beberapa kali, tapi tidak diumumkan. Kita nggak mendengar berapa total dari keseluruhan pemilih dalam DPT. Kedua, soal surat suara. Surat suara yang rusak jumlah puluhan juta, tapi karena nampaknya menyulitkan KPU, surat suara rusak itu kayaknya diperbolehkan. Tapi sesuai standar pemilu, surat suara rusak itu nggak benar. Masak kita harus menerima surat suara yang sudah tercoret, tercontreng, dan distempel. Padahal, itu nggak boleh.
Kalau begitu keadaannya, apa bisa dibilang KPU melegalkan praktik kecurangan?
Kalau memang terbukti terjadi kecurangan di berbagai tempat, kita harus meminta pertanggungjawaban KPU. Termasuk, misalnya, kalau nanti masyarakat marah karena mendapatkan namanya sudah distempel pakai stiker. Sangat layak kalau caleg juga marah karena tahu namanya distempel pakai stiker. Mereka bisa menggugat KPU, karena memperlakukan mereka secara tidak adil. Yang lain namanya mentereng tanpa noda, malah sebagian namanya distempel pakai stiker.
Banyak aturan pemilu yang belum dipahami masyarakat, bahkan oleh politisi. Apa ini berpotensi menimbulkan permasalahan di belakang hari?
Ya. Pasti otomatis itu. Misalnya, soal penundaan pemilu. Yang dikatakan boleh itu seperti apa? Sekarang, satu-satunya yang mengerti dan paham aturan pemilu hanya penyelenggara. Padahal, ini sangat berbahaya. Karena nanti akan banyak gugatan dari masyarakat. Mereka berpatokan pada undangundang, padahal kenyataannya berbeda. Setidaknya itu menyulitkan kalau sosialisasi aturan baru itu tidak sampai ke masyarakat luas. Itu akan menimbulkan tindakan-tindakan yang tidak sehat.
Anda memprediksi KPU akan panen gugatan?
Ya pasti.
Apa ada kemungkinan chaos?
Agak susah memprediksinya. Tapi kita sekarang harus lebih hati-hati.
Kalau terjadi sengketa dan tindak kecurangan, bagaimana penyelesaian yang adil?
Tentu melalui pengadilan. Mereka yang dikecewakan dan merasa diperlakukan tidak adil oleh KPU, mereka bisa melakukan gugatan ke pengadilan. Tapi, sangat tergantung materinya. Kalau materinya berkenaan dengan pidana, tentunya ke polisi. Kalau berkaitan dengan perdata, bisa ke MK dan MA.
Apakah penyelesaian lewat MK bisa dijamin fair?
Itu di luar. Itu soal kemampuan lembaga peradilan dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Bagaimana sebaiknya sikap elite parpol yang nanti kecewa?
Saya pikir mereka jangan menunggu masalah sampai nanti. Hal-hal yang bisa dipersoalkan dari sekarang, ya mereka harus cepat persoalkan. Kalau hal yang bisa digugat sekarang, gugatlah sekarang. Jangan digugat di akhir. Kebiasaan kita menyelesaikan masalah di akhir itu harus dihindari, karena kenyataannya kalau nanti sudah ditetapkan pasti akan sulit untuk dilakukan pembelaaan.
Dengan banyaknya potensi kecurangan dan sengketa pemilu, bagaimana kinerja Bawaslu saat ini?
Bawaslu sami mawon (sama saja). Tidak ada fungsinya. Saya justru merekomendasikan Bawaslu dibubarkan saja. Ke depan nggak perlu lagi. Coba lihat, Bawaslu hanya sibuk ngurusi yang kecil-kecil, sepele-sepele saja. Nggak ada yang serius. Soal DPT, mereka memersoalkan secara tegas. Kita amat meragukan, apakah Bawaslu masih dianggap perlu lagi.
Bagaimana tanggapan Anda soal sistem undi bagi peserta pemilu yang perolehannya suaranya sama?
Itu nggak benar. Itulah yang saya sebut KPU sekarang kacau. Kalau pakai undian, ya nggak usah pakai pemilu. Pemilu kan harus kompetisi. Ini kok orang menang pakai diundi. ■
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=1878&Itemid=33
Comments (0)Add Comment
INI terlalu dipaksakan,” ujar mantan Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti kepada Moh Anshari dari Indonesia Monitor, Kamis (2/4). Berikut ini wawancara dengan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) itu.
Mengapa dipaksakan?
Pertama, belum ada kepastian soal DPT (daftar pemilih tetap) yang valid. KPU sudah merevisi beberapa kali, tapi tidak diumumkan. Kita nggak mendengar berapa total dari keseluruhan pemilih dalam DPT. Kedua, soal surat suara. Surat suara yang rusak jumlah puluhan juta, tapi karena nampaknya menyulitkan KPU, surat suara rusak itu kayaknya diperbolehkan. Tapi sesuai standar pemilu, surat suara rusak itu nggak benar. Masak kita harus menerima surat suara yang sudah tercoret, tercontreng, dan distempel. Padahal, itu nggak boleh.
Kalau begitu keadaannya, apa bisa dibilang KPU melegalkan praktik kecurangan?
Kalau memang terbukti terjadi kecurangan di berbagai tempat, kita harus meminta pertanggungjawaban KPU. Termasuk, misalnya, kalau nanti masyarakat marah karena mendapatkan namanya sudah distempel pakai stiker. Sangat layak kalau caleg juga marah karena tahu namanya distempel pakai stiker. Mereka bisa menggugat KPU, karena memperlakukan mereka secara tidak adil. Yang lain namanya mentereng tanpa noda, malah sebagian namanya distempel pakai stiker.
Banyak aturan pemilu yang belum dipahami masyarakat, bahkan oleh politisi. Apa ini berpotensi menimbulkan permasalahan di belakang hari?
Ya. Pasti otomatis itu. Misalnya, soal penundaan pemilu. Yang dikatakan boleh itu seperti apa? Sekarang, satu-satunya yang mengerti dan paham aturan pemilu hanya penyelenggara. Padahal, ini sangat berbahaya. Karena nanti akan banyak gugatan dari masyarakat. Mereka berpatokan pada undangundang, padahal kenyataannya berbeda. Setidaknya itu menyulitkan kalau sosialisasi aturan baru itu tidak sampai ke masyarakat luas. Itu akan menimbulkan tindakan-tindakan yang tidak sehat.
Anda memprediksi KPU akan panen gugatan?
Ya pasti.
Apa ada kemungkinan chaos?
Agak susah memprediksinya. Tapi kita sekarang harus lebih hati-hati.
Kalau terjadi sengketa dan tindak kecurangan, bagaimana penyelesaian yang adil?
Tentu melalui pengadilan. Mereka yang dikecewakan dan merasa diperlakukan tidak adil oleh KPU, mereka bisa melakukan gugatan ke pengadilan. Tapi, sangat tergantung materinya. Kalau materinya berkenaan dengan pidana, tentunya ke polisi. Kalau berkaitan dengan perdata, bisa ke MK dan MA.
Apakah penyelesaian lewat MK bisa dijamin fair?
Itu di luar. Itu soal kemampuan lembaga peradilan dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Bagaimana sebaiknya sikap elite parpol yang nanti kecewa?
Saya pikir mereka jangan menunggu masalah sampai nanti. Hal-hal yang bisa dipersoalkan dari sekarang, ya mereka harus cepat persoalkan. Kalau hal yang bisa digugat sekarang, gugatlah sekarang. Jangan digugat di akhir. Kebiasaan kita menyelesaikan masalah di akhir itu harus dihindari, karena kenyataannya kalau nanti sudah ditetapkan pasti akan sulit untuk dilakukan pembelaaan.
Dengan banyaknya potensi kecurangan dan sengketa pemilu, bagaimana kinerja Bawaslu saat ini?
Bawaslu sami mawon (sama saja). Tidak ada fungsinya. Saya justru merekomendasikan Bawaslu dibubarkan saja. Ke depan nggak perlu lagi. Coba lihat, Bawaslu hanya sibuk ngurusi yang kecil-kecil, sepele-sepele saja. Nggak ada yang serius. Soal DPT, mereka memersoalkan secara tegas. Kita amat meragukan, apakah Bawaslu masih dianggap perlu lagi.
Bagaimana tanggapan Anda soal sistem undi bagi peserta pemilu yang perolehannya suaranya sama?
Itu nggak benar. Itulah yang saya sebut KPU sekarang kacau. Kalau pakai undian, ya nggak usah pakai pemilu. Pemilu kan harus kompetisi. Ini kok orang menang pakai diundi. ■
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=1878&Itemid=33
Comments (0)Add Comment
20 January 2009, Palu Mahfud Penabuh Konflik
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak menjadi isu sensitif di beberapa parpol. Rawan sebagai pemicu konflik.
MUHAMMAD Sholeh (34) tak menyangka jika gugatan sistem nomor urut caleg yang ia layangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) membuahkan hasil. Lembaga pimpinan Mahfud MD itu mengabulkan gugatan Sholeh dan tiga penggugat lain -Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima S- sehingga penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Namun, kader PDIP Jatim itu harus menanggung konsekuensi. Gara-gara gugatannya itu, ia yang awalnya masuk daftar caleg sementara (DCS) PDIP untuk DPRD Jatim dengan nomor urut 7, tiba-tiba di daftar caleg tetap (DCT) namanya lenyap.
Tak hanya itu. Mantan aktivis PRD itu juga harus siap-siap jadi musuh bersama (common enemy) elite-elite PDIP yang namanya bertengger di urutan nomor atas sebagai calon anggota DPR. Sebab, setelah MK mengabulkan gugatan Sholeh, penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, bukan lagi nomor urut. Padahal, PDIP adalah salah satu parpol yang “mendewakan” nomor urut. Selain PDIP, ada PKS, PPP, PBB, dan PDP yang sebelumnya menerapkan sistem nomor urut.
Penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak jelas meresahkan caleg-caleg dari kalangan elite partai yang nangkring di nomor urut kecil, seperti nomor 1 dan 2. Mereka yang tadinya bisa dengan mudah melenggang ke Senayan atau ke DPRD untuk daerahdaerah yang jadi kantong massa partai mereka, kini harus berjibaku dulu dengan kawan-kawan separtai di dapil (daerah pemilihan) yang sama.
Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) DPP PDIP Taufiq Kiemas (TK), misalnya. Dengan duduk di nomor urut 1 untuk dapil Jabar II, seharusnya ia sudah bisa dipastikan bisa melangkah ke Senayan dengan asumsi PDIP dapat 1 kursi di dapil tersebut. Namun, setelah keluar putusan MK, ia mesti was-was. Sebab, di nomor urut 2 ada Rieke Diah Pitaloka.
Pemeran “Oneng” di komedi situasi (komsit) Bajaj Bajuri itu pada awalnya dipasang di bawah TK selain untuk kepentingan quota perempuan 30 persen juga sebagai vote getter (pengumpul suara) untuk dapil tersebut. Dengan target, memastikan TK bisa ke Senayan. Namun, kini keduanya harus bersaing.
Di dapil DKI II, ada Eriko Sotarduga, Sekretaris DPD PDIP DKI, di nomor urut 1. Ia mesti bersaing dengan Syahriz Ferdian Aziz di nomor 2 dan mantan Ketua LBH Jakarta Apong Herlina di nomor urut 3. Di dapil DKI III, anggota DPR FPDIP Effendi MS Simbolon di nomor urut 1 harus bersaing dengan Judil Herry Justam (2), Hera Diah Tarto Sudiro (3), dan Masinton Pasaribu (10).
Di dapil Jateng I ada Ketua DPP PDIP Tjahjo Kumolo di nomor urut 1 yang harus bersaing dengan Daniel Budi Setiawan (2) dan Willem Max Tutuarima (6). Ada juga Sony Keraf di nomor urut 1 dapil Jateng III yang harus bersaing dengan Imam Suroso (3), paranormal kondang di dapil tersebut. Muhammad Prakosa yang maju di dapil Jateng IX nomor urut 1 harus siap menghadapi kader muda Dewi Aryani Hilman (3). Puan Maharani yang maju dari dapil Jateng V juga harus bersaing dengan anggota DPR Aria Bima (3).
Yang menjadi pertanyaan, jika yang mendapat suara terbanyak ternyata caleg di nomor bawah, maukah mereka menyerahkan kursinya ke elite partai yang duduk di nomor atas? Sebab, ada indikasi, PDIP akan tetap keukeuh menerapkan sistem nomor urut, tapi dengan “cara mereka”, yakni dengan pendekatan “kebijakan parpol”.
“Jika aturan mainnya (di partai) seperti itu dan sudah diputuskan DPP, kita sebagai kader yang loyal harus menaati keputusan itu, saya harus hormati,” ujar Masinton Pasaribu, caleg PDIP dapil DKI III dengan nomor urut 10, kepada Indonesia Monitor, Senin (12/1).
Jika Masinton yang mantan aktivis itu “tegak lurus” mengikuti kebijakan partainya, tidak demikian dengan Dhea Prekasa Yoedha, caleg PDIP untuk DPRD DKI dari dapil Jaktim nomor urut 8. Deklarator AJI (Aliansi Jurnalis Independen) ini menuturkan, semua partai terikat dengan putusan MK soal penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Makanya, jika sampai terjadi pengalihan perolehan kursi, ia akan menanggapinya secara kritis.
“Saya pikir tidak semudah itu. Tapi, bahwa DPP punya kebijakan, antara lain untuk pengamanan kepentingan partai, bisa saja ada caleg terpilih dengan suara terbanyak, ternyata orang itu inkompenten, maka DPP bisa menggantinya. Kita tidak bisa serta merta main ganti begitu saja. Artinya ada pertimbangan-pertimbangan khusus dari partai. Tidak semudah itu mengganti caleg jadi menjadi caleg tidak jadi,” papar Dhea Prekasa Yoedha kepada Indonesia Monitor, Senin (12/1).
Jika DPP tidak bijak dalam melakukan penggantian? “Itu bisa menimbulkan masalah. Risikonya sangat tinggi, konsekuensinya tinggi. Pertama, soal kompetensi, kedua soal tanggung jawab caleg kepada para pemilihnya. Tapi, saya yakin pimpinan partai, Megawati, cukup bijak, dan saya yakin ia tidak mau disebut sebagai pimpinan tidak tahu diri, apalagi menghadapi pilpres. Tidak segampang itu dia mendengarkan omongan orang-orang yang tidak jelas,” paparnya.
■ Sri Widodo
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=1192&Itemid=33
MUHAMMAD Sholeh (34) tak menyangka jika gugatan sistem nomor urut caleg yang ia layangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) membuahkan hasil. Lembaga pimpinan Mahfud MD itu mengabulkan gugatan Sholeh dan tiga penggugat lain -Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima S- sehingga penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Namun, kader PDIP Jatim itu harus menanggung konsekuensi. Gara-gara gugatannya itu, ia yang awalnya masuk daftar caleg sementara (DCS) PDIP untuk DPRD Jatim dengan nomor urut 7, tiba-tiba di daftar caleg tetap (DCT) namanya lenyap.
Tak hanya itu. Mantan aktivis PRD itu juga harus siap-siap jadi musuh bersama (common enemy) elite-elite PDIP yang namanya bertengger di urutan nomor atas sebagai calon anggota DPR. Sebab, setelah MK mengabulkan gugatan Sholeh, penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, bukan lagi nomor urut. Padahal, PDIP adalah salah satu parpol yang “mendewakan” nomor urut. Selain PDIP, ada PKS, PPP, PBB, dan PDP yang sebelumnya menerapkan sistem nomor urut.
Penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak jelas meresahkan caleg-caleg dari kalangan elite partai yang nangkring di nomor urut kecil, seperti nomor 1 dan 2. Mereka yang tadinya bisa dengan mudah melenggang ke Senayan atau ke DPRD untuk daerahdaerah yang jadi kantong massa partai mereka, kini harus berjibaku dulu dengan kawan-kawan separtai di dapil (daerah pemilihan) yang sama.
Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) DPP PDIP Taufiq Kiemas (TK), misalnya. Dengan duduk di nomor urut 1 untuk dapil Jabar II, seharusnya ia sudah bisa dipastikan bisa melangkah ke Senayan dengan asumsi PDIP dapat 1 kursi di dapil tersebut. Namun, setelah keluar putusan MK, ia mesti was-was. Sebab, di nomor urut 2 ada Rieke Diah Pitaloka.
Pemeran “Oneng” di komedi situasi (komsit) Bajaj Bajuri itu pada awalnya dipasang di bawah TK selain untuk kepentingan quota perempuan 30 persen juga sebagai vote getter (pengumpul suara) untuk dapil tersebut. Dengan target, memastikan TK bisa ke Senayan. Namun, kini keduanya harus bersaing.
Di dapil DKI II, ada Eriko Sotarduga, Sekretaris DPD PDIP DKI, di nomor urut 1. Ia mesti bersaing dengan Syahriz Ferdian Aziz di nomor 2 dan mantan Ketua LBH Jakarta Apong Herlina di nomor urut 3. Di dapil DKI III, anggota DPR FPDIP Effendi MS Simbolon di nomor urut 1 harus bersaing dengan Judil Herry Justam (2), Hera Diah Tarto Sudiro (3), dan Masinton Pasaribu (10).
Di dapil Jateng I ada Ketua DPP PDIP Tjahjo Kumolo di nomor urut 1 yang harus bersaing dengan Daniel Budi Setiawan (2) dan Willem Max Tutuarima (6). Ada juga Sony Keraf di nomor urut 1 dapil Jateng III yang harus bersaing dengan Imam Suroso (3), paranormal kondang di dapil tersebut. Muhammad Prakosa yang maju di dapil Jateng IX nomor urut 1 harus siap menghadapi kader muda Dewi Aryani Hilman (3). Puan Maharani yang maju dari dapil Jateng V juga harus bersaing dengan anggota DPR Aria Bima (3).
Yang menjadi pertanyaan, jika yang mendapat suara terbanyak ternyata caleg di nomor bawah, maukah mereka menyerahkan kursinya ke elite partai yang duduk di nomor atas? Sebab, ada indikasi, PDIP akan tetap keukeuh menerapkan sistem nomor urut, tapi dengan “cara mereka”, yakni dengan pendekatan “kebijakan parpol”.
“Jika aturan mainnya (di partai) seperti itu dan sudah diputuskan DPP, kita sebagai kader yang loyal harus menaati keputusan itu, saya harus hormati,” ujar Masinton Pasaribu, caleg PDIP dapil DKI III dengan nomor urut 10, kepada Indonesia Monitor, Senin (12/1).
Jika Masinton yang mantan aktivis itu “tegak lurus” mengikuti kebijakan partainya, tidak demikian dengan Dhea Prekasa Yoedha, caleg PDIP untuk DPRD DKI dari dapil Jaktim nomor urut 8. Deklarator AJI (Aliansi Jurnalis Independen) ini menuturkan, semua partai terikat dengan putusan MK soal penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Makanya, jika sampai terjadi pengalihan perolehan kursi, ia akan menanggapinya secara kritis.
“Saya pikir tidak semudah itu. Tapi, bahwa DPP punya kebijakan, antara lain untuk pengamanan kepentingan partai, bisa saja ada caleg terpilih dengan suara terbanyak, ternyata orang itu inkompenten, maka DPP bisa menggantinya. Kita tidak bisa serta merta main ganti begitu saja. Artinya ada pertimbangan-pertimbangan khusus dari partai. Tidak semudah itu mengganti caleg jadi menjadi caleg tidak jadi,” papar Dhea Prekasa Yoedha kepada Indonesia Monitor, Senin (12/1).
Jika DPP tidak bijak dalam melakukan penggantian? “Itu bisa menimbulkan masalah. Risikonya sangat tinggi, konsekuensinya tinggi. Pertama, soal kompetensi, kedua soal tanggung jawab caleg kepada para pemilihnya. Tapi, saya yakin pimpinan partai, Megawati, cukup bijak, dan saya yakin ia tidak mau disebut sebagai pimpinan tidak tahu diri, apalagi menghadapi pilpres. Tidak segampang itu dia mendengarkan omongan orang-orang yang tidak jelas,” paparnya.
■ Sri Widodo
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=1192&Itemid=33
18 November 2008 Caleg Modal Besar Incar Balik Modal
Demi merebut kursi di Senayan setiap caleg membutuhkan dana besar. Bagaimana dengan caleg bermodal kecil?
UNTUK meraih simpati dan popularitas dari pemilih calon legislatif dalam Pemilu 2009 tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi enam bulan menjelang pemilu legislatif digelar sejumlah caleg mengaku kewalahan karena hampir setiap hari harus berurusan dengan proposal yang disodorkan masyarakat. Mulai dari acara kawinan, kegiatan sosial hingga perbaikan
masjid.
Seorang caleg di daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur VIII mengatakan, kebutuhan dana kampanye Pemilu 2009 dua kali lebih besar daripada Pemilu 2004. Saat itu semua harga kebutuhan logistik masih relatif murah. Selain itu, katanya, dalam Pemilu 2009 yang disosialisasikan adalah calegnya. Dengan sistem penentuan suara terbanyak, otomatis dana yang dikeluarkan caleg sangat tinggi.
’’Biaya yang paling tertinggi, adalah untuk alat peraga dan sosialisasi caleg,’’ ujarnya.
Dia mengalkulasi, untuk caleg di dapil Jatim VIII yang meliputi enam kabupaten/kota minim dibutuhkan biaya sekitar Rp 500 juta. Dana itu untuk backdrop kampanye di setiap kecamatan, serta 100 spanduk sekitar Rp 106 juta. Belanja 10 ribu kaos dan 20 ribu kalender menghabirkan Rp 90 juta.
Sedangkan untuk ongkos sosialisasi atau temu konstituen di enam kabupaten/kota terkuras sekitar Rp 376 juta.
’’Belum lagi untuk biaya tak terduga, misalnya untuk sumbangan bisa mencapai Rp 100 juta,’’ ungkapnya kepada Indonesia Monitor.
Besarnya dana kampanye disadari Pius Lustrilanang yang sudah dua kali nyaleg di tahun 1999 dan 2004. Menurutnya, kesulitan mencari dana (fund rising) kampanye akan dialami aktivis-aktivis yang mencoba nasib menjadi caleg. Apalagi, jika tidak memiliki keluasan komunikasi politik dan networking sosial
selama berkecimpung di dunia akitivis.
’’Mereka (aktivis) harus belajar karena memasuki dunia yang berbeda. Harus cerdas melakukan kampanye yang efektif, karena kampanye jelas menelan biaya yang tidak sedikit,’’ tegasnya.
Jebolan pascasarjana Ilmu Kepolisian UI ini menambahkan, para aktivis yang nyaleg di partai-partai kecil akan semakin sulit menjaring dana.
Soalnya, para donator politik akan berhitung peluang kecilbesarnya keberhasilan masuk Senayan. Contohnya, aktivis buruh Dita Indah Sari (Caleg PBR Jateng V) yang diprediksi sedang kesulitan menggalang dana.
’’Saya bisa katakan dia kesulitan soal dana. Dita salah pilih partai. Sorry to say itu kan bagi saya Dita sama saja ‘bunuh diri’. Tapi, mudah-mudahan Dita sudah melakukan kalkulasi untuk hal itu,’’ paparnya.
Kegundahan beratnya mencari dana politik 2009 dirasakan aktivis Famred (Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi) Masinton Pasaribu. Untuk maju menjadi caleg DPR , Masinton tak tahu lagi harus mencari dana untuk kelangsungan kampanyenya. Hal itu hampir semuanya dialami 200 aktivis mahasiswa 1998 yang menjadi caleg dalam Pemilu 2009.
Idealnya kampanye semakin kecil modal semakin baik. Artinya calon legislatif mampu memobilisasi dukungan tanpa harus dengan uang.
Adanya kenyataan untuk menjadi caleg harus mengeluarkan biaya besar, menurutnya, dicurigai sebagai pemicu banyak caleg tersangkut masalah hukum. Ibaratnya keluar modal harus kembali modal.
Hal itu dikemukakan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow, kepada Indonesia Monitor. Memang untuk urusan dana, menurutnya, sangat relatif. Namun, idealnya semakin minim modal semakin baik.
’’Itu menunjukkan caleg tersebut mampu memobilisasi dukungan tanpa harus dengan uang,’’ katanya. Kendati begitu, Jeirry tetap tak menyampingkan faktor modal. Menurutnya, bagaimana pun modal perlu namun tidak harus banyak. Semakin banyak uang, katanya, sangat memungkinkan untuk munculnya potensi politik uang.
’’Karena semakin banyak uang yang dikeluarkan oleh seorang caleg maka semakin besar kemungkinan untuk korupsi. Logikanya, setelah caleg tersebut menduduki posisi yang diharapkanya ia akan berpikir untuk mengembalikan modalnya. Namun tidak bisa dipukul rata juga semua akan melakukan hal itu,’’ papar Jeirry.
Jeirry menyarankan, caleg hendaknya menggunakan kampanye turun langsung ke masyarakat. Setidaknya jenjang waktu enam bulan untuk kampanye cukup memadai. ’’Pastinya lebih efektif dibanding dengan kampanye iklan di media dan spanduk,’’ katanya.
■ Dimas Ryandi
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=766&Itemid=34
UNTUK meraih simpati dan popularitas dari pemilih calon legislatif dalam Pemilu 2009 tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi enam bulan menjelang pemilu legislatif digelar sejumlah caleg mengaku kewalahan karena hampir setiap hari harus berurusan dengan proposal yang disodorkan masyarakat. Mulai dari acara kawinan, kegiatan sosial hingga perbaikan
masjid.
Seorang caleg di daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur VIII mengatakan, kebutuhan dana kampanye Pemilu 2009 dua kali lebih besar daripada Pemilu 2004. Saat itu semua harga kebutuhan logistik masih relatif murah. Selain itu, katanya, dalam Pemilu 2009 yang disosialisasikan adalah calegnya. Dengan sistem penentuan suara terbanyak, otomatis dana yang dikeluarkan caleg sangat tinggi.
’’Biaya yang paling tertinggi, adalah untuk alat peraga dan sosialisasi caleg,’’ ujarnya.
Dia mengalkulasi, untuk caleg di dapil Jatim VIII yang meliputi enam kabupaten/kota minim dibutuhkan biaya sekitar Rp 500 juta. Dana itu untuk backdrop kampanye di setiap kecamatan, serta 100 spanduk sekitar Rp 106 juta. Belanja 10 ribu kaos dan 20 ribu kalender menghabirkan Rp 90 juta.
Sedangkan untuk ongkos sosialisasi atau temu konstituen di enam kabupaten/kota terkuras sekitar Rp 376 juta.
’’Belum lagi untuk biaya tak terduga, misalnya untuk sumbangan bisa mencapai Rp 100 juta,’’ ungkapnya kepada Indonesia Monitor.
Besarnya dana kampanye disadari Pius Lustrilanang yang sudah dua kali nyaleg di tahun 1999 dan 2004. Menurutnya, kesulitan mencari dana (fund rising) kampanye akan dialami aktivis-aktivis yang mencoba nasib menjadi caleg. Apalagi, jika tidak memiliki keluasan komunikasi politik dan networking sosial
selama berkecimpung di dunia akitivis.
’’Mereka (aktivis) harus belajar karena memasuki dunia yang berbeda. Harus cerdas melakukan kampanye yang efektif, karena kampanye jelas menelan biaya yang tidak sedikit,’’ tegasnya.
Jebolan pascasarjana Ilmu Kepolisian UI ini menambahkan, para aktivis yang nyaleg di partai-partai kecil akan semakin sulit menjaring dana.
Soalnya, para donator politik akan berhitung peluang kecilbesarnya keberhasilan masuk Senayan. Contohnya, aktivis buruh Dita Indah Sari (Caleg PBR Jateng V) yang diprediksi sedang kesulitan menggalang dana.
’’Saya bisa katakan dia kesulitan soal dana. Dita salah pilih partai. Sorry to say itu kan bagi saya Dita sama saja ‘bunuh diri’. Tapi, mudah-mudahan Dita sudah melakukan kalkulasi untuk hal itu,’’ paparnya.
Kegundahan beratnya mencari dana politik 2009 dirasakan aktivis Famred (Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi) Masinton Pasaribu. Untuk maju menjadi caleg DPR , Masinton tak tahu lagi harus mencari dana untuk kelangsungan kampanyenya. Hal itu hampir semuanya dialami 200 aktivis mahasiswa 1998 yang menjadi caleg dalam Pemilu 2009.
Idealnya kampanye semakin kecil modal semakin baik. Artinya calon legislatif mampu memobilisasi dukungan tanpa harus dengan uang.
Adanya kenyataan untuk menjadi caleg harus mengeluarkan biaya besar, menurutnya, dicurigai sebagai pemicu banyak caleg tersangkut masalah hukum. Ibaratnya keluar modal harus kembali modal.
Hal itu dikemukakan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow, kepada Indonesia Monitor. Memang untuk urusan dana, menurutnya, sangat relatif. Namun, idealnya semakin minim modal semakin baik.
’’Itu menunjukkan caleg tersebut mampu memobilisasi dukungan tanpa harus dengan uang,’’ katanya. Kendati begitu, Jeirry tetap tak menyampingkan faktor modal. Menurutnya, bagaimana pun modal perlu namun tidak harus banyak. Semakin banyak uang, katanya, sangat memungkinkan untuk munculnya potensi politik uang.
’’Karena semakin banyak uang yang dikeluarkan oleh seorang caleg maka semakin besar kemungkinan untuk korupsi. Logikanya, setelah caleg tersebut menduduki posisi yang diharapkanya ia akan berpikir untuk mengembalikan modalnya. Namun tidak bisa dipukul rata juga semua akan melakukan hal itu,’’ papar Jeirry.
Jeirry menyarankan, caleg hendaknya menggunakan kampanye turun langsung ke masyarakat. Setidaknya jenjang waktu enam bulan untuk kampanye cukup memadai. ’’Pastinya lebih efektif dibanding dengan kampanye iklan di media dan spanduk,’’ katanya.
■ Dimas Ryandi
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=766&Itemid=34
Membahas biaya kampanye
Jumat, 2009 Maret 1
oleh: masykur
Menarik sekali tema yang diangkat oleh SUN TV, sebuah televisi lokal jakarta, anak perusahaan RCTI. Tema yang diangkat adalah tentang biaya kampanye bagi calon DPR. acara ini dinamai “contreng” yang menghadirkan syafii hasan dari partai demokrat, yudi latif sebagai pakar politik, dan masinton pasaribu dari partai PDI.
Acara ini diadakan di mall menara kebun sirih pada 4 maret 2009. Acara yang sedianya dimulai pukul 19.00 WIB. baru bisa dimulai pada pukul 20.30 karena hujan mengguyur lokasi. Semua peralatan syouting sudah ditata dan dipersiapkan. Meja dan 4 kursi di seting berada di depan tangga. Musisi juga sudah siap dengan peralatanya, kamera dan lampu sudah stanby. Para pasukan BK (benteng kedaulatan) yang diundang sebagai audiens sudah berada pada posisi duduk di tangga berjejer sekitar 11 orang. Mereka memakai pakaian hitam semua dengan baju bertuliskan “Benteng kedaulatan” di punggung. Namun ketika produser akan memulai, hujan tiba-tiba datang tanpa permisi. Akhirnya si produser yang baru menata segelas kopi di meja membatalkan acara tersebut. “cut,..cut,..” perintahnya.
Semua kru langsung berlarian untuk menyelamatkan peralatannya. ada yang lari ke atas tangga megambil lampu yang sudah ditata rapi, ada yang mengemasi kamera yang sudah stanby, ada yang menggulung kabel dan ada yang berteriak dengan nada perintah karena masih ada peralatan yang masih tertinggal. Panggung alami dipelataran mall disulap menjadi sepi lagi seperti biasanya. Hanya air yang mengisi. Pasukan BK—salah satu organisasi masa pendukung cucu menantu sudirman—langsung menyelamatkan diri dihalaman mall. Mereka saling bertanya apakah gagal atau tetap dimulai karena kayaknya hujan juga tidak kunjung reda. Padahal para panelis sudah datang. Disini ada yang sempat nclekop “ga sewa pawang hujan sih”?
Salah satu pasukan BK sedang sms ke salah stu kru tv menanyakan keberlanjutanya, “dilanjutkan atau tidak mba” itu isi dari smsnya karea waktu ngetik dia sambil ngomong. Tidak lama kemudian ada kru dari tv dengan perawakan kecil memakai jilbab dan sambil senyum menjawab. “Nanti mas ya karna baru seting tempa” kata kru tadi sambil memberi senyum. Pasukan BK langsung menganggukkan kepala dan membalas senyuman.
Melihat sibuknya kru Sun Tv, acara “contreng” kelihatanya dilanjutkan, namun seting tempat mungkin berbeda. Dari kejauhan, beberapa lampu tampak sudah terang. Sebagian kru juga terlihat menarik kable kesana kemari.
Setelah menunggu lama, akhirnya semua audiens dan panelis dipanggil dan dipersilahkan duduk di tempat yang sudah disediakan. Seting tempat memang berbeda dari sebelumnya. Sekarang berada di halaman yang relatif sempit tapi memang tidak kena hujan.
Panggungnya alami seperti biasa, hanya dikasih empat kursi untuk pembicara. Sekitar tiga meter serong ke kanan kamera sudah stanby, serong ke kiri, kamera juga sudah stanby, dan lurus kedepan juga ada kamera. Posisi duduk pembicara adalah dari kiri masinton, calon DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Seperti tema yang diangkat tentang dana kampanye bagi caleg, masinton hanya memakai kemeja merah celana biasa dan sandalan. Berbeda dengan pembicara yang berada pada posisi ketiga setelah masinton, karena posisi kedua diduduki oleh Yudi latif sebagai pembanding. Caleg satunya ini dari gaya pakaianya sudah meyakinkan kalau dia dari caleg kaya. Memakai jaz, dasi, dan bersepatu mengkilap.
Di posisi paling kanan adalah moderator pemandu acara. Dan disamping kamera juga terlihat wanita cantik dengan terus memberi senyum dan sesekali mengahafal rangkaian kata-kata yang nantinya akan disapaikan untuk menhantarkan acara dialog tersebut. Produser mulai memberikan kode untuk segera mulai, wanita yang mempunyai nama riska sebagai Host tersebut segera kedepan setelah dikasih aba-aba oleh pemandu kamera dibelakang. Acara tidka sekali jadi, beberapa kali diulang-ulang karena masih ada kesalahan, entah dari host, musik yang mengiringi, atau dari moderatornya. Sampai mereka siap semua, baru dimulai. Semua di atur, bahkan tepuk tangan pun di atur dan dikasih kode.
Pemandu acara mulai memperkenalkan pembicara. Masinton dari caleg DPR RI PDIP nomor 10, syarif hasan caeg DPR RI dari partai demokrat nomor 1, dan pembandingnya adalah Yudi latif dari pakar politik. Pembahasan pertama moderator memberi prolog tentang metode berkampanye, karena untuk kampanye saja biaya sangat tinggi, bahkan mencapai berjuta-juta. Bagaimana masing-masing calon legislatif ini mensiasati. Kalau yang punya uang tidak masalah, namun yang tidak punya uang ini bagaimana.
Lontaran pertama ini diberikan kepada syarif hasan, dan langsung ditanggapi. Bahawa untuk biaya kampanye sangat mahal, membuat baliho saja yang agak besar bisa mencapai satu setengah juta, itu satu. Belum bikin kaosnya. Tapi itu adalah salah satu strategi kampanye.
Bagi masinton, strategi yang dipakai dalam berkampanye berbeda dari yang dikatakan syarif. Masinton bermodal sosial, mengandalkan modal tersebut untuk bersialisai mendatangi masyarakat. Dia beserta masyarakat membahas dan meminta doa restu. Karena bagi masinton, tidak mau terjebak dengan logika politik lama, yaitu bagi-bagi uang atau sembako. Karena demokrasi adalah partisipasi. Kunci partisipasi ini yang akan dipakai dengan melibatkan semua masyarakat. “saya terus terang saja tidak mempunyai uang. Bahkan saya meminta sumbangan kepada temen-temen untuk membiayai bikin spanduk dan kartu nama” kata masinton.
Masyarakat memang harus diajak membahas, karena tidak punya uang. Misalkan kaos, mereka disuruh untuk menyablon sendiri, begitu juga alat-alat kampanye yang lain. Karena kalau memakai kampanye media, itu sangat mahal costnya.
……………………..[bersambung]
Diposkan oleh maskur hasan di 01:27
oleh: masykur
Menarik sekali tema yang diangkat oleh SUN TV, sebuah televisi lokal jakarta, anak perusahaan RCTI. Tema yang diangkat adalah tentang biaya kampanye bagi calon DPR. acara ini dinamai “contreng” yang menghadirkan syafii hasan dari partai demokrat, yudi latif sebagai pakar politik, dan masinton pasaribu dari partai PDI.
Acara ini diadakan di mall menara kebun sirih pada 4 maret 2009. Acara yang sedianya dimulai pukul 19.00 WIB. baru bisa dimulai pada pukul 20.30 karena hujan mengguyur lokasi. Semua peralatan syouting sudah ditata dan dipersiapkan. Meja dan 4 kursi di seting berada di depan tangga. Musisi juga sudah siap dengan peralatanya, kamera dan lampu sudah stanby. Para pasukan BK (benteng kedaulatan) yang diundang sebagai audiens sudah berada pada posisi duduk di tangga berjejer sekitar 11 orang. Mereka memakai pakaian hitam semua dengan baju bertuliskan “Benteng kedaulatan” di punggung. Namun ketika produser akan memulai, hujan tiba-tiba datang tanpa permisi. Akhirnya si produser yang baru menata segelas kopi di meja membatalkan acara tersebut. “cut,..cut,..” perintahnya.
Semua kru langsung berlarian untuk menyelamatkan peralatannya. ada yang lari ke atas tangga megambil lampu yang sudah ditata rapi, ada yang mengemasi kamera yang sudah stanby, ada yang menggulung kabel dan ada yang berteriak dengan nada perintah karena masih ada peralatan yang masih tertinggal. Panggung alami dipelataran mall disulap menjadi sepi lagi seperti biasanya. Hanya air yang mengisi. Pasukan BK—salah satu organisasi masa pendukung cucu menantu sudirman—langsung menyelamatkan diri dihalaman mall. Mereka saling bertanya apakah gagal atau tetap dimulai karena kayaknya hujan juga tidak kunjung reda. Padahal para panelis sudah datang. Disini ada yang sempat nclekop “ga sewa pawang hujan sih”?
Salah satu pasukan BK sedang sms ke salah stu kru tv menanyakan keberlanjutanya, “dilanjutkan atau tidak mba” itu isi dari smsnya karea waktu ngetik dia sambil ngomong. Tidak lama kemudian ada kru dari tv dengan perawakan kecil memakai jilbab dan sambil senyum menjawab. “Nanti mas ya karna baru seting tempa” kata kru tadi sambil memberi senyum. Pasukan BK langsung menganggukkan kepala dan membalas senyuman.
Melihat sibuknya kru Sun Tv, acara “contreng” kelihatanya dilanjutkan, namun seting tempat mungkin berbeda. Dari kejauhan, beberapa lampu tampak sudah terang. Sebagian kru juga terlihat menarik kable kesana kemari.
Setelah menunggu lama, akhirnya semua audiens dan panelis dipanggil dan dipersilahkan duduk di tempat yang sudah disediakan. Seting tempat memang berbeda dari sebelumnya. Sekarang berada di halaman yang relatif sempit tapi memang tidak kena hujan.
Panggungnya alami seperti biasa, hanya dikasih empat kursi untuk pembicara. Sekitar tiga meter serong ke kanan kamera sudah stanby, serong ke kiri, kamera juga sudah stanby, dan lurus kedepan juga ada kamera. Posisi duduk pembicara adalah dari kiri masinton, calon DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Seperti tema yang diangkat tentang dana kampanye bagi caleg, masinton hanya memakai kemeja merah celana biasa dan sandalan. Berbeda dengan pembicara yang berada pada posisi ketiga setelah masinton, karena posisi kedua diduduki oleh Yudi latif sebagai pembanding. Caleg satunya ini dari gaya pakaianya sudah meyakinkan kalau dia dari caleg kaya. Memakai jaz, dasi, dan bersepatu mengkilap.
Di posisi paling kanan adalah moderator pemandu acara. Dan disamping kamera juga terlihat wanita cantik dengan terus memberi senyum dan sesekali mengahafal rangkaian kata-kata yang nantinya akan disapaikan untuk menhantarkan acara dialog tersebut. Produser mulai memberikan kode untuk segera mulai, wanita yang mempunyai nama riska sebagai Host tersebut segera kedepan setelah dikasih aba-aba oleh pemandu kamera dibelakang. Acara tidka sekali jadi, beberapa kali diulang-ulang karena masih ada kesalahan, entah dari host, musik yang mengiringi, atau dari moderatornya. Sampai mereka siap semua, baru dimulai. Semua di atur, bahkan tepuk tangan pun di atur dan dikasih kode.
Pemandu acara mulai memperkenalkan pembicara. Masinton dari caleg DPR RI PDIP nomor 10, syarif hasan caeg DPR RI dari partai demokrat nomor 1, dan pembandingnya adalah Yudi latif dari pakar politik. Pembahasan pertama moderator memberi prolog tentang metode berkampanye, karena untuk kampanye saja biaya sangat tinggi, bahkan mencapai berjuta-juta. Bagaimana masing-masing calon legislatif ini mensiasati. Kalau yang punya uang tidak masalah, namun yang tidak punya uang ini bagaimana.
Lontaran pertama ini diberikan kepada syarif hasan, dan langsung ditanggapi. Bahawa untuk biaya kampanye sangat mahal, membuat baliho saja yang agak besar bisa mencapai satu setengah juta, itu satu. Belum bikin kaosnya. Tapi itu adalah salah satu strategi kampanye.
Bagi masinton, strategi yang dipakai dalam berkampanye berbeda dari yang dikatakan syarif. Masinton bermodal sosial, mengandalkan modal tersebut untuk bersialisai mendatangi masyarakat. Dia beserta masyarakat membahas dan meminta doa restu. Karena bagi masinton, tidak mau terjebak dengan logika politik lama, yaitu bagi-bagi uang atau sembako. Karena demokrasi adalah partisipasi. Kunci partisipasi ini yang akan dipakai dengan melibatkan semua masyarakat. “saya terus terang saja tidak mempunyai uang. Bahkan saya meminta sumbangan kepada temen-temen untuk membiayai bikin spanduk dan kartu nama” kata masinton.
Masyarakat memang harus diajak membahas, karena tidak punya uang. Misalkan kaos, mereka disuruh untuk menyablon sendiri, begitu juga alat-alat kampanye yang lain. Karena kalau memakai kampanye media, itu sangat mahal costnya.
……………………..[bersambung]
Diposkan oleh maskur hasan di 01:27
Langganan:
Postingan (Atom)