Kamis, 15 Juli 2010

UDANG DI BALIK Rekening Jenderal



INDONESIA MONITOR-Munculnya data rekening mencurigakan beberapa perwira tinggi Polri tak lepas dari agenda suksesi di Trunojoyo. Siapa berkepentingan?

JENDERAL Pol Bambang Hendarso Danuri mungkin tak pernah bermimpi, empat hari menjelang ulang tahun Polri, institusi yang dipimpinnya itu mendapat “hadiah” tak mengenakan dari Majalah Tempo: daftar rekening gendut perwira Polri.
Tak heran, alih-alih mempersiapkan peringatan hari jadi ke-64 Korps Bhayangkara, BHD—demikian sebutan Kapolri kelahiran Bogor 10 Oktober 1952 itu—malah mengumpulkan perwira-perwiranya untuk membahas masalah tersebut. “Mereka diperintahkan untuk tutup mulut,” ungkap anggota Komisi III DPR Nasir Djamil dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (3/7).
BHD layak panik. Sebab, meski data rekening mencurigakan yang dimiliki beberapa jenderal Polri sejatinya merupakan isu lawas, hal itu cukup mengganggu perjalanan kariernya di pengujung masa jabatannya sebagai Truno 1 (Kapolri) yang berakhir Oktober 2010.
Orang dalam Truno 1 mengungkapkan, munculnya data kekayaan enam perwira tinggi dan dua perwira menengah Polri yang dinilai mencurigakan itu merupakan data analisis akhir PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) 2005-2009. “Itu data lama,” cetus orang dekat BHD yang minta agar identitasnya disembunyikan itu kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).
Makanya, menurut dia, BHD dan perwira-perwira loyalis di sekelilingnya bertanya-tanya. “Kenapa baru diledakkan sekarang? Pada kandidat siapakah Tempo berpihak? Karena nama-nama itu (enam jenderal yang di-blow up Tempo) kan inner circle-nya NS,” tuturnya sambil mengungkapkan jenderal berinisal NS itu.
Ya, mencuatnya data rekening mencurigakan dan daftar kekayaan yang diduga tidak dilaporkan oleh para jenderal itu, tak bisa dipisahkan dari agenda suksesi di institusi Korps Baju Coklat itu. Sesuai jadwal, per 1 Oktober 2010, masa jabatan BHD berakhir dan Presiden SBY harus mengajukan kandidat penggantinya ke DPR.
Apalagi, sejak Susno Duadji terpental dari bursa calon Tri Brata—sebutan Kapolri—beberapa nama yang berpotensi menggantikan BHD semakin menyembul ke permukaan. Dua nama yang sering disebut adalah Irwasum Polri Komjen Nanan Soekarna dan Kabareskrim Polri Komjen Ito Sumardi.
Tak hanya dua jenderal itu. Beberapa perwira tinggi di level bawahnya juga mulai dielus-elus. Bahkan, menurut sumber di lingkungan Polri, ada lima nama perwira tinggi berpangkat bintang dua alias Inspektur Jenderal (Irjen) yang bakal jadi “kuda hitam”. Mereka adalah Kapolda Sumut Irjen Oegroseno, Kapolda Metro Jaya Irjen Timur Pradopo, Kapolda Kaltim Irjen Mathius Salempang, Kepala Korps Brimob Irjen Polisi Sylvanus Yulian Wenas, dan Irjen Pol Bambang Suparno (staf pengajar di Sekolah Staf Pati Polri).
Yang menarik, dari beberapa nama yang kabarnya sudah dielus-elus itu, tiga jenderal di antaranya termasuk yang sedang “diobok-obok” harta kekayaannya. Mereka adalah SY Wenas, Mathius Salempang, dan Bambang Suparno.
Padahal, salah satu dari tiga jenderal itu, yakni Bambang Suparno, kabarnya sudah digadang-gadang oleh BHD untuk menggantikan pos yang bakal ditinggalkannya itu. Sinyalemen ini dibenarkan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane.
“Ya, saya juga mendengar kabar itu. Dia adalah salah satu dari belasan nama perwira yang kabarnya sudah disampaikan BHD ke Presiden untuk dicalonkan sebagai kandidat Kapolri,” ungkap Neta kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).
Menariknya, meski jarang disebut-sebut namanya, sosok Bambang Suparno merupakan perwira yang “istimewa”. “Dia dalam satu tahun, naik pangkat dua kali. Sama halnya ketika Sutanto mempersiapkan BHD untuk jadi Kapolri dulu. Dulu ketika Sutanto mempersiapkan BHD, dia (BHD) naik pangkat dua kali dalam setahun. Dalam tiga tahun, BHD naik pangkat empat kali. Sekarang BHD rupanya sedang mempersiapkan Bambang Suparno yang dalam setahun dua kali naik pangkat jenderal,” paparnya.
Makanya, Neta curiga, munculnya data kekayaan perwira Polri yang dilansir Tempo target utamanya sebenarnya Bambang. Sebab, selain Bambang, nama-nama yang diungkap Tempo merupakan data lama. “Hanya nama Bambang yang baru,” tuturnya.
Menurut Neta, sekarang Bambang sedang menjabat Widyaiswara Utama di Sespim Polri. “Sepertinya ada loyalis-loyalis yang kurang setuju dengan pencalonan Bambang Suparno. Apalagi dia angkatan yang masih muda, tahun 1980, sehingga dimunculkanlah kasus rekening dia. Yang lain itu sebenarnya hanya data ikutan, pelengkap penderita. Itu data rekening lama yang dimasukkan dengan nama baru,” paparnya.
Sumber Indonesia Monitor di lingkungan Polri membisikkan, munculnya data tersebut sebenarnya dari internal Polri sendiri. Targetnya, selain memuluskan langkah “jagoannya” untuk menduduki kursi Kapolri, tujuan utamanya sebenarnya soal pengamanan.
“Kalau ‘matahari’ mereka jadi Kapolri, mereka aman. Kepentingannya hanya penyelamatan diri saja dari sejumlah kasus, seperti kasus Gayus Tambunan,” ungkapnya kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).

Terlepas apa motif di balik munculnya data tersebut, menurut aktivis Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Masinton Pasaribu ada yang salah dalam tubuh Polri saat ini. Menurutnya, kebobrokan di Polri ini tidak bisa lagi dikatakan sebagai perbuatan oknum segelintir saja, tapi sudah menyeluruh dan dilakukan berjamaah.
“Coba, buka saja semua rekening jenderal itu. Minta PPATK buka data transaksi jenderal perwira tinggi dan perwira menengah, baik di Mabes maupun di Polda sampai Polres. Semua rekeningnya pasti janggal dan nggak masuk akal jika dibandingkan dengan gaji yang sebenarnya,” ujar Masinton kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).

Masinton yakin, sebagian besar jenderal Polri hidup dalam kemewahan. Padahal, kalau menilik gaji mereka, sebenarnya kekayaannya tak sepadan dengan “profilnya”. Hitung saja, dengan gaji kisaran Rp 3-9 juta per bulan, jika mereka pensiun di usia 58 tahun, kekayaan yang bisa dikumpulkan hanya sekitar Rp 4,1 miliar. Itu pun kalau gaji tersebut tidak pernah digunakan untuk biaya hidup keluarga.
Hitungannya, seorang perwira memulai kariernya setelah lulus dari Akademi Kepolisian pada usia minimal 20 tahun. Sejak dilantik sampai pensiun, perwira itu menjalani masa dinas selama 38 tahun atau 456 bulan. Bila gaji mereka dikenakan langsung sebagai perwira tinggi setara Rp 9 juta maka pendapatan yang diperoleh sampai pensiun hanya Rp 4,1 miliar. Bila uang ini ditabung di bank selama 38 tahun, pendapatannya tidak lebih dari Rp 12 miliar, itu pun jika bunga bank mencapai 10 persen setiap tahunnya.

Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Bambang Widodo Umar tak sependapat dengan dugaan Masinton. Menurutnya, lebih banyak perwira yang baik dibanding yang buruk. “Sebab, yang bias nyeleweng itu hanya polisi yang dalam posisiposisi tertentu saja. Hanya saja, mereka ini terus bergumul dengan praktik itu dan muncul ke permukaan. Ini yang merusak citra kepolisian,” tegas mantan perwira tinggi Polri itu kepada Indonesia Monitor, Jumat (2/7).
Meski begitu, dia mendukung upaya pengungkapan dugaan rekening bermasalah tersebut. Makanya, dia mendorong agar kasus ini ditangani KPK, sebab jika yang menangani Polri akan sangat subyektif.
“Nanti informasi rekening ini malah ditahan sehingga tidak bisa terbongkar secara terang-benderang. Malah ada kesan Polri melindungi. Kalau KPK bisalah diandalkan, karena ini ada dugaan tindak korupsi dan gratifikasi yang tidak benar,” paparnya.
DPR pun tengah bersiap-siap memanggil Kapolri dan PPATK untuk meminta penjelasan terkait isu tersebut. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PAN Taslim Chaniago mengungkapkan, tak hanya terkait soal rekening mencurigakan yang dilaporkan Tempo, DPR juga akan mempertanyakan soal bisnis di kepolisian.
“Dulu juga sudah pernah dilaporkan ada rekening gendut para perwira Polri. Ketika itu ada 15 rekening gendut, pada zamannya Sutanto. Nah, sekarang muncul lagi. Supaya tidak ada kesalahpahaman, Komisi III DPR akan memanggil Kapolri tentang kebenaran berita itu. Kita juga akan memanggil PPATK, supaya semua terungkap dengan gamblang,” papar Taslim kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).

Kolega Taslim di Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasril Jamil juga senada. Bahkan, dia menduga ada penyalahgunaan wewenang oleh oknum-oknum perwira polisi sehingga bisa memiliki kekayaan berlimpah. Selain itu, juga terkait penegakan hukum, manajemen anggaran, dan manajemen personalia yang dijadikan bancakan untuk mencari keuntungan pribadi. “Ini semua harus dikembalikan ke kode etik kepolisian,” ujar Nasril kepada Indonesia Monitor, Jumat (2/7).
Penuturan Taslim dan Nasril diamini anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Gayus Lumbuun. Menurutnya, untuk membuktikan kebenaran data tentang kekayaan perwira polisi tersebut, perlu pendapat dari semua pihak agar berimbang. “Ini tidak mudah untuk membuktikannya,” ujar Gayus kepada Indonesia Monitor, Kamis (1/7).
Namun, jika data tersebut benar, Gayus menyayangkan. Sebab, dari segi kesejahteraan, sebenarnya anggota Polri sudah jauh lebih sejahtera dibanding PNS lain, khususnya setelah terpisah dari ABRI sejak 1999. “Data tahun 1999-2010 anggaran polisi sudah naik menjadi 10 kali lipat,” tegasnya.
■ Moh Anshari, Sri Widodo
http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=5372&Itemid=33

Tidak ada komentar: