Sabtu, 04 Oktober 2008

Bila Aktivis Jadi Politisi

Media Indonesia
06 September 2008 00:01 WIB

Bila Aktivis Jadi Politisi
Dunia politik memang sangat menggiurkan. Sebab, status sebagai politisi membuat orang menjadi terkenal seperti selebritas. Posisi tersebut akan membuat orang menjadi dipentingkan. Ia memiliki 'prestise' yang tak dipunyai banyak orang.
Karena alasan itulah, hari ini orang berbondong-bondong memasuki dunia politik. Mulai dari politisi murni, individu biasa, profesional, akademisi, bahkan artis tertarik untuk meramaikan dunia politik dan menahbiskan diri mereka sebagai politisi atau calon politisi. Mereka berlomba-lomba mengadu peruntungan sebagai wakil rakyat.
Di antara antrean panjang menuju takhta kekuasaan tersebut, salah satu spesies yang banyak disorot adalah caleg dari kalangan aktivis (mantan aktivis 1998). Sejumlah aktivis 1998 yang menjadi caleg itu, antara lain mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko (PDIP), Sekjen Pena 1998 Adian Napitupulu (PDIP), mantan aktivis FPPI Masinton (PDIP), korban penculikan 1997-1998 Pius Lustrilanang dan Desmond J Mahesa (Gerindra), mantan aktivis UI Indra J Philiang (Golkar), mantan aktivis Famred Wahab Thalaohu dan Tenri (Golkar), mantan aktivis Forkot Lutfi (Golkar), mantan aktivis Pijar Haikal (Demokrat), mantan aktivis buruh Dita Indah Sari (PBR), mantan Ketua Umum HMI Anas Urbaningrum (Demokrat), dan sederet nama lainnya.
Dalam beberapa diskusi, tulisan, dan berita-berita, muncul sejumlah alasan mengapa mereka beramai-ramai masuk partai dan menjadi caleg. Menurut mereka, di zaman reformasi ini, pola gerakan sosial yang dulu mereka usung harus diubah menjadi 'gerakan politik'.
Sebab, hanya dengan gerakan politiklah kekuasaan dapat diraih. Dengan masuk ke sistem kekuasaan, mereka dapat mengawal, memberikan koreksi serta idealistis dalam memperjuangkan suara rakyat. Apa pun alasan dan pertimbangan mereka, dalam alam demokrasi seperti sekarang, sah-sah saja para mantan aktivis itu terjun ke politik praktis. Hal itu adalah bagian dari hak politik mereka
sebagai warga negara. Keputusan mereka terjun menjadi caleg itu pun dinilai penting bagi pengaderan kepemimpinan nasional.
Di sisi lain, ketika para mantan aktivis masuk ke sistem politik, ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, memperbaiki sistem dari dalam bukanlah pekerjaan yang gampang. Sebab, meminjam pandangan Edward Shils (1972), praktek politik di Indonesia bukanlah 'lahan subur' untuk memperjuangkan idealistis dan perjuangan. Oleh sebab itu, ketika masuk dan menjadi bagian dari sistem, para mantan aktivis tersebut dikhawatirkan akan 'mabuk' dan terlena dengan kekuasaan. Atau dengan kata lain, perjuangan dan idealistis yang mereka usung akan tenggelam dalam lingkaran setan (vicious circle) kekuasaan. Sejarah membuktikan, aktivis angkatan '66 yang masuk ke DPR tidak ada apa-apanya. Aktivis 1998 yang masuk ke DPR hasil Pemilu 2004 juga biasa-biasa saja.
Dalam hal ini, kita patut mengingat tulisan almarhum Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa, 'telah bersumpah kami menjadi gerakan angkatan muda'. Sebab, semua percuma, toh harus diperintah angkatan tua yang bodoh dan korup, tapi berkuasa dan harus ikut jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Sepandai-pandainya ahli yang berada dalam kekuasaan bodoh akan ikut jadi bodoh.
Kedua, ketika para aktivis masuk sistem politik, kita akan kehabisan manusia independen yang mendudukkan dirinya di posisi tengah antara rakyat dan pemerintah. Kita akan kekurangan manusia yang mampu menjaga jarak secara adil dan seimbang apabila terjadi konflik antarpenghuni bangsa ini. Sebab, walaupun politik adalah suatu karsa untuk menegakkan moralitas dan rasionalitas publik, kenyataan di negara kita masih jauh panggang dari api. Alih-alih para politisi menegakkan dan hidup dengan moralitas publik, mereka justru menempatkannya sebagai aksesori yang tak perlu diimani.
Dengan dua pertimbangan itu, ada baiknya para mantan aktivis tersebut memikirkan kembali pilihan mereka. Jika orientasi politik mereka hanyalah untuk memenuhi hasrat pragmatisme belaka atau hanya sebuah petualangan politik, lebih baik tenaga, pikiran, dan harta mereka diwakafkan untuk membuat barisan 'gerakan sosial baru' yang jelas visi dan keberpihakannya.

R Adie Prasetyo
Peneliti Nusantara Center Indonesia
nusantaracom@yahoo.com

dikutip dari: http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MjgyODM=

Tidak ada komentar: