Selasa, 26 April 2011

Mencegah Negara Gagal

Senin, 18 April 2011 | 10:07

Kondisi Indonesia saat ini cukup banyak menunjukkan tanda- tanda sebagai failed state, negara gagal. Di bidang politik dan hukum, mereka yang merasa kuat dengan mudahnya main hakim sendiri. Hak kaum minoritas kurang diindahkan dan aparat keamanan seperti tidak berdaya. Di bidang ekonomi, kesenjangan semakin lebar. Sekitar 40% penduduk paling bawah hidup makin susah. Sementara 20% penduduk teratas kian sejahtera.

Indonesia menjadi incaran asing, baik negara yang sudah maju maupun Negara berkembang. Sumber daya alam Indonesia yang masih kaya dan jumlah penduduk yang mencapai 240 juta membuat ngiler asing. Indonesia menjadi sumber bahan baku dan tenaga kerja murah, juga pasar yang menggiurkan.

Tapi, sebagian bangsa ini bagai tikus mati di atas beras. Sekitar 96 juta atau 40% bangsa ini masuk kategori miskin dan hampir miskin. Sedikit saja ada lonjakan harga barang kebutuhan pokok, mereka yang near poor, yang berada di dekat garis kemiskinan, langsung terjungkal menjadi absolute poor. Menghadapi lonjakan harga minyak mentah, kemungkinan harga BBM dinaikkan.

Lonjakan inflasi tidak terelakkan. Sudah banyak program yang dirancang pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin. Ada bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan kepada mereka yang sangat miskin, kredit usaha rakyat (KUR), dan program nasional pemberdayaan abadi (PNPM). Tapi, yang jauh lebih penting bagi rakyat miskin adalah pekerjaan dengan tingkah upah yang layak. Selama pengangguran terbuka masih tinggi, kemiskinan takkan mungkin bisa dikurangi, bahkan justru meningkat.

Data resmi BPS menunjukkan, jumlah penganggur terbuka pada Agustus 2010 sebesar 8,3 juta atau 7% dari total angkatan kerja. Angka ini sangat kecil karena tidak memasukkan mereka yang bekerja tidak tetap dan hanya bekerja beberapa jam seminggu. Jika kriteria disempurnakan, jumlah penganguran membengkak di atas 40 juta.

Penduduk miskin Indonesia memang sangat besar, karena sekitar 72 juta atau 70% tenaga kerja berada di sektor informal dengan tingkat pendapatan tidak menentu. Sebagian pekerja di sektor formal pun menerima upah di bawah ketentuan upah minimum provinsi. Karena itu, yang harus menjadi prioritas pada masa akan datang adalah memberikan iklim usaha yang sebaik-baiknya agar pelaku usaha bisa menyerap tenaga kerja baru dan menaikkan upah buruh.

Saat ini, kita berhadapan dengan situasi yang memprihatinkan. Industri dalam negeri tertekan oleh membanjirnya produk impor dari RRT dan sejumlah negara Asean. Sejak lima tahun lalu, surplus neraca perdagangan Indonesia menurun, dan secara dramatis terjadi setahun terakhir. Jika tren ini terus terjadi, satu demi satu industri nasional akan gulung tikar.

Melihat situasi yang memburuk ini, para pelaku usaha kini medesak pemerintah untuk mengkaji kembali konsep free trade area (FTA) yang sudah dijalin Pemerintah RI dengan RRT, Jepang, Korsel, dan India. Kalau dengan Asean, para pengusaha Indonesia tidak terlalu berkeberatan walau berhadapan dengan Thailand dan Malaysia, Indonesia mulai kewalahan. Rencana pemerintah untuk menandatangani FTA dengan Australia, Selandia Baru, AS, dan negara-negara Eropa harus ditunda.

Belajar dari RRT, FTA mestinya disetujui setelah hasil riset menunjukkan bahwa kita siap. RRT selalu melakukan survei, minimal 10 tahun, sebelum memutuskan untuk menandatangani FTA dengan negara lain, termasuk dengan Asean. Sejak awal 2010, kita sudah memasuki Asean-China Free Trade Area (ACFTA) dan sejak itu pula, kita kewalahan. Produk impor dari RRT menguasai pasar Indonesia hingga ke pelosok Tanah Air. Bukan hanya produk hasil industri, RRT juga membanjiri pasar Indonesia dengan produk yang justru berasal dari Indonesia.

Sangat memalukan jika RRT mengekspor mebel yang terbuat dari kayu gelondongan yang didatangkan dari Indonesia. Alangkah mengenaskan, RRT membanjiri pasar Indonesia dengan ikan asin yang bahan bakunya dari perairan Indonesia. Kayu bulat dan ikan segar diambil secara ilelgal dari bumi Indonesia.

Kejadian ini sekaligus melecehkan institusi keamanan Indonesia. Tidak banyak manfaatnya Indonesia menandatangani FTA dengan RRT. Karena sebagian besar produk yang diperdagangkan adalah sama. Tidak terjadi saling melengkapi. Indonesia memproduksi dan mengekspor tekstil dan alas kaki, RRT juga melakukan hal yang sama. Dalam kenyataan, produk RRT lebih unggul karena industri Negeri Tirai Bambu itu lebih efisien.

Bila tidak ada solusi konkret mencegah kebangkrutan industri nasional, angka pengangguran dan kemiskinan akan membengkak. Bila itu terjadi, aksi terorisme semakin sulit dikendalikan. Orang miskin akan mencari jalan untuk bertahan hidup, termasuk dengan menjadi pelaku terorisme dan pembajakan.

Somalia menjadi negara gagal karena pemerintah negeri itu tidak mampu memberikan pekerjaan kepada rakyatnya. Rakyat miskin akhirnya menjadi perompak karena tidak ada pekerjaan. Selat Malaka akan dikuasai bajak laut Indonesia jika pemerintah gagal mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. ***

Tidak ada komentar: